Setiap tahun, pada sore hari 3 Oktober, para anggota keluarga besar Fransiskan di mana-mana biasanya menghadiri ‘Acara Transitus Santo Fransiskus’. Pada tanggal yang sama di tahun 2017, Keluarga Besar Fransiskan (KEFRAP) di Keuskupan Agung Pontianak berkumpul dan berdoa bersama sebagai sebuah komunitas untuk mengenang dan menghormati seorang anak manusia yang paling mereka kagumi dan ikuti jejak langkahnya, karena keunggulannya dalam menyerupakan diri dengan Kristus.
Acara Transitus di Komunitas Susteran SMFA Pontianak diawali dengan rekoleksi kemudian dilanjutkan dengan ibadat Transitus yang dihadiri oleh seluruh tarekat Fransiskan baik Ordo Pertama (Ordo Kapusin Pontianak), Ordo Ketiga Regular (Bruder dan Suster) dan Fransiskan Awam (OFS).
Dalam acara itu, mereka mengenang bahwa sesungguhnya kematian Santo Fransiskus adalah model dari suatu kematian suci. Fransiskus yang sedang didekati Saudari Maut (badani) hanya punya satu keinginan, yaitu mati seperti Sang Panutan Agung, Sang Guru, Yesus Kristus.
Fransiskus meninggal tanggal 3 Oktober 1226 pada usia 44 tahun di Kapela Portiuncula. Dua tahun berikutnya, ia langsung dinyatakan ‘kudus’ oleh Gereja.
Di Bukit La Verna, dua tahun sebelumnya Fransiskus dikaruniai dengan lima luka suci (stigmata) yang membuatnya menjadi citra hidup dari Kristus yang tersalib. Luka-luka itu mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa pada tubuh Fransiskus, tetapi dia menanggung sakit itu dengan sabar demi cintanya kepada Yesus.
Di awal September 1224, Fransiskus menyepi ke sana untuk menyiapkan diri menghadapi Pesta Santo Mikael Malaikat Agung. Doa Fransiskus yang dia panjatkan di La Verna adalah bukti otentik ‘siapa’ sebenarnya dia dan ‘mengapa’ dia membawa dampak begitu besar atas sejarah umat manusia.
“Tuhanku Yesus Kristus, saya mohon kepada-Mu, karuniakanlah dua anugerah sebelum saya meninggal. Yang pertama agar Kauizinkan saya merasakan, dalam jiwa ragaku, sebanyak mungkin penderitaan hebat yang Engkau, Yesus Yang Manis, telah rasakan pada saat sengsara-Mu yang amat pahit itu. Yang kedua, agar saya boleh merasakan dalam hatiku sebanyak mungkin cinta yang tak terbatas, dengan mana Engkau, Putera Allah, tergerak dan mau menanggung sengsara sedemikian itu bagi kami para pendosa,” demikian doa Fransiskus seperti tertulis dalam Fioretti halaman 223.
Pada penghujung perayaan Transitus, para Fransiskan menayangkan tablo menjelang wafatnya Santo Fransiskus. Dalam tablo itu, sebelum Fransiskus meninggal ada tradisi bagi-bagi Roti Fransiskus meniru teladan Yesus di malam Kamis Putih.
Perayaan itu ditutup dengan proses lilin seluruh Fransiskan dan Fransiskanes. Mereka memasang lilin dan dengan memegang lilin menyala mereka memperbaharui kesetiaan pada wasiat Santo Fransiskus Assisi dan mengucapkan janji kaul-kaul kebiaraan agar menjadi terang dan damai sepanjang perjalanan penziarahan hidup di dunia.(aop/mssfic)