Minggu, Desember 22, 2024
27.9 C
Jakarta

Suster dan bruder live in di rumah umat agar hidup membiara disuburkan oleh keluarga dan OMK

Hidup Bakti1.jpg

Suster, bruder, imam, anak-anak, semua menari gembira di depan Gereja Santa Teresia Bongsari, Semarang. Tangan, kaki dan badan digerak-gerakkan mengikuti alunan musik. Itulah gambaran salah satu kegiatan live-in bruder dan suster guna menumbuhkan kesadaran panggilan hidup bakti.

Live-in enam bruder dari enam tarekat dan 42 suster dari 16 tarekat, menurut Pastor Eduardus Didik Cahyono SJ dari Gereja Santa Theresia Bongsari, merupakan salah satu kegiatan 50 Tahun Gereja Santa Teresia Bongsari di tahun 2018. “Kita minta bantuan suster dan bruder untuk mendinamisir umat di lingkungan-lingkungan,” kata imam itu.

Dalam jangka pendek, imam itu berharap acara 24 September 2017 itu menjadi pemantik supaya umat lingkungan “bangun”, berkumpul, dan kemudian membantu mensosialisasikan acara-acara 50 tahun Gereja  Bongsari. “Itu kepentingan paroki supaya ketika dibangunkan dengan acara ini, rangkaian syukuran bersama 50 tahun itu lebih disambut umat,” kata Pastor Didik.

Mengingat jumlah panggilan hidup bakti menurun yang diindikasikan dengan penurunan bahkan kekosongan novis di beberapa kongregasi, live-in itu diharapkan bisa menumbuhkan panggilan pada diri umat dan anak muda supaya memberi perhatian pada hidup bakti.

Para suster dan bruder sendiri, Pastor Didik mengamati, sangat senang dan antusias dengan acara ini, “karena kita beri kesempatan memperkenalkan kongregasi atau tarekat serta biara-biaranya agar bisa menarik perhatian rekan-rekan muda di lingkungan.”

Memang Paroki Bongsari cukup subur dalam hidup panggilan, entah pastor, suster, atau bruder. “Maka kami merasa, hal itu bisa dilanjutkan dan dikembangkan. Bongsari menurut saya subur. Maka, kita mengundang para suster untuk mencari kader dan penerusnya di lingkungan-lingkungan.”

Ketika datang sehari sebelumnya, para suster dan bruder dijemput oleh umat untuk tinggal dan mengunjungi umat di wilayahnya. “Harapannya siang sampai sore menjadi kesempatan para suster dan bruder untuk keliling-keliling, untuk mulai menyapa umat,” kata Pastor Didik.

Sore harinya, suster atau bruder bersama umat mengadakan sarasehan bersama. Sarasehan Bulan Kitab Suci Nasional menjadi media pertemuan itu. “Kita mengambil momen itu untuk mengumpulkan umat,” kata Pastor Didik.

Selain orang tua, sarasehan melibatkan anak-anak, remaja dan kaum muda. “Diadakan acara kumpul anak-anak sampai orang dewasa. Selain membahas Kitab Suci, mereka memperkenalkan kongregasi, dan membangun relasi keakraban dengan orang muda. “Panggilan itu relasi. Kalau mereka sudah nyaman, sudah senang, semoga mereka lebih mudah tergerak,” kata Pastor Didik.

Selain umat bangkit dan merespon geliat 50 tahun Paroki Bongsari, Pastor Didik berharap, ada kesadaran umat dan tanggapan orang muda. “Ke depannya yang lebih luas adalah kesadaran umat bahwa hidup membiara tetap bagian dari kesadaran mereka, sehingga entah kapan, kita tidak tahu gerak Roh Kudus, bisa satu tahun, dua tahun, lima tahun, tetapi yang penting kita menabur pengalaman kebersamaan dengan umat. Siapa tahu yang kecil-kecil punya kesan mendalam sehingga nanti kalau sudah dewasa bisa menanggapi panggilan,” kata imam itu.

Suster Kurnia PI yang tergabung dalam Tim Kerja Pemerhati Panggilan Paroki Bongsari menceritakan, live-in suster dan bruder di paroki itu sudah lama tidak diadakan. “Ternyata sudah lama sekali tidak ada. Padahal saya sering live-in di gereja lain. Karena saya dimasukkan dalam tim ini, maka saya bekerja bersama tim untuk mengangkat ini supaya umat yang jarang sekali didatangi bruder, suster, itu semakin mengenal,” jelasnya.

Suster Kurnia prihatin dengan menurunnya panggilan hidup membiara. Dia berharap, melalui live-in, para suster dan bruder menggali dan mengajak umat untuk melihat situasi memprihatinkan itu, lalu mempunyai ide dan cara menyuburkannya. “Jadi menyuburkan panggilan bukan dari suster dan bruder sendiri saja tapi kerja sama dengan umat, keluarga, orangtua,” kata suster.

Diharapkan, dari keluarga muncul ide dan dari OMK muncul pandangan tentang biarawati-biarawan. “Jadi ada refleksi balik untuk suster dan bruder. Oh, selama ini caranya kurang pas diterima OMK, kurang diterima oleh PIR. Dengan sarasehan, saya berharap mereka terbuka,” kata Suster Kurnia.(Lukas Awi Tristanto)

Artikel sebelum
Artikel berikut

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini