Mgr Agustinus Agus sangat yakin bahwa cinta kasihlah yang menjadi dasar dan dorongan pelayanan para misionaris dalam menjalankan misi memperhatikan orang-orang yang tersisih dan terbuang, serta dalam merintis karya kesehatan yang sudah berusia 100 tahun bagi orang kusta.
“Nama mereka sudah terdaftar di surga dan mereka kini sudah berbahagia bersama Bapa di surga. Sebenarnya sederhana hidup ini, tidak salah melakukan apapun yang baik. Tetapi, kalau kita tidak sadar bahwa nama kita terdaftar di surga, kita akan menjadi orang yang setengah-setengah dalam melakukan karya apapun itu,” kata Uskup Agung Pontianak itu.
Mgr Agus berbicara dalam homili Misa Syukur 100 Tahun Kehadiran Pelayanan Rumah Sakit Kusta (RSK) Alverno Singkawang. RSK itu didirikan 27 September 1917 ditandai pemberkatan Klinik Alverno dan kapel. Tapi puncak perayaan dilaksanakan 30 September 2017 dengan Misa bertema “Mengasihi penderita kusta ‘orang miskin dari Allah yang baik’ melalui Perayaan 100 Tahun RSK Alverno” yang juga dihadiri Uskup Emeritus Mgr Hieronymus Herculanus Bumbun OFMCap.
Dalam Misa yang dirayakan setelah rangkaian kegiatan bakti sosial, pertandingan olahraga, dan pameran sejarah RSK Alverno, Mgr Agus menegaskan keyakinannya bahwa para misionaris melayani tanpa pandang suku, agama, atau status. “Semua dilayani dengan penuh kasih, karena semua ciptaan Tuhan dan punya martabat yang sama.”
Mgr Agus berpesan agar pelayanan Katolik tidak membeda-bedakan. “Tidak ada syarat dalam sekolah atau rumah sakit Katolik bahwa orang bukan Katolik tidak boleh bersekolah di sekolah Katolik atau berobat di rumah sakit Katolik,” kata uskup.
Sejak berdiri di Gunung Sari tahun 1917, RSK Alverno milik Keuskupan Agung Pontianak (KAP) dan dilayani misionaris Kapusin (OFMCap) dan Suster-Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei, SFIC).
Tanggal 27 Oktober 1954, diadakan perjanjian pinjam pakai RSK Alverno dan empat rumah sakit keuskupan lain antara Vikaris Apostolik Pontianak Mgr Hendrikus Josephus Van Valenburg dengan Menteri Kesehatan RI, Lie Kiat Teng. Sejak itu RSK Alverno menjadi rumah sakit pemerintah, namun operasinya ditangani suster SFIC. Surat Menteri Dalam Negeri RI, 3 Oktober 1989, mengembalikan semua rumah sakit pinjaman, namun proses pengembalian RSK Alverno tidak lancar bahkan mengambang antara pemerintah atau swasta.
Meski status RSK Alverno dan Klinik Nyarumkop belum jelas, tanggal 10 April 2015, Mgr Agus menyerahkan pengelolaannya kepada Kongregasi SFIC melalui Yayasan Karya Kesehatan Santo Vincentius. Tanggal 31 Januari 2017, barulah Gubernur Kalbar Cornelis menandatangani akta penyerahan serta mengembalikan RSK Alverno dan Klinik Nyarumkop kepada KAP. Para suster SFIC, melalui yayasan itu, mulai menatanya kembali.
Gubernur berterima kasih kepada yayasan, keuskupan, dan Gereja Katolik yang sudah 100 tahun melaksanakan tugas kemanusiaan tanpa memandang suku dan agama. Diakui, pemerintah tidak membangun rumah sakit kusta karena masalah kusta dianggap tak ada lagi di Indonesia.
Ternyata, kata gubernur dalam acara yang juga dihadiri politisi, walikota, bupati, kapolres, kapolsek, dan beberapa kepala dinas itu, hampir 10 tahun menjabat gubernur, masih banyak terkena kusta. Tetapi mereka malu.” Maka Gubernur meminta agar keluarganya tidak mengucilkan penderita yang sudah sembuh. “Ilmu kedokteran begitu maju, jadi kita tidak perlu khawatir,” kata gubernur seraya meminta agar karya besar yang dijalankan Gereja Katolik dipertahankan, dan “saudara-saudara yang berkelimpahan rezekinya tolong bantu yayasan itu berapa pun kemampuan kita.”
Dulu, menurut catatan yang ada di rumah sakit itu, pemerintah memberi subsidi 15 gulden per pasien tiap bulan. Para suster tidak mendapat apa-apa. Kekurangan biaya makan dan pengobatan pasien serta keperluan hidup para suster dicari dan diusahakan oleh Pater Superior Misi Kapusin dan Moeder Edwina SFIC.
Tahun 1934 dibangun gereja di kompleks rumah sakit dengan dana sumbangan dari pemimpin umum SFIC dan pinjaman dari Vikariat Apostolik Borneo yang dilunasi dengan menyicil. Saat Perang Dunia II, semua pastor dan suster dari Eropa dibawa ke kamp tahanan di Kuching, namun para suster di RSK Alverno diperbolehkan tinggal. Setelah perang, para misionaris kembali dan perlu bertahun-tahun untuk menjalankan karya seperti semula. Hampir semua keperluan diperoleh dari Misi, dan RSK Alverno terus berjalan di bawah kepemilikan KAP.(aop/mssfic)