Mgr Adrianus Sunarko OFM telah diangkat dan ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Pangkalpinang menggantikan mendiang Mgr Hilarius Moa Nurak SVD yang dikenal sebagai Uskup Seribu Pulau atau juga disebut Uskup Samudera.
Wilayah Keuskupan Pangkalpinang memang terdiri dari tiga provinsi yaitu Provinsi Bangka Belitung (Babel), Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), dan sebagian wilayah Provinsi Riau, yang merupakan provinsi kepulauan. Provinsi Kepri sendiri memiliki lebih dari 2.408 pulau. Luas wilayah keuskupan itu, termasuk laut, lebih dari 270.000 km2, dan daratannya hanya sekitar 35.500 km2.
Oleh karena itu, sejak ditahbiskan tahun 1987, Mgr Hilarius menggalakkan Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sebagai arah perahu kegembalaannya, guna mengimplementasikan visi Gereja Asia hasil Sidang Pleno Uskup se-Asia tahun 1990 di Bandung menuju Gereja Partisipatif.
Ketika ditahbiskan sebagai Uskup Pangkalpinang, Mgr Adrianus Sunarko OFM membawa motto penggembalaan “Laetentur Insulae Mutae” yang artinya ”Hendaknya banyak pulau bersukacita” (Mazmur 97:1). Untuk lebih memahami arah penggembalaannya bagi lebih dari 43.000 umatnya di 16 paroki, Paul C Pati dari PEN@ Katolik mewawancarai Mgr Sunarko di Keuskupan Pangkalpinang, sehari setelah pentahbisannya, 24 September 2017.
PEN@ Katolik: Salve di Gereja Bernadeth, tahbisan di Stadion Depati Amir dan Misa Perdana di Katedral Pangkalpinang berjalan meriah dengan partisipasi umat dan masyarakat yang begitu besar. Apa yang Mgr Sunarko rasakan?
MGR ADRIANUS SUNARKO OFM: Sangat baik dan positif dari segi partisipasi. Mungkin tidak sempurna, tapi dari segi keterlibatan, mereka sungguh mempersiapkan, bekerja keras, dan mencari dana. Mereka masing-masing sudah menjalankan peran dengan baik, dari petugas parkir hingga anggota koor dan hal-hal lain yang tidak kelihatan. Itu modal besar. Bagi saya, semua itu menjadi inspirasi atau dorongan untuk memberikan yang terbaik, mengingat keterlibatan banyak orang dengan pengorbanan besar sekali. Saya tahu rapat-rapat mereka bahkan sampai pagi.
Semua acara dalam rangkaian tahbisan ini meninggalkan kesan betapa dekatnya Gereja dengan pemerintah, pihak keamanan, dan umat beragama lain!
Ya, memang di satu pihak perlu disyukuri kalau betul kesan pertama yang kelihatan itu. Namun, yang kelihatan itu perlu dijaga terus, karena dalam situasi perpolitikan nasional dengan pilkada dan pemilu, selalu ada orang yang memanfaatkan macam-macam isu untuk memecah-belah, seperti isu ras dan isu agama, yang dipakai untuk kepentingan pendek.
Maka, tetap harus waspada dan memelihara yang baik. Perlu juga disadari bahwa keadaan itu tidak otomatis diterima. Suasana itu sudah lama diupayakan. Kalau melihat bagusnya forum umat beragama yang ada di sini, pasti mereka sudah sering bertemu, pasti sudah terbangun dari tindakan-tindakan seperti itu. Bahkan, saya dengar Mgr Hilarius sering mengunjungi para kiai. Sekali lagi, hal baik perlu disyukuri, tapi jangan sampai seolah-olah berpikir itu otomatis terjadi, melainkan sesuatu yang diperjuangkan. Jadi harus terus dijaga, khususnya untuk tahun-tahun depan menyongsong pilkada serentak dan pemilu.
Yang menarik bahwa dalam tahbisan ini muncul semacam janji Bapak Uskup untuk membuat pulau-pulau bersukacita. Bagaimana mewujudkannya?
Dari segi mazmur sendiri, maksudnya bukan menjanjikan, melainkan mengharapkan supaya ada sukacita. Kalau menurut mazmur itu, syaratnya satu, bukan karena saya atau siapa pun, tetapi kalau yang menjadi raja dalam hidup kita adalah Tuhan sendiri. Itu yang penting, bukan berhala-berhala lain seperti uang, kekuasaan, kemalasan, dan ego. Kalau itu menjadi tuan atau raja, maka tidak ada sukacita. Harapannya adalah, kalau kita bersama-sama berupaya supaya yang menjadi raja dalam hidup kita adalah Tuhan sendiri, barulah ada sukacita.
Tapi untuk menjadikan Allah sebagai raja, mereka perlu lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan lewat pelayanan pastoral dan sarana Gereja yang lebih baik, karena di banyak pulau belum ada sarana Gereja untuk pendidikan dan kesehatan. Ada langkah konkret untuk menghadirkan Allah di sana?
Saya belum tahu secara konkret. Tetapi kalau saya baca dokumen-dokumen keuskupan ini, yang diupayakan adalah memperkuat unit-unit kelompok-kelompok kecil yang dinamakan Komunitas Basis Gerejawi (KBG). Harapannya adalah, dengan kelompok kecil mereka mudah berkumpul dan untuk saling membaca Kitab Suci dan saling mempererat persaudaraan serta solidaritas. Itu terutama yang saya lihat harus diintensipkan dan harus diteruskan.
Allah menjadi raja secara konkret dalam KBG-KBG. Kalau dalam komunitas-komunitas itu Allah yang menjadi utama, maka satu sama lain akan saling memperhatikan, saling mendoakan. Itu konkretnya. Yang lain nanti kita pelajari, misalnya, tentang yayasan persekolahan dan karya kategorial lain. Kita nanti akan melihat bersama apa yang kurang, apa yang lebih, atau apa yang perlu diperbaiki.
Apa yang akan Mgr Sunarko prioritaskan dalam pelayanan di keuskupan ini?
Dari segi strategi keuskupan, prioritasnya ya KBG itu. Namun, dua-duanya penting, partisipasi umat dan peran gembala. Peran gembala penting untuk memotivasi atau menjadi sumber inspirasi. Namun sebenarnya, ide besar KBG itu justru adalah partisipasi bersama.
Visi Keuskupan Pangkalpinang (sesuai Sinode Kedua Keuskupan Pangkalpinang Agustus 2011, Red.) mengatakan “Umat Allah Keuskupan Pangkalpinang, dijiwai oleh Allah Tritunggal Mahakudus, bertekad menjadi Gereja Partisipatif.” Jadi dua-dua penting, peran gembala penting tapi tidak mutlak. Gembala juga harus memainkan peran penting seperti kunjungan dan kehadiran, tapi jadi terbatas. Tetapi KBG tidak boleh terlalu tergantung pada imam atau tidak berbuat apa-apa. Jangan sampai kalau gembalanya buruk mereka ikut buruk. Itu ide Gereja Partisipatif. Dua-duanya harus diperhatikan.
Benar, dari perjumpaan-perjumpaan terasa bahwa mereka mengharapkan kehadiran. Itu harus menjadi prioritas, mengupayakan kehadiran melalui kunjungan-kunjungan. Dari situ bisa terlihat mana yang juga penting.
Tapi, apakah jumlah imam diosesan atau projo di sini masih kurang, sehingga masih banyak pulau kurang mendapatkan pelayanan pastoral?
Sebenarnya jumlah imam di keuskupan ini relatif banyak. Mungkin jumlah imam projo di keuskupan ini paling banyak di keuskupan-keuskupan di Sumatera. Jumlah imam di sini hampir 70 orang. Dari sudut itu, jumlah imam projo di sini banyak. Bahkan banyak imam kita ditugaskan di Merauke, Palembang, Bengkulu, dan Pringsewu. Tapi apakah cukup atau tidak? Kualitas pelayanan tentu saja soal lain. Harus dilihat apakah ada keluhan.
Ya dalam arti tertentu, kita punya cukup imam. Tapi memang wilayahnya luas dan terpencar. Namun sekali lagi, dua-duanya penting. Jumlah imam tidak bisa dipaksakan, meski kita harus tetap pupuk dan kembangkan lewat promosi panggilan. Kalau ada banyak orang berminat menjadi imam, kita syukuri. Tapi, jangan terlalu tergantung kepada imam. Imam tetap punya peranan penting, tetapi partisipatif harus dikembangkan. Umat harus memainkan perannya dan KBG jangan bergantung 100 persen pada imam. Tidak semua imam itu orang kudus, maka dua-duanya harus saling mendung. Imam yang sedang lemah, misalnya, bisa menjadi bersemangat lagi melihat umat yang kuat, dan umat yang terpecah bisa dipersatukan kembali kalau imamnya baik. Jadi, peran imam itu penting namun perlu pembinaan terus-menerus, tak bisa dimutlakkan.
KBG, antara lain, mau menghidupkan Gereja, baik awam maupun hierarki. Dalam komunitas kecil itu awam diberi peran, agar pada unit-unit terkecil pun orang sungguh menghayati dan mempraktekkan imannya. Menurut evaluasi, kalau komunitas-komunitas kecil itu sungguh hidup, itulah Gereja yang sungguhnya.***