Minggu, Desember 22, 2024
31.1 C
Jakarta

Mgr Rolly Untu MSC: Lancarnya tahbisanku adalah hasil 22 pertemuan berkala OMK keuskupan

1

Wawancara dengan Uskup Manado yang baru Mgr Rolly Untu MSC        

             Terkejut. Itu suasana yang dirasakan Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC saat tahu ditunjuk sebagai Uskup Manado menggantikan Uskup Emeritus Manado Mgr Josef Suwatan MSC. “Kog saya, ada begitu banyak imam di sini?” tanya Mgr Rolly yang menyadari kelemahan dan keterbatasannya. “Orang tahu siapa saya, tetapi mereka memilih saya. Mereka mengharapkan sesuatu, maka saya berpikir apa yang harus saya perbuat untuk keuskupan ini, karena begitu lama saya tidak mengikuti yang terjadi di sini.”

            Meski merasa lemah, Mgr Rolly Untu merasa pengalaman dikasihi Tuhan adalah kekuatannya. “Kisah panjang pengalaman hidup saya menerangkan bahwa Tuhan mengasihi saya dan Tuhan mau memakai saya. Maka, dengan penuh kepasrahan saya katakan, kalau Tuhan menghendaki, saya akan laksanakan tugas itu dengan kesadaran untuk membagikan pengalaman dikasihi kepada semakin banyak orang,” kata uskup baru itu.

            Mgr Rolly Untu menghabiskan pendidikan imamat selama 15 tahun, tujuh tahun di antaranya di Seminari Menengah Kakaskasen, yang dimulai setelah tamat SD. Banyak hal dia alami di seminari itu, antara lain pengalaman rohani, peningkatan kepribadian, dan upaya bertahan dan berjuang bersama teman-teman tingkat SMP yang masih berantem, bersaing, dan berjuang untuk bisa eksis dan bertahan. “Dalam arti tertentu kita menang melewati tujuh tahun di sana. Begitu lama kita dibentuk, diasah terus, dan menjadi batu murni.”

            Akhirnya, mantan Provinsial MSC Indonesia itu ditahbiskan menjadi Uskup Manado, 8 Juli 2017. Beberapa hari setelah menerima tahbisan dari Mgr Antonio Guido Filipazzi yang kini Duta Vatikan untuk Nigeria, Uskup Manado Mgr Rolly Untu MSC menerima Paul C Pati dari PEN@ Katolik di Wisma Keuskupan Manado untuk wawancara.

PEN@ Katolik: Awal Agustus, Orang Muda Katolik (OMK) se-Asia akan mengadakan Asian Youth Day di Yogyakarta, yang tentu akan dihadiri wakil-wakil Keuskupan Manado. Apa sebenarnya kebutuhan OMK yang Mgr Rolly lihat selama ini?

            MGR ROLLY UNTU MSC: Kebutuhan OMK saat ini, sama halnya saat saya masih muda, yakni kebutuhan diakui dan dihargai serta diberi tempat dalam kehidupan umat atau Gereja. Perhatian adalah bagian dari hak kaum muda, masa depan Gereja yang sekarang mulai belajar guna kaderisasi.

            Masa muda saya lebih di seminari menengah. Di sana seminaris mempersiapkan diri dengan berbagai cara, rohani, akademik, intelektual, kehidupan bersama, kehidupan kepribadian, dan mulai belajar melakukan perutusan dalam lingkungan terbatas. Saat itu kami melatih dan mengetahui apa artinya diutus ke lingkungan tempat saya hidup dan berkarya.

            Saya mengalami dan percaya kalau orang muda diberikan peran atau kesempatan maka banyak kreativitas akan bermunculan, dan inilah sumbangan berarti bagi kehidupan umat atau Gereja.

Lalu apa tantangan OMK saat ini?

            Saya lahir dalam keluarga besar. Sekarang lebih banyak keluarga kecil dengan satu atau dua anak. Pembentukan seorang anak muda tentu berbeda, tergantung keluarga masing-masing. Namun, bukan berarti keluarga kecil tidak akan menghasilkan hal yang wah. Contoh, keluarga Nazareth, Yosef Maria dan Yesus, dan keluarga Mgr Josef Suwatan MSC (uskup emeritus Manado). Mgr Suwatan hanya dua bersaudara, tetapi bisa menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Semua tergantung keluarga.

            Tantangan sekarang adalah begitu banyak fasilitas. Dulu fasilitas terbatas, belum ada TV, apalagi hp. Maka, banyak waktu lebih terfokus. Sekarang begitu banyak tawaran. Kalau orang tidak fokus, dia terbawa oleh lingkungan. Nah di situlah OMK perlu mendapat perhatian lebih untuk membina diri dalam keluarga atau melihat dalam kebersamaan mana nilai yang paling utama dalam kehidupan ini.

Keuskupan Manado unggul dalam hal pertemuan berkala OMK sekeuskupan yang sudah berlangsung 22 kali sejak 1980. Apakah hasilnya?       

            Saya belum begitu masuk dalam pertemuan-pertemuan itu, karena saya banyak di luar keuskupan. Tapi, melihat pentahbisan saya sebagai uskup sejak ibadat sore agung di katedral, hingga upacara tahbisan di Stadion Maesa Tondano, dan Misa Perdana di katedral, yang berjalan dengan baik, dengan kehadiran banyak orang dari mana-mana, serta kesaksian beberapa orang dari luar keuskupan, yang sudah beberapa kali menghadiri tahbisan uskup, bahwa upacara tahbisan saya ini luar biasa, saya merasa itu antara lain hasilnya.

            Melihat lancarnya semua upacara berkaitan dengan tahbisan saya, disiplin umat yang hadir, liturgi yang diatur baik, dan keterlibatan begitu banyak kelompok dan orang, mereka mengatakan umat di sini hidup. Nah, kekuatannya dari mana? Jawabannya, dari keluarga-keluarga. Maka berbicara tentang hasilnya pertemuan berkala itu, saya katakan, rangkaian upacara tahbisan saya itu antara lain hasilnya.

            Berarti, berkat binaan sebelumnya dalam level paroki, kevikepan, lalu keuskupan dalam kaitan dengan pertemuan berkala, OMK dan orangtua yang pernah mengikuti pertemuan berkala itu sudah biasa dengan pertemuan seperti itu. Buktinya, umat dari luar keuskupan memuji koordinasi atau cara pengaturan acara sebesar itu. Bukankah itu menekankan ada komunikasi yang baik satu sama lain.

            Itu hasilnya. Acara akbar atau besar ini bisa lancar menggambarkan bahwa umat di keuskupan ini sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan besar seperti ini. Sudah terbiasa dengan koordinasi dan komunikasi. Mereka tahu apa yang mereka harus buat.

Bagaimana masalah pastoral di keuskupan ini?

            Hasil pertemuan berkala itu sudah luar biasa. Namun, kalau kita masuk lebih jauh ke dalam,  barangkali ada hal-hal yang perlu ditingkatkan. Sudah baik bukan berarti sudah sempurna. Sama seperti ciptaan. Dikatakan bahwa Allah menciptakan dunia ini baik adanya, tapi baik tidak sama dengan sempurna. Oleh karenanya, penciptaan masih jalan terus.

            Begitu juga dengan kehidupan pastoral di keuskupan ini. Ada yang sudah baik dengan hasil seperti rangkaian upacara pentahbisan tadi, namun kita lihat juga kenyataan bahwa ada hal-hal yang perlu ditingkatkan lagi, diperbaharui dan disempurnakan terus-menerus. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi tentang Gereja juga menegaskan “Ecclesia semper reformanda” (Gereja, yaitu kita semua umat Allah, senantiasa harus diperbaharui). Adalah tugas para uskup dan para imam untuk membaharui diri terus-menerus.

            Tugas ini, jujur, adalah beban berat. Tapi Yesus mengatakan, “Datanglah kepada-Ku kalian yang letih lesuh dan berbeban berat.” Yesus tahu juga ini tidak mudah. Dia juga bergumul dengan maut ketika menerima tugas yang Dia katakan berat, “kalau boleh biarkan piala ini lepas daripada-Ku, tetapi bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” Karena ini tugas, apapun kita harus hadapi.

Saat berjanji dalam ibadat sore agung menjelang tahbisan, Mgr berjanji untuk dengan seksama akan memperhatikan pengelolaan harta benda Gereja.

            Yang ada dalam janji itu adalah standar yang diminta Vatikan, yang berlaku umum di mana-mana. Tentu isinya begitu karena ada pengalaman. Itu bukan undang-undang atau pedoman yang dibuat di atas awan dan turun dari langit. Tidak.

            Namun saya ingin mengatakan bahwa moto saya “Dalam terang-Mu, kami melihat terang” adalah visi saya. Itu kemudian akan dijabarkan dalam misi, sesuai yang diharapkan pimpinan Gereja atau Paus, atau diimplementasikan dalam sasaran-sasaran atau bidang-bidang yang akan disasar. Misalnya, bidang pastoral dengan mempersatukan umat dan para imam, pembinaan calon imam serta pembinaan imam. Kekuatan dalam Gereja adalah pembinaan. Ujung-ujungnya adalah juga menata harta benda Gereja.

            Menata keuangan adalah bagian dari pendidikan untuk para pastor dan umat. Saya mau belajar apa yang terjadi di sini, walaupun saya sendiri dari sini. Saya pernah bertugas di sini, tapi lebih banyak di rumah bina. Saya memang pernah membantu di paroki, asistensi, melihat realita yang terjadi, termasuk bagaimana mengatur kolekte, juga siapa yang memegang uang yang masuk ke paroki. Itu bagian dari pendidikan dan pembinaan yang butuh waktu, baik untuk pastor dan untuk umat.

            Ada tradisi di sini yang mengatakan “kase jo pa pastor” (berikan saja kepada pastor) supaya uang tidak “macam-macam” oleh umat, dengan mengandalkan bahwa pastor dapat dipercaya. Mungkin ketika dilibatkan, umat kurang terampil atau kurang dipersiapkan, sehingga daripada berantem, pastor saja yang memegang uangnya. Dalam paroki-paroki tertentu hal ini masih ada. Mereka mengatakan, pastor saja yang pegang uang, kenapa mau repot. Itu satu cara berpikir.

            Saya tak mau pusing dengan itu. Bukan dalam arti tak mau peduli, bukan. Serahkan saja kepada tim, mereka yang urus. Saya mau fokus pada pelayanan pastoral. Seperti halnya Gereja perdana, ketika ada konflik di antara para rasul diputuskan untuk memilih tujuh diakon yang diangkat untuk mengatur atau melayani meja, supaya ada pembagian tugas. Ini bukan baru sekarang. 2000 tahun sudah ada.

Sebagai uskup baru, apakah Mgr mulai merasakan tantangan yang akan dihadapi?

            Tantangan saya adalah bagaimana terus-menerus membangun persekutuan umat, terutama kolegialitas para imam. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh adalah peribahasa sangat bijaksana yang berlaku di mana-mana dalam setiap organisasi, juga dalam organisasi Gereja Katolik yang terbesar. Kita harus menjaga itu. Itu tantangan kuat, menjaga persatuan umat, persatuan di antara para pastor.

            Tantangan lain, sama dengan tantangan OMK yang menghadapi rupa-rupa kemajuan, demikian  juga tantangan dalam pembinaan calon imam dalam menjawab kebutuhan jaman ini dengan berpedoman pada Injil. Nah, bagaimana itu pun diterapkan kepada umat. Di gereja saja, masih jalan terus. Sementara kotbah, komunikasi dengan luar gereja masih jalan.

            Lihatlah dalam keluarga, komunikasi dengan pihak luar lancar, sedangkan komunikasi satu sama lain dalam keluarga dan komunitas saat makan bersama, misalnya, terhambat, karena semua sibuk sendiri berkomunikasi dengan pihak luar.

Apakah luasnya keuskupan yang mencakup tiga propinsi secara keseluruhan ini juga menjadi tantangan?

            Benar, keuskupan ini mencakup Sulawesi Utara, Propinsi Gorontalo, dan Propinsi Sulawesi Tengah. Umat tersebar di mana-mana. Ada tantangan jarak. Tapi, ini bukan hal baru sekarang. Ini sudah sejak 100 tahun lalu, ketika para misionaris datang ke sini. Dulu jauh lebih parah lagi. Dulu di tahun 60-an hanya ada enam paroki. Paroki Lembean yang ada di Sulawesi Utara harus membawahi semua umat di Sulawesi Tengah.

         Sekarang dengan pemekaran jadi 61 paroki dan 2 kuasi paroki disertai penempatan pastor di situ, tantangan semakin ringan. Maka, jangan mengeluh jauh lagi, karena sekarang kapan pun bisa ke dua propinsi itu untuk memberikan Sakramen Penguatan dan lain-lain. Semua sudah disiapkan. Sekarang bisa terbang kapan pun. Tidak seperti dulu.

            Tantangan paling berat sekarang adalah diri sendiri, uskupnya, imam-imamnya. Dulu misionaris bisa melayani di tengah beratnya medan dan keterbatasan fasilitas, mengapa sekarang dengan banyak kemudahan orang merasa seolah-olah lebih berat. Ini karena hati yang tidak ada kasih. Omong doang. Ketika dituntut berbuat lebih, muncul rupa-rupa alasan, tidak ada signal atau apa saja. Padahal dulu tanpa signal sama sekali, mereka enjoy, berbulan-bulan tidak datang ke Manado, bertahun-tahun tidak cuti ke keluarga, 10 tahun baru ketemu keluarga di Manado. Sekarang sepertinya ada yang hilang yakni diri sendiri, karena tidak puas dan tidak bersyukur dengan apa yang sudah diberikan.***

2

3

 

 

Artikel sebelum
Artikel berikut

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini