Pejuang Kemanusiaan, Misionaris Paul Hendrikus Janssen CM, meninggal dunia

0
8891

Yanssen4

“Selamat jalan Romo Paul Hendrikus Janssen CM, semoga Engkau tenang bersama Tuhan YME. Romo adalah papa kami, pendiri, pembina, pendidik yang baik, dan contoh teladan yang pernah Tuhan berikan untuk menjadi bagian dari perjalanan hidup kami, Yayasan Bhakti Luhur, ALMA dan Perkasih. Terima kasih atas segala kebaikan Romo, mohon berkati kami yang masih menjalani hidup di dunia ini. Bapa di surga terimalah Romo Janssen dalam pangkuan kasih-Mu.”

Tulisan itu terpampang di halaman website Yayasan Bhakti Luhur di Malang. Mereka berduka atas meninggalnya Pastor Janssen CM di Rumah Sakit RKZ Malang, 20 April 2017. Setelah disemayamkan di Kampus STP IPI, Jl. Seruni Nomor 6 Malang, 21 April,jenazah imam itu akan dipindahkan ke Kapel Paulo di Bhakti Luhur, Jalan Terusan Dieng Nomor 40, Malang. Di sana peti jenazah akan ditutup 22 April, pukul 10.00, setelah Misa Requiem, dan dimakamkan di samping Kapel Paulo.

Tanggal 5 Agustus 1959, Pastor Janssen CM mendirikan Yayasan Bhakti Luhur di Madiun, yayasan sosial yang memberi perhatian khas kepada penyandang cacat yang miskin, terlantar dan dipinggirkan. Pusat Bhakti Luhur yang secara resmi berdiri di Madiun itu dipindahkan ke Malang tahun 1975. Misi dan Visi Yayasan Bhakti Luhur adalah pelayanan anak cacat, yang karena salah satu atau beberapa sebab seperti fisik, psikis, mental, sosio-ekonomi, menyebabkan keterbelakangan dalam perkembangan. Doktor Teologi dengan disertasinya “Katolisitas Gereja dalam Karya Santo Agustinus” itu lahir di Venlo, Belanda, 29 Januari 1922. Sejak awal, putra dari pasangan Hubertus Janssen dan Maria Helena Fillot itu hanya bercita-cita menjadi misionaris, maka tahun 1940 dia masuk biara CM (Kongregasi Misi) dan ditahbiskan imam 13 Juli 1947 dengan moto “Kamu adalah alat pilihan untuk-Ku, untuk membawa nama-Ku ke bangsa-bangsa. Dan Aku akan menunjukkan kepadamu betapa banyak engkau akan bersusah-payah demi nama-Ku.”

Sebulan setelah tahbisan, adik dari almarhum Pastor Willem Paul Janssen itu, berlayar selama dua bulan ke Cina dan mengajar di seminari di Shanghai. Di sana imam itu tersentuh oleh penderitaan dan kemelaratan manusia akibat perang, lebih-lebih selama musim dingin. Di sana imam itu melihat dari dekat penderitaan anak-anak yang sakit, cacat, terlantar, yang dibuang keluarganya sendiri karena kesulitan ekonomi, dan yang yatim piatu karena perang.

Akibat perang, Internuntius memutuskan memindahkan para imam CM ke Manila dan para imam diosesan (praja) ke Italia. Akhir 1948, Pastor Janssen bersama kira-kira 20 frater menuju Manila. Di sana kongregasi CM memiliki lima seminari, salah satunya seminari untuk mendidik para imam diosesan.

Kesibukan membina calon imam praja tidak menyurutkan niat Pastor Janssen untuk melanjutkan studi di Universitas Santo Thomas dan memperoleh gelar doktor. Di UST, imam itu memperdalam bidang pendidikan, khususnya guidance, counseling dan psikologi.

Tahun 1950, Pastor Janssen meninggalkan Filipina dan menuju Indonesia, karena tidak mungkin lagi ke Cina dan ditolak oleh provinsial untuk menuju Chili, Amerika Latin. Tanggal 1 Mei 1950, Pastor Janssen tiba di Surabaya dengan kekuatiran akan ditempatkan di bagian pendidikan, padahal kerinduannya adalah menjadi misionaris.

“Mau menjadi misionaris? Kalau begitu silahkan ke Kediri,” tegas Uskup Surabaya waktu itu. Tanggal 5 Mei 1951, imam itu berada di Kediri. Ketika bertugas di Pohsarang, dia senang karena itulah tempat yang selama ini dicari. Stasi-stasi kecil dikunjunginya dengan naik sepeda, dan dia mulai belajar bahasa Jawa.

Kebahagiaan dalam tugas semakin bertambah, ketika imam itu menemukan suasana penuh kelembutan, keramahan dan keterbukaan yang menjadi ciri khas orang Jawa, tulis “Buku Kenangan 50 Tahun Pesta Imamat Romo Paul Janssen.”

Tugas utama Pastor Janssen adalah mencari orang-orang yang dulu Katolik namun kemudian kurang mendapat perhatian. Bersama Pastor Wolters CM, imam itu membangun daerah Pohsarang dan Gereja Pohsarang. Salah satu kegiatan rohani yang patut dicatat di Kediri ialah berdirinya Legio Maria pertama di Indonesia. Pendirinya adalah Pastor Janssen.

Dalam melakukan pelayanan pastoralnya di berbagai daerah, imam itu menemui banyak orang sakit TBC dan frambosia, serta banyak anak cacat, miskin dan terlantar. Maka, kadang-kadang imam itu bertindak sebagai “dokter” dengan obat-obatan yang diusahakannya.

WNI sejak 27 September 1989 itu mulai mendirikan Taman Kanak Kanak serta SD dan SMP, karena “orang dapat terbantu melalui pendidikan yang diperolehnya.” Selain merekrut tenaga guru di Jogjakarta, imam itu mendirikan kursus B1 Pendidikan (sebagai cikal bakal Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, yang kemudian menjadi FKIP).

Namun, aktivitasnya mendirikan dan mengelola atau menyelenggarakan lembaga pendidikan, tulis buku itu, tidak mengurangi perhatiannya kepada anak-anak cacat, terlantar dan miskin. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pernah memberi penghargaan Satya Lencana atas jasa imam Lazaris itu di bidang pelayanan kemanusiaan untuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Juli 1959, Pastor Janssen hijrah ke Madiun. Setahun kemudian, 27 September 1960, pada peringatan 300 tahun wafatnya pendiri kongregasi CM, Santo Vincensius A Paulo, Pastor Janssen mendirikan ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam), yang secara resmi diterima oleh Mgr AEJ Albert OCarm sebagai Institut Sekulir dibawah yuridiksi Uskup Malang tanggal 26 Agustus 1967.

Guru besar IKIP Malang itu juga menjadi pelindung dan bapa rohani ALMA Putra yang melaksanakan karya evangelisasi, pelayanan anak-anak cacat dan CBR (Community Based Rehabilitation), serta mendirikan Institut Pembangunan Masyarakat, Sekolah Menengah Pekerja Sosial, Institut Pastoral Indonesia di Malang, dan Sekolah Evangelisasi Katolik di Malang.(paul c pati)

Yanssen

Yanssen2

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here