“Keluarga modern saat ini berada dalam situasi ambiugitas. Di satu pihak komunikasi lebih personal. Personalisme ini hidup dalam hubungan keluarga, sehingga hubungan lebih human dan tidak berdasarkan tata aturan feodal. Di lain pihak, arus individualisme bertumbuh. Baik pribadi maupun keluarga mengatur hidupnya sendiri lepas dari dukungan struktur sosial. Kebebasan mengatur hidup sendiri dengan pilihan untuk hidup sendiri.”
Uskup Jayapura, Mgr Leo Laba Ladjar OFM berbicara dalam Hari Studi Bersama para pastor paroki dan dewan pastoral paroki dari 28 paroki se-Keuskupan Jayapura, 24 Januari 2017 dengan mengutip Paus Fransiskus dalam Ajakan Apostolik Amoris Laetitia tentang Kasih dalam Keluarga, yang menggambarkan situasi ambiugitas itu.
Menurut Mgr Leo, Paus Fransiskus mengangkat sejumlah wawasan pastoral mengenai situasi keluarga-keluarga seluruh dunia yang diteliti Bapak-Bapak Sinode Khusus tentang Perkawinan dan Keluarga di tahun 2014 dan 2015.
Peserta pun membahas “Situasi Aktual: Pengalaman dan Tantangan,” yang merupakan bagian II Amoris Laetitia. Gagasan teologi tentang perkawinan dalam Gereja, menurut paus, sebagaimana dikutip Mgr Leo, “terlalu abstrak dan hampir-hampir artifisial, lepas dari situasi konkret serta kemungkinan yang praktis untuk keluarga riil.”
Hal itu, lanjut uskup tidak membantu membuat perkawinan lebih menarik. “Gereja berperan membantu membentuk suara hati, bukan menggantikannya,” namun akibat pesatnya perkembangan teknologi informatika, kasih pun ditempatkan pada perspektif jaringan. “Kasih dipikirkan sejalan dengan jaringan sosial: bisa connected atau disconnected menurut suasana hati konsumen, obsesi mau bebas. Hubungan afektif seperti barang yang bisa dipakai lalu dibuang.”
Uskup Leo memaparkan sejumlah pokok yang disinyalir oleh sinode sebagaimana terdapat pada ajakan apostolik itu. Berhubungan dengan kebebasan, paus mengatakan, “Ada kecenderungan budaya dunia kini untuk memberi batas-batas pada afektivitas sebagai hal pribadi; afektivitas yang narsistik dan tidak stabil yang menghambat orang bertumbuh menjadi matang.”
Dalam hal informatika, lanjut paus, “penyebaran pornografi dan perdagangan tubuh, dan situasi membuat orang menjadi pelacur.” Sementara itu dalam keluarga-keluarga terdapat beberapa persoalan, seperti mentalitas menolak punya anak yang dipromosikan oleh politik dunia dan kesehatan reproduksi, sehingga terjadi pengurangan penduduk dengan segala konsekuensinya dengan cara kontrasepsi, sterilisasi bahkan aborsi.
Menurut paus, dalam hidup iman, “absennya Allah dalam keluarga menyebabkan kesepian dan melemahnya iman.” Menyinggung kesejahteraan dalam keluarga, Mgr Leo meneruskan pemikiran paus tentang “kurangnya perumahan layak, anak lahir di luar perkawinan, single parent, tempat penampungan ibu dan anak terlantar, usia tua dan rumah jompo, euthanasia,” serta tentang arus mobilitas manusia seperti migrasi, perantauan, urbanisasi.
Dalam Rapat Dewan Keuskupan di Wisma Samadhi Santa Clara Sentani-Jayapura, 23-29 Januari 2017 itu, Mgr Leo memberikan pemetaan kepada 65 pastor dan dewan pastoral paroki mengenai tantangan-tantangan keluarga di dunia saat ini berdasarkan Amoris Laetitia.
Paus membeberkan tantangan masa kini dalam membesarkan anak, karena pekerjaan menyerap waktu dan tenaga orangtua; distraksi dan kecanduan televisi dan media sosial; kerisauan memikirkan masa depan dan bukan memperhatikan saat ini; narkotika, alkohol dan judi yang membuat banyak keluarga pecah.
Poligami, homo, lesbian dan kesetaraan gender, juga mendapat perhatian paus. “Poligami, hidup bersama tanpa rencana menikah menghancurkan lembaga perkawinan dan keluarga. Demikian juga bentuk perkawinan yang dilegalkan negara-negara tertentu, seperti homo atau lesbian.”
Paus melihat perlunya meningkatkan martabat dan hak kaum perempuan (kesetaraan gender, saling menghormati). Tetapi, ”di sisi lain, ada ideologi gender yang menyangkal perbedaan dan kodrat saling melengkapi antara laki dan perempuan. Identitas insani menjadi pilihan individu. Aktus reproduksi dimanipulasi dan dilepaskan dari hubungan seksual laki-perempuan.”
Realitas tantangan itu mengakibatkan keluarga dewasa ini jadi lemah dan “mengancam pertumbuhan kematangan masyarakat dan pemeliharaan nilai-nilai komunitas,” kata Mgr Leo, seraya menegaskan sikap keluarga kristiani yang tertulis dalam Amoris Laetitia no. 41, bahwa “Hanya persatuan antara satu laki dan satu perempuan yang eksklusif dan indissoluble bisa memainkan peranan yang penuh dalam masyarakat sebagai komitmen yang stabil yang membawa buah dalam hidup yang baru. Persatuan orang yang sama jenis kelaminnya bukanlah perkawinan. Persatuan sementara atau yang tertutup untuk transmisi kehidupan tidak dapat menjamin masa depan masyarakat.”
Uskup Leo juga menyampaikan sikap pastoral yang diminta paus dan mengajak peserta untuk mengikuti ajakan paus. “Tidak ada stereotip tentang keluarga ideal; tetapi ada mosaik menantang yang tersusun dari banyak realitas berbeda, dengan sukacita, harapan dan masalahnya. Situasi berubah. Tetapi janganlah meratapi perubahan itu, melainkan carilah bentuk-bentuk baru dengan kreativitas misioner. Gereja harus menawarkan sabda kebenaran dan harapan.”
Peserta diminta mendalami ajakan paus dan melihat relevansinya di paroki masing-masing. “Mana saja yang aktual dalam masyarakat kita, yang membawa pengaruh dalam perkawinan dan keluarga?” tanya uskup seraya berharap agar proses studi bersama itu memberi input untuk penyusunan program kerja pastoral keluarga di paroki-paroki se-Keuskupan Jayapura pada tahun penggembalaan 2017. (Abdon Bisei)