Sesuai promulgasi Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC di akhir Sinode Keuskupan Bandung 2015, maka sejak 2016 hingga 2018 umat Keuskupan Bandung menjalankan fokus pastoral keluarga, yang setelah dikawinkan dengan perhatian Gereja nasional dan universal, menjadi “Keluarga Katolik: Sehati Sejiwa Berbagi Sukacita”.
Fokus Pastoral itu kemudian dibagi dalam tiga sub tema, masing-masing 2016 “Keluarga menghadirkan belas kasih Allah,” 2017 “Keluarga bersekutu dalam komunitas Basis Gerejani,” dan 2018 “Keluarga Saling Berbagi: Peran Keluarga dalam Masyarakat.”
Agar keluarga-keluarga Katolik di keuskupan itu semakin menghayati kekudusan perkawinan dan keutuhan keluarga, sebagai tujuan dari fokus pastoral 2016, maka baru-baru ini dilaksanakan sebuah seminar “Keluarga Tangguh: Sebuah Perjalanan, Mengasihi, Mengampuni, dan Melayani.”
Seminar yang diselenggarakan oleh Tim Fokus Pastoral Keuskupan Bandung di Aula Trinitas Bandung, 26 November 2016 itu dihadiri keluarga-keluarga dari Bandung, Cimahi, Lembang, Purwakarta, Karawang, Pamanukan, Tasikmalaya, Depok, Jakarta, dan Surabaya.
“Keluarga yang tangguh, kokoh, dan utuh adalah harapan setiap orang yang membina kehidupan berkeluarga. Maka, dalam rangka menciptakan suasana seperti itu, pasangan suami istri berusaha memperjuangkan apa yang baik untuk keluarganya. Namun tidak dapat disangkal, kadang masalah datang dalam keluarga. Bahkan kadang suami istri saling menyakiti, baik dalam sikap maupun kata-kata. Situasi-situasi ini bisa mengancam keutuhan kehidupan berkeluarga,” kata Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bandung Pastor Yoyo Yohakim OSC dalam seminar itu.
Pastor Yoyo pun berharap keluarga-keluarga Katolik berkomitmen kuat bahwa belas kasih menjadi landasan hidup suami istri, “sehingga keluarga yang tangguh, kokoh, dan utuh tetap terpelihara dan mendapatkan sukacita dalam hidup mereka.”
Pastor Yoyo menjelaskan, banyak kegiatan sudah direncanakan untuk mengisi tiga tahun itu. Selain seminar, tegas imam itu, pada tanggal 31 Desember 2016 akan diadakan Misa Keluarga di Gereja Katedral Bandung.
Selain itu, jelas imam itu, Tim Pendamping Keluarga sedang mempersiapkan konselor di paroki-paroki agar muncul biro konsultasi keluarga di paroki dan tim spiritualitas keluarga yang bertugas menyelenggarakan rekoleksi, retret, dan pengadaan bahan pendalaman iman di lingkungan.
Ada juga tim Jambore Keluarga, jelas Pastor Yoyo. “Tim itu mempunyai program pelaksanaan Jambore Keluarga, baik di tingkat paroki maupun di tingkat dekanat. Dalam kerangka Tahun Keluarga juga disiapkan bidang Bidang Penyedia Data Keluarga Keuskupan Bandung .
Persoalan keluarga itu sangat banyak. Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC mengakui hal itu saat memberikan pengantar seminar ini. “Oleh karena itu, Gereja hadir di sana. Sukacita keluarga adalah sukacita Gereja, demikian pula dukacita keluarga adalah dukacita Gereja,” tegas uskup.
Ditegaskan bahwa sebagian keluarga di keuskupannya membutuhkan perjuangan lebih karena menghadapi aneka tantangan dan kelemahan. Uskup pun menguraikan tantangan-tantangan dan kelemahan-kelemahan itu.
“Kesulitan ekonomi, situasi sosial, budaya, agama dan kepercayaan yang tidak selaras dengan nilai-nilai perkawinan Katolik seperti poligami, mahalnya mas kawin, dan kuatnya tuntutan pernikahan adat, hidup sebagai keluarga migran atau rantau, perkembangan media informasi yang menggantikan perjumpaan pribadi, dan pemujaan kebebasan dan kenikmatan pribadi, adalah tantangan-tantangan dalam keluarga,” tegas Mgr Bunjamin.
Sedangkan kelemahan-kelemahannya, kata uskup, “adalah kekurangdewasaan pribadi dan kepicikan wawasan, penyakit dan meninggalnya pasangan, keterbatasan kemampuan orangtua untuk mengikuti perkembangan dan pendidikan anak-anak, ketidaktahuan makna dan tujuan perkawinan Katolik, kesulitan dan ketidakmampuan hidup bersama karena perbedaan agama dan budaya, hidup dalam perkawinan tidak sah, ketidaksetiaan dalam perkawinan, hadirnya orang ketiga (idaman lain atau keluarga besar pasangan), dan perpisahan yang tak terelakkan.”
Tantangan-tantangan dan kelemahan-kelemahan ini “menyebabkan perasaan terbeban, bingung, sedih, sepi, bahkan putus-asa bagi anggota keluarga, serta bisa membawa keluarga pada krisis iman yang merintangi, membatasi, bahkan menghalangi keluarga untuk setia kepada iman Katolik dan untuk menghidupi nilai-nilai luhur perkawinan,” kata uskup mengutip SAGKI 2015, 9.
Keluarga, tegas Mgr Subianto Bunjamin, adalah sakramen, yaitu tanda kehadiran Allah Tritunggal, keluarga disebut Gereja rumah tangga (ecclesia domestica), keluarga juga adalah rumah kekudusan, tempat pasutri belajar menjadi kudus. “Dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri berjalan menuju kesempurnaan kasih, yaitu kekudusan melalui perkawinan,” kata Uskup Bandung seraya menegaskan bahwa keluarga adalah juga sekolah kemanusiaan, tempat pasutri berkembang menjadi dewasa.
Menurut Pastor Hadrianus Tedjoworo OSC, menjadi keluarga yang tangguh artinya selalu menyesuaikan diri dengan kehendak Allah. “Pertumbuhan rohani sebagai keluarga yang menuju kedewasaan bisa membuat kita terkejut karena tuntutan tiap anggota keluarga untuk menjadi mandiri. Semula kita merasa keluarga kita baik-baik saja, tapi tiba-tiba suatu saat kita kehilangan pegangan karena harus melangkah sendiri.”
Theresia Indira Shanti mengatakan, perbedaan di antara pasangan dan keluarga kadang menimbulkan konflik, yang dapat saling melukai. “Luka yang ditimbulkan dapat mempengaruhi rasa kasih yang selama ini ada, karena seakan sudah mengkhianati persembahan dirinya.”
Psikolog dan psikoterapis itu pun mengajak peserta mengenali perbedaan di antara pasangan dan tetap menerima perbedaan itu. “Rasa empati karena menyadari perbedaan membuat mereka berempati terhadap alasan perilaku yang melukainya. Empati ini diharapkan membuat mereka mudah memahami dan memaafkan anggota keluarganya. Kasih yang dilakukannya kemudian akan membuat anggota keluarga lain semakin terbuka akan kasih Tuhan. Proses ini akan membuat mereka menjadi keluarga yang semakin tangguh,” katanya. (pcp/iy berdasarkan laporan dari website Keuskupan Bandung)