Kalau tidak tanam bunga, umat tidak pakai bunga potong sebagai hiasan altar

0
3901

bedono-3

Ekopastoral di Paroki Santo Thomas Rasul Bedono salah satunya dilakukan dengan tidak memakai bunga potong untuk hiasan altar. Hal itu terkait dengan persembahan yang jujur. Kalau umat tidak menanam bunga, tentu umat tidak memakai bunga potong sebagai hiasan altar atau persembahan.

“Ini tentang persembahan yang jujur. Inilah yang kami kembangkan di sini, bagaimana kita mempersembahkan diri kita secara jujur di hadapan Tuhan, tidak pakai tempelan. Semakin otentik, semakin sesuai dengan kita,” kata Kepala Paroki Bedono Pastor Patricius Hartono Pr.

Persembahan dan hiasan altar harus diambil dari keseharian umat. Jika ada yang berprofesi sebagai penderes aren (enau), ia memakai bunga enau. Kalau petani, dia memakai hiasan altar dari sayur mayur. Bahkan ada yang memakai rumput di salah satu kapel karena umat di sana sedang mengembangkan gerakan herbal.

Menurut Pastor Hartono, liturgi berkaitan dengan pengalaman hidup umat. “Kalau memang ada keprihatinan tentang sayur, gerakan sayur yang sudah dilakukan dengan jujur tersebut yang dipersembahkan di altar. Dengan itu bukan hanya sekadar dekorasi, tetapi mengungkapkan satu keprihatinan. Yang kedua, menyucikan gerakan yang dilakukan,’ lanjut imam itu.

Pastor Hartono berbicara dalam pertemuan para imam  dan pimpinan dewan paroki (kolasi) Kevikepan Semarang bertema Laudato Si’ “Merawat Rumah Kita Bersama” di Bedono, 13 November 2016. Rumah yang dimaksud di sini adalah bumi, mengacu pada dokumen Laudato Si’ yang menyatakan bumi sebagai rumah bersama.

Selama ini Paroki Bedono mengembangkan ekopastoral yang dilakukan melalui liturgi, cara menggereja, budaya lokal, dan hidup keseharian umatnya.  Menurut imam itu, gerakan itu dilakukan mulai dari yang ada dan melalui hal-hal yang mungkin bisa dilakukan. Dalam bahasa Jawa disebut “apa sing ana, apa sing isa”.

Ekopastoral yang dilakukan di Paroki Bedono bersinggungan juga dengan kebudayaan lokal. “Pilihan mendekatkan kepada kebudayaan lokal itu menjadi tak terhindarkan. Karena ini menjadi lebih dekat,” kata imam itu.

Maka, baik dalam liturgi maupun dalam katekese untuk anak-anak dan umat, Paroki Bedono selalu memakai budaya lokal, misalnya alat musik tradisional dan lagu yang sesuai rasa penghayatan umat setempat. “Dengan mencintai kebudayaan lokal yang dekat, gerakan akan dituntun kepada kerja sama lintas wilayah,” kata imam itu.

Anak-anak pun dilibatkan dalam liturgi. Untuk mendampingi anak-anak, sanggar anak pun didirikan di Paroki Bedono. Sampai waktu ini, sudah ada sembilan sanggar anak, yang menekuni kebudayaan lokal, berlatih kesenian dan juga terlibat dalam liturgi, jelas imam itu.

Selain gerakan tidak memakai bunga potong, Paroki Bedono mendeklarasikan tidak menerima bunga atau buah impor. “Belilah buah lokal produk teman Anda. Syukur dari kebun sendiri. Seandainya paroki-paroki di kota berani mulai beli produk petani di daerah dengan menerima  produk lokal, buah lokal, itu kekuatan yang dahsyat,” tegas Pastor Hartono.

“Merawat Rumah Kita Bersama” adalah tema kolasi itu. Rumah yang dimaksud di sini adalah bumi, mengacu pada dokumen Laudato Si’ yang menyatakan bumi sebagai rumah bersama. Rumah itu, menurut Pastor Hartono, bukan sesuatu yang abstrak, melainkan nyata, yang kita alami di mana kita berada.

Kolasi tentang pembelajaran dokumen itu disemarakkan dengan tembang-tembang Jawa dengan iringan gamelan. Para peserta kolasi yang adalah pastor, suster, serta awam dari berbagai paroki di Kevikepan Semarang turut menyemarakkan dengan memainkan alat-alat musik tradisional seperti kentongan dan rebana.

Seorang anak kecil yang aktif dalam sanggar anak, Maria Samantha Zheva Frederica, didaulat mendongeng tentang persahabatan keong dan cumi-cumi. Di samping itu, juga dilakukan pemutaran film pendek “Kakak Kecoa”, tentang persahabatan manusia dengan hewan.

Para tokoh awam paroki turut memberikan pencerahan mengenai gerakan ekopastoral. Edy Winarno menjelaskan pentingnya budaya lokal dalam hidup menggereja. Dwiono menjelaskan tentang liturgi yang sesuai budaya setempat. Wahyu Hendratno menjelaskan tentang gerakan herbal yang bisa menjadi obat dan menjadi mitra dalam hidup umat. Ia berkisah tentang gerakan melestarikan rerumputan seperti rumput teki atau pun krokot. Irena Frieda menjelaskan tentang pemanfaatan pangan alternatif seperti jali.

Delegatus Administrator Vikaris Episkopal Semarang Pastor AG Luhur Prihadi Pr dalam sambutannya mengatakan, dokumen Laudato Si’ tidak hanya untuk dibaca tetapi untuk dimaknai dan juga dilaksanakan sesuai dengan situasi yang ada. “Kita akan mendalami apa yang sudah menjadi seruan Bapa Suci dan kita kenal sebagaimana hal itu dimaknai di paroki Bedono ini. Dipahami, ditangkap dan kemudian dihayati,” kata imam itu.

Menurut Pastor Luhur, umat diajak membuka, mendalami, menghayati dokumen itu secara nyata. “Sehingga apa yang menjadi keprihatinan Bapa Suci dan diharapkan menjadi gerakan seluruh umat Katolik di seluruh dunia itu menjadi nyata, tentu sesuai kemampuan dan situasi kita.”(Lukas Awi Tristanto)

bedono

bedono-1

bedono-2

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here