“Kami para uskup menyadari betapa perilaku koruptif juga menjangkiti sendi-sendi kehidupan menggereja. Pola korupsi yang ada dalam lingkungan Gereja biasanya mengikuti pola korupsi yang ada di lembaga-lembaga lain, misalnya penggunaan anggaran yang tidak jelas, penggelembungan anggaran saat membuat proposal kepanitiaan, menggunakan bon pengeluaran fiktif, meminta komisi atas pembelian barang, dan pengeluaran biaya yang dipas-paskan dengan anggaran pendapatan.”
Para uskup se-Indonesia menulis hal itu dalam “Seruan Pastoral KWI 2016 Stop Korupsi: Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif” seperti yang diberikan kepada wartawan dari berbagai media dalam konferensi pers setelah penutupan Sidang KWI 2016 di ruang tamu KWI, 10 November 2016.
Sidang KWI 2016 yang berlangsung 31 Oktober 2016 hingga 10 November 2016 diawali dengan Hari Studi selama tiga hari dengan topik “Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif”.
Dalam seruan pastoral itu para uskup menyerukan perubahan mental untuk mencegah perilaku koruptif, baik dalam diri sendiri maupun di lingkungan masing-masing. Seruan itu sama seperti yang tercantum dalam Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia, Desember 1970, yakni mendorong umat Katolik untuk jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau golongan, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak kita untuk berbuat korupsi.
“Di samping itu, iman harus kita kuatkan, gaya hidup kita perhatikan, dan kepekaan terhadap kebutuhan sesama harus kita tingkatkan hingga kita takut akan Tuhan, malu pada sesama, dan merasa bersalah pada masyarakat seandainya melakukan korupsi,” tegas para uskup.
Seruan bertanggal 10 November 2016 yang ditandatangani ketua dan sekretaris jenderal KWI masing-masing Mgr Ignatius Suharyo dan Mgr Antonius Bunjamin Subianto OSC itu menjelaskan bahwa korupsi yang merupakan kejahatan yang merusak martabat manusia itu sulit diberantas karena sudah sedemikian mengguritanya.
“Pemberantasannya harus dilakukan melalui gerakan bersama dalam sebuah sistem yang transparan, akuntabel, dan kredibel. Tumbuhkan kepekaan dan kepedulian individu terhadap masalah-masalah korupsi. Berkatalah tegas dan jelas: “Stop korupsi,“ tulis seruan itu.
Umat Katolik juga diajak melibatkan diri dalam pemberantasan korupsi, mulai dari diri sendiri untuk tidak korupsi. “Jangan memberikan uang suap untuk mengurus apa pun, tempuhlah cara yang baik dan benar. Jangan meminta upah melebihi apa yang seharusnya diterima sebagai balas jasa atas pekerjaan yang kita lakukan,” minta para uskup.
Selain itu umat diminta tidak merampas dan memeras tetapi mencukupkan diri dengan gaji yang diterima, tidak membiarkan diri dibujuk oleh roh jahat yang menampilkan dirinya sebagai malaikat penolong bagi hidup kita, serta mencermati perilaku koruptif dengan hati jernih agar kita tidak mudah goyah oleh bujukan roh jahat. “Sebagai orang beriman, sekaligus sebagai warga negara sejati, kita harus berani menghapus dan menghentikan korupsi sekarang juga,” harap para uskup.
Stop korupsi, minta para uskup, hendaknya dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan kerja, “lalu kita tularkan kepada masyarakat di sekeliling kita.” Para uskup juga meminta agar sikap dan gerakan anti korupsi dijadikan habitus baru dalam kehidupan kita sehari-hari. “Allah yang menciptakan alam semesta begitu baik dan sempurna, menugaskan kita untuk menjaganya agar tetap baik dan sempurna, tentu akan memberi kekuatan kepada kita saat secara nyata mewujudkan hidup yang baik dan sempurna tanpa korupsi,” tulis seruan itu.(paul c pati)
Teks lengkap bisa dibaca di:
Segala sesuatu bila sudah berkaitan dengan ranting-ranting dalam sebuah sistem, maka itu hanya akan menjadi kemustahilan…kecuali gerakan dimulai dari Pimpinan tertinggi hingga pimpinan terendah…inisiatif pribadi dapat dilakukan selama tidak bersinggungan dengan sistem yang berlaku…mari direnungkan