Home KEGEREJAAN Adat Karo hiasi kepergian Pastor Siswido Swy OFMConv bermarga Sembiring

Adat Karo hiasi kepergian Pastor Siswido Swy OFMConv bermarga Sembiring

0

IMG_0623

Gendang kematian dengan iringan keyboard terdengar terus menerus di Aula Paroki Santo Maximilianus Kolbe dari Paroki Santo Yosef Delitua, Sumatera Utara, mengiringi tari-tarian, petuah-petuah, serta tangisan dan senandung, di hari Rabu dan Kamis minggu lalu.

Iringan-iringan musik mengantar warga adat Karo dalam tarian mengelilingi peti jenazah berwarna putih tempat terbaring seorang imam dari Ordo Saudara Dina Konventual (OFMConv) keturunan Tionghoa, yang meninggal di usia 42 tahun saat menjalankan olah raga rutin berenang di Sunter, Jakarta.

Nama imam itu, Pastor Antonius Maria Siswido Swy OFMConv yang lahir di Jakarta 7 Oktober 1974 dari Pasangan Almarhum Petrus Peter Swy dan Maria Ignatia Herawati. Namun, ketika frater atau sebelum tahbisan imam di gereja Paroki Delitua itu 19 Maret 2005, imam itu sudah mengambil nama keluarga atau marga Sembiring, tepatnya Sembiring Kembaren. Marga Sembiring memiliki 16 sub-marga.

Konsekuensinya, di saat Pastor Sis meninggal, dia harus membayar utang adat kepada Kalibubu, “atau yang punya hak hidup, yang memiliki hidupnya, dalam bentuk simbol-simbol, yang dibicarakan secara adat di malam sebelum pemakaman,” kata Guardian Biara Santo Yosef Delitua Pastor Sebastianus Tawar Antoni Maria Ginting Munthe OFMConv.

Kustos Provinsial OFM Conv dari Kustodia Provinsi Maria Tak Bernoda Indonesia Pastor Maximilianus Sembiring OFMConv juga membenarkan dalam sambutannya bahwa beberapa waktu lalu dalam percakapan ringan di ruang makan biara OFMConv di Jakata, setelah melayat seorang umat yang meninggal, Pastor Sis dan teman-teman imam membicarakan tentang kematian. Pastor Sis mengatakan bahwa rupa-rupanya kehidupan akan berharga di saat kematian. Kemudian Pastor Sis menambahkan: ‘Kalau nanti saya meninggal harus gunakan cara adat Karo, karena marga saya Sembiring Kembaran. Banyak saksi mendengar itu. Maka meski berat acara adat itu dilaksanakan.”

Nikodemus Ngapul Tarigan membenarkan bahwa sebelum meninggal Pastor Sis meminta supaya upacara kematiannya dilaksanakan dengan adat Karo. Bapak angkat dari Pastor Sis adalah mantan Ketua Dewan Stasi (vorhanger) Rambe, “dan karena Pastor Sis adalah Marga Sembiring maka sesuai tradisi Karo di saat dia meninggal harus memberikan selembar Ulos (bahasa Batak) atau Uis (bahasa Karo) kepada kalimbubu (paman atau saudara laki-laki dari ibu) sebagai tanda kesetiaan kepada hula-hula (paman, kelompok orang yang posisinya di atas). Kakaknya dari Jakarta juga akan diberikan.”

Setiap putra karo di masa mudanya diberkati oleh kalimbubu sehingga berhasil dalam hidupnya. Pada saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.

Karena ibu angkatnya Boru Tarigan, maka yang menerima Uis saat itu adalah Marga Tarigan. Dalam adat Karo, yang meninggal dan yang hidup tetap berhubungan dan berkomunikasi karena ada ikatan Uis itu.

Maka, pada acara adat Karo berlangsung pagi hari sesudah Misa Arah kelima, mulai pukul 9.00 tanggal 28 Juli 2016 Uis pertama diberikan kepada keluarga Pastor Sis, yang diterima oleh kakak lelakinya dari Jakarta, sedangkan tiga Uis lain diberikan kepada paman dari Jakarta dan dua paman dari Delitua.

Semua itu terjadi di tengah iringan suara gendang kematian etnik Karo dalam ruangan aula yang penuh terisi, antara lain oleh keluarga-keluarga dari lima marga dalam suku Karo yakni Marga Karokaro, Marga Ginting, Marga Tarigan, Marga Sembiring, dan Marga Peranginangin dan cabang-cabang mereka masing-masing. Anak-anak dari Panti Asuhan Betlehem, Banjar Baru, yang pernah dipimpin Pastor Sis juga hadir. Banyak umat terpaksa mengikutinya dari luar aula.

Dalam Uis yang diserahkan diikatkan sedikit uang yang merupakan emasnya atau kenang-kenangan. Jumlah uang sebesar 326.000 rupiah itu akan dibagi-bagi kepada kawan-kawannya atau tetangga dari Marga Tarigan.

Pastor Sis ditahbiskan tahun 2005. Sepanjang tugasnya sebagai Kepala Paroki Santo Yosef Delitua dia telah “banyak berkorban” untuk umat paroki dan umat di 63 stasi dari paroki itu. “Ngak tahu dia dapatkan uang dari mana, namun selama tiga tahun di paroki ini dia sudah mengeramik seluruh gereja di paroki ini termasuk semua 63 gereja stasi yang ada,” jelas Ngapul Tarigan.

Namun Vorhanger itu melihat satu kekurangan Pastor Sis. “Kotbahnya singkat dan cepat, sehingga kita kurang puas. Masih ingin mendengar, dia sudah berhenti. Maka dia sungguh dikenang,” kata Ngapul Tarigan di malam sebelum pemakaman di tengah riuh musik hiburan “berjaga-jaga” dari keluarga-keluarga yang baru saja selesai mengadakan pertemuan adat untuk menentukan acara adat sebelum pemakaman.

Jenazah Pastor Sis tiba di Bandara Kuala Namau Medan dari Paroki Santo Lukas Jakarta tanggal 27 Juli 2016. Setelah lima Misa Arwah yang dirayakan bergantian oleh komunitas-komunitas Delitua, Padang Bulan, Namopencawir, Tiga Juhar, Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura, Kefa, Nunukan, Tanjungkarang, Bandarbaru, Tigadolok, dan Bitora, dan juga umat dari Jakarta di aula itu, jenazah Pastor Sis dibawa oleh para frater ke gereja Paroki Delitua untuk Misa Pemakaman yang dipimpin Uskup Agung Emeritus Medan Mgr Alfred Gonti Pius Datubara OFMCap, 28 Juli 2016.

Sekitar 1500 umat menghadiri Misa yang dirayakan dengan 40 imam konselebran itu. Banyak umat harus mengikuti Misa dari luar gereja. Sebanyak itu juga umat mengantar Pastor Sis yang dimakamkan di kompleks Paroki dan Biara Santo Yosef Delitua itu.

Upacara pemakaman dalam lubang tembok pemakaman khusus para imam Ordo Saudara Dina Konventual di Indonesia itu dipimpin oleh Kustos Provinsial di Indonesia bersama Mgr Datubara.

Pastor yang ceplas-ceplos yang berkarya di Jakarta sementara belajar bahasa Inggris dan menunggu ijin studi antropologi di New York itu telah pergi. Agak sulit menggantikan imam itu, kata Ngapul Tarigan, karena umat sudah merasakan sumbangsih bagi orang miskin, khususnya tidak mampu membangun rumah. Dan lebih daripada itu, lanjutnya, imam itu ingin sekali mengangkat dan melestarikan budaya Karo. Bahkan dia mengatakan, ‘Aku orang Karo, kalau meninggal nanti pakai adat Karo.’”(paul c pati)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version