Sabtu, 05 Maret 2016

0
2511

pharisee

PEKAN PRAPASKAH III (U)
Santo Yohanes Yosef; Gerasimos;
Santo Eusebius dari Kremona

Bacaan I: Hos. 6:1-6

Mazmur: 51:3-4.18-19.20-21ab; R: Hos. 6:6

Bacaan Injil: Luk. 18:9-14

Sekali peristiwa Yesus menyatakan perumpamaan ini kepada beberapa orang yang meng­anggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain: ”Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Renungan

Dalam kitab Nabi Hosea ini, bangsa Israel memperlihatkan kepalsuan dan kesombongannya. Dalam sebuah upacara tobat, umat Israel seakan-akan berseru kepada Allah. Mereka tampaknya menyesal atas segala dosanya. Padahal kenyataannya mereka belum sungguh-sungguh bertobat. Mereka masih mengandalkan kemampuan dirinya, bukan kekuatan Allah. Secara lahiriah mereka beribadah dan fisik mereka berada di bait Allah, namun hati mereka jauh dari Allah.

Seorang Farisi juga berlaku sama. Dalam bait Allah ia berada di jajaran depan. Ia tampaknya berdoa kepada Allah dengan penuh kesalehan. Dalam doanya ia menonjolkan apa yang menjadi kelebihannya. Ia memandang positif pada dirinya. Sementara itu, orang lain (pemungut cukai), dilihatnya dengan kaca mata negatif, dari sisi kesalahan dan kelemahannya saja.

Sebaliknya, pemungut cukai dengan perasaan takut datang kepada Allah. Oleh karena itu, ia hanya memilih tempat paling belakang. Namun demikian, ia sungguh-sungguh memandang Allah. Ia menyandarkan dirinya pada kekuatan dan belas kasih Allah. Dalam kelemahan dan dosanya ia membuka diri bagi kerahiman Allah dan kekuasaan-Nya untuk berkarya. Dalam kerendahan hati dan kejujurannya, ia menemukan jalan rahmat dan pengampunan.

Tuhan menghendaki kejujuran dan kerendahan hati manusia, bukan kepalsuan dan kesom­bongan. Tuhan melihat keutamaan-keutamaan itu sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, melebihi kurban bakaran. Ia tidak menyukai kepura-puraan dan kemunafikan. Kita pura-pura baik kepada orang lain padahal menyembunyikan intrik licik di balik itu. Kita tampil sebagai orang yang pemurah, penuh belas kasih dan penyayang, padahal itu hanyalah topeng kepalsuan sekadar untuk dipuji orang. Bercermin pada umat Hosea dan orang Farisi yang manis di bibir dan arogan, mari kita berbenah diri untuk menjadi orang yang suci hatinya dan tulus dalam berbelas kasih.

Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini, dengan anugerah pengampunan-Mu. Amin.

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here