Sabtu, November 2, 2024
25.2 C
Jakarta

Sejak abad keempat Gereja Katolik sudah menetapkan 40 hari masa puasa

Mgr-Vincentius-Sutikno-Wisaksono_01

Tradisi Gereja Katolik, sejak abad ke-4, berdasarkan Kitab Suci, menetapkan 40 hari masa puasa sebagai wujud pertobatan batin untuk mempersiapkan diri merayakan Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Tuhan.

Dengan kalimat itu Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono mengawali Surat Gembala Prapaskah 2016 bagi umat Katolik Keuskupan Surabaya yang dibacakan di semua gereja dan kapel di wilayah keuskupan itu tanggal 6-7 Februari 2016.

Masa itu, jelas Mgr Vincentius, dimulai pada Rabu Abu yang dirayakan tanggal 10 Februari 2016 hingga menjelang Perjamuan Tuhan di Kamis Putih, 24 Maret 2016. “Dalam Kitab Suci diceritakan: selama 40 hari Musa berada di puncak Sinai, selama 40 hari Nabi Elia berjalan menuju gunung Allah yang suci, seluruh penduduk kota Ninive berpuasa selama 40 hari, selama 40 tahun bangsa terpilih keluar dari perbudakan Mesir menuju tanah terjanji, dan selama 40 hari Tuhan Yesus berpuasa di padang gurun,” tulis uskup itu.

Menurut uskup itu, Masa Prapaskah 2016 sungguh istimewa karena dijalani bersamaan dengan Yubelium Luar Biasa Kerahiman Allah. Bacaan Injil selama dua hari itu, jelas Mgr Vincentius, menggambarkan proses istimewa Simon Petrus yang mengalami Kerahiman Allah. “Ikan dalam kisah tersebut dapat kita hayati sebagai kasih karunia kerahiman Allah. Setelah sepanjang malam bekerja keras dan tidak menangkap satu ikan pun, namun setelah mengikuti apa diperintahkan Tuhan supaya bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jala untuk menangkap ikan, akhirnya mereka mengalami kerahiman Allah hingga jala mereka mulai koyak.”

Cara pandang dan cara kerja yang lama terkoyakkan oleh melimpahnya kerahiman Ilahi, tegas Mgr Vincentius. “Dari keputusasaan berubah menjadi kerendahan hati dan hidup penuh ketakjuban akan kerahiman Ilahi.”

Pengalaman iman akan kerahiman Allah yang juga dialami Rasul Petrus dan Nabi Yesaya dalam bacaan-bacaan hari itu, kata uskup itu, “juga ditawarkan kepada kita dan juga diharapkan menjadi proses kita masuk ke dalam misteri Kerahiman Allah selama masa Prapaskah hingga Perayaan Paskah.”

Tanda abu di dahi, jelas uskup, menandakan pertobatan terbuka dan bersama-sama di hadapan Allah dan Gereja untuk memulai perjalanan rohani sebagai seorang pendosa kepada pemurnian jiwa, kata uskup seraya mendorong umatnya untuk “membuka diri bagi Tuhan yang hendak membersihkan dosa-dosa dan menguduskan kita.”

Ditegaskan bahwa tindakan pertobatan adalah tindakan Gereja, bukan sekedar tindakan individual. “Isilah Masa Prapaskah ini dengan lebih tekun bersama-sama mendengarkan dan merenungkan Sabda Tuhan, lebih rajin berdoa, datang kepada imam untuk mengaku dosa, berpantang dan berpuasa serta meningkatkan karya amal kasih terhadap mereka yang berkekurangan dan menderita,” ajak uskup itu.

Gerakan pertobatan, tulis Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono pertama-tama adalah pertobatan batin, yakni sikap hati mengarahkan langkah kepada Allah. “Sikap ini disertai dengan rasa rindu yang mendalam, menata kembali seluruh kehidupan, lalu mewujud dalam tanda-tanda kelihatan dalam puasa, matiraga dan karya-karya pertobatan yang biasa kita namai Aksi Puasa Pembangunan (APP).”

Tema APP 2015 Keuskupan Surabaya adalah “Hidup Pantang Menyerah: Tekun, Ulet dan Sabar.” Dengan tema itu Gereja diharapkan membangun dan mewujudkan hidup berkelimpahan dengan, “Menghargai dan menghormati kerja sebagai anugerah yang berasal dan bersumber dari kasih Allah melalui ketekunan, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup; Menggali dan menemukan daya kehidupan yang bersumber dari Kerahiman Allah untuk menjadi landasan hidup dalam mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin.”

Gereja Keuskupan Surabaya mencanangkan 2016 sebagai Tahun Anak dan Komunikasi Sosial. Oleh karena itu, Uskup Surabaya berharap agar “semangat pertobatan, penghayatan atas kerahiman Allah, daya juang hidup yang pantang menyerah, tekun, ulet dan sabar sudah ditanamkan dalam setiap pembinaan dan pendampingan iman anak, baik di sekolah-sekolah Katolik, di Bina Iman Anak Katolik (BIAK) maupun dalam keluarga di rumah.”

Di era media komunikasi yang semakin canggih, Mgr Vincentius juga berharap agar umatnya semakin cerdas dalam menggunakan alat komunikasi serta media sosial “sebagai saluran pewartaan Kerahiman Allah dan pertobatan bagi sesama dan masyarakat.” (pcp)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini