Katekese dan doa keluarga masih menjadi impian dan idaman. Banyak orang tua dan anak berlomba beraktivitas menggereja, namun abai dalam mengkomunikasikan iman dalam keluarga. Kesempatan berjumpa dalam lingkaran kasih doa keluarga menjadi kesempatan sangat langka dan mewah. Masing-masing sibuk melayani, namun hati kering akan sapaan kasih satu sama lain, bahkan dalam rumah sendiri.
Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur menulis hal itu dalam Surat Gembala Prapaskah 2016 dengan judul “Keluarga Bersemangat Pantang Menyerah.” Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2016 Keuskupan Bogor bertema “Keluarga Bersemangat Pantang Menyerah,” seperti Yesus Kristus, Sang Penebus dan Penyelamat Kita.
Berbagai persoalan tersebut, lanjut Mgr Paskalis, menjadi tantangan cukup berat bagi keluarga-keluarga di masa kini, termasuk keluarga-keluarga Katolik di Keuskupan Bogor. Maka uskup itu mengajak umatnya untuk menggali pandangan Gereja Katolik tentang keluarga.
Keluarga merupakan persekutuan pribadi, sebagai tanda dan citra persekutuan cinta kasih Bapa, Putera dan Roh Kudus (Familiaris Consortio, FC, #21). Berdasarkan pandangan itu, uskup mendorong umat untuk memunculkan tanda itu dalam keluarga “dengan membangun kasih, hormat, dan menghargai satu sama lain, mengembangkan komunikasi aktif dalam perjumpaan-perjumpaan saat makan bersama, bercengkerama, saling berbagi cerita dan pengalaman sehari-hari, berdoa dan membaca Kitab Suci, saling terbuka dan mengampuni bila terjadi kesalahpahaman.”
Keluarga Kudus Nazaret merupakan teladan keluarga yang tangguh dan pantang menyerah. “Ketangguhan keluarga dilandasi oleh sikap hidup dan perilaku saleh dari setiap anggota keluarga. Taat pada ajaran iman dan mewujudkannya dalam interaksi dan relasi antara suami-isteri, orang tua dengan anak dan antara anak-anak. Iman yang kuat hanya didapat ketika komunikasi terjalin dengan baik, saling sapa dalam kasih, saling hormat dan puji, dan tetap tegar berdiri bergandengan tangan saat jatuh,” tulis uskup.
Menjadi keluarga kudus seperti Keluarga Kudus dari Nazaret, menurut Mgr Paskalis, bukanlah hal yang tak mungkin, selama berakar pada Kristus dan hidup menurut Roh yang berbuah kebaikan dan berkat bagi sesama. “Dengan demikian kita menjadi keluarga yang tangguh dan pantang menyerah.”
Sebagai ‘wadah hidup dan sekolah keutamaan cinta kasih’ (FC #36), keluarga hendaknya menjadi ‘rumah’ yang menyediakan pembelajaran tentang kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23).
“Bilamana keutamaan-keutamaan ini sungguh dikembangkan dan dihidupi dalam keluarga, sinarnya akan memancar keluar sebagai pewartaan kabar gembira, suka cita Injil, kesaksian hidup di tengah masyarakat. Inilah citra Bapa, Putera dan Roh Kudus yang dinampakkan oleh keluarga kristiani,” lanjut uskup.
Keluarga katolik yang tangguh dan pantang menyerah merupakan sel masyarakat yang kuat dan berdaya sehingga terwujud kesejahteraan bersama (Apostolicam Actuositatem, AA, #11). Apapun situasi dunia, tegas uskup, “kita tidak akan bergeming karena berpegang pada iman dan ajaran Kristiani, menghidupinya setiap saat dan selalu membaruinya dengan semangat kasih dan pengampunan.”
Di akhir surat gembala itu, Mgr Paskalis meminta umatnya untuk menjadikan masa Prapaskah ini sebagai “momentum kebangkitan rohani dan aksi tobat nyata”. Bersama Kristus di jalan Salib, tegas Uskup Bogor itu, “kita menekuni kembali perjalanan hidup keluarga kita, mengikat yang terlepas, membangkitkan yang terkulai dan menguatkan janji kasih yang pernah diucapkan. Kita menjadikan keluarga kita sebagai keluarga yang menghidupi sukacita Injil, keluarga yang tangguh dan pantang menyerah, serta mempraktekkan hidup berbelas kasih antar anggota keluarga dan orang lain.”
Semangat pantang menyerah injili itu, lanjut Mgr Paskalis, dirayakan dalam Paskah Kebangkitan Kristus. “Dengan demikian, pesta Paskah menjadi pesta orang-orang yang bersama Kristus, pantang menyerah terhadap godaan-godaan duniawi.” (pcp)