Minggu, Desember 22, 2024
28.6 C
Jakarta

Mgr Subianto: Menjadi imam harus peka dan tidak melukai hati umat

Tanto

Menjadi imam bukan untuk mencari kesenangan sendiri tetapi demi kesejahteraan dan keselamatan umat, maka “selalu mawas diri jangan sampai apa yang saya katakan, saya perbuat, saya gunakan dan saya kenakan menyakiti hati atau melukai hati umat.”

Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin berbicara dalam homili Pentahbisan Imam dari Diakon Stefanus Tanto Agustiana Pr di Paroki Bunda Maria Cirebon, 30 September 2015. Rektor Seminari Tinggi Fermentum Bandung Pastor Bhanu Viktorahadi Pr dan Kepala Paroki Bunda Maria Cirebon Pastor Yohanes a Cruce Kristiono Hartanto Pr menjadi imam asisten, serta sekitar 50 imam lain menjadi konselebran dalam tahbisan itu.

Dalam homili, Mgr Subianto mengungkapkan salah satu unsur penting untuk menjadi pelayan Tuhan yakni kepekaan, kemauan dan kemampuan mendengarkan. “Peka akan suara Tuhan yang mungkin berbicara melalui suara hati, melalui peristiwa, melalui Gereja dan umat atau kejadian-kejadian dalam masyarakat, dan peka akan harapan umat yang dibangun lewat hidup rendah hati,” kata uskup.

Kepekaan lain, menurut Mgr Subianto adalah “peka akan kolegialitas para imam melalui hidup rukun yang baik dan bersaudara dengan sesama imam serta bekerja sama dengan sesama imam untuk memenuhi kebutuhan umat, karena mendengarkan suara Tuhan dan jeritan umat.”

Seorang imam, lanjut uskup, harus peka akan jeritan masyarakat yang penuh perjuangan, “dengan hidup terlibat dengan tetangga dan masyarakat, sehingga bukan hanya dikenal tetapi mengenal masyarakat di sekitar.”

Kepekaan-kepekaan itu disebut oleh Mgr Subianto sebagai cara hidup yang sepadan dengan panggilan  Tuhan, “itulah wujud konkret dari Fiat Mihi Secundum Verbum Tuum (Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu)” yang menjadi moto tahbisan imam dari Pastor Stefanus Tanto Agustiana.

Secara simbolis Mgr Subianto mengungkapkan semua kepekaan atau harapan hidup pelayanan Tuhan yang tidak ngeyel itu lewat penyerahan persembahan dalam  Misa itu dengan mengatakan, “Romo Tanto, terimalah bahan persembahan ini, yang dibawa oleh umat Allah yang kudus. Sadarilah yang engkau lakukan, hayatilah yang engkau rayakan, dan selaraskanlah hidupmu dengan  misteri Salib Tuhan.”

Menurut Pastor Stefanus Tanto Agustiana yang lahir di Cirebon 11 September 1986, kata-kata Bunda Maria yang dia gunakan sebagai motto panggilan itu sebetulnya sangat sederhana, tapi arti dan maknanya sangat luar biasa. “Perkataan ini memberikan konsekuensi bagi saya pribadi … menyerahkan seluruh kehendak bebas kepada Allah semata.”

Lulusan S2 Teologi di Universitas Parahyangan yang pernah melaksanakan TOP di Paroki Pulau Sapi Keuskupan Tanjung Selor dan mengaku sejak kecil bercita-cita menjadi pilot itu mulanya hanya mempromosikan kepada teman-temannya di SMP Yos Sudarso Cigugur untuk melanjutkan sekolah ke Seminari Menengah Mertoyudan karena kakaknya sudah lebih dulu studi di sana.

Namun, lima kawannya yang tertarik merasa tak lengkap kalau mendaftar ke seminari tanpa dilengkapi Tanto, sang promotor. Maka berangkatlah mereka berenam ke Muntilan untuk seleksi masuk, tulis Majalah Damar dari Paroki Bunda Maria Cirebon. Tanpa disangka, lanjut media itu, yang lolos seleksi hanya Tanto dan seorang temannya, dan dalam perjalanan temannya keluar dan kakaknya juga dikeluarkan dari seminari.

Sejak 1 Juni 2015, Diakon Tanto mendapat SK dari Uskup Bandung untuk menjalani masa diakonat di Paroki Bunda Maria Cirebon, dan pada Ritus Penutup Misa itu Mgr Subianto mengumumkan bahwa Pastor Stefanus Tanto Agustiana Pr ditugaskan di paroki yang sama, dan sekitar 700 umat yang hadir dalam Misa itu bertepuk tangan.(paul c pati)

Tanto1

Tanto2

Tanto3

Artikel sebelum
Artikel berikut

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini