Lima pria muda “mengkhianati” ibu mereka masing-masing karena tidak mengikuti harapan dan permintaan ibu-ibu mereka untuk membantu perekonomian keluarga, tetapi memilih menjadi “orang gila” yang tidak ingin bekerja memperkaya diri dengan harta benda atau kekayaan dan mengejar kedudukan agar menjatuhkan sesama demi kepentingan perut, tetapi ingin bekerja tanpa memperhitungkan upah atau gaji.
Pastor Paulus Halek SSCC berbicara mewakili empat rekan imam lain yang baru saja ditahbiskan imam bersama dia oleh Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku Pr di Kapela Biara SVD Santo Yoseph Nenuk, Timor Barat, 28 September 2015.
Keempat imam baru lain adalah Pastor Egidius Melchides Binsasi SVD, Pastor Silvester Manek Eko SVD, Pastor Yohanes Fajar Suwasono SVD, Pastor Yoseph Mario Yeremias Mere Wea SVD dan Pastor Paulus Halek SSCC.
Provinsial SVD Timor Pastor Vinsen Wun SVD, Provinsial SSCC Indonesia Pastor Nugroho Susanto SSCC, Vikjen Keuskupan Atambua Pastor Theodorus Asa Siri Pr, Rektor SVD Timor Pastor Yohanes Naihati SVD, Uskup Emeritus Mgr Anton Pain Ratu SVD, dan banyak imam lain menjadi konselebran.
“Kami mau bekerja tanpa dibayar untuk kemuliaan Tuhan Allah, kemuliaan Gereja Katolik Roma dan kemuliaan umat sekalian serta masyarakat Indonesia dan dunia yang akan kami layani kelak dengan cinta, kasih dan perhatian tulus,” kata Pastor Paulus Halek SSCC.
Menjadi imam, lanjut Pastor Paulus Halek, “bukan untuk menjadi kaya, melainkan menjadi semakin miskin.” Kelima imam itu juga mengaku bukan plat merah seperti kendaraan dinas milik pemerintah yang bisa dibawa ke mana saja dan selalu ada di mana saja, “melainkan imam religius yang taat pada aturan konstitusi,” tegas imam itu.
Selanjutnya, imam itu menjelaskan keprihatinan mereka untuk mencari Tuhan yang hilang di tengah kita. “Kami mau mencari Tuhan yang sudah retak dan sudah terpisah dari keluarga-keluarga Kristiani, khususnya keluarga-keluarga Katolik. Kami mau mencari Tuhan dalam diri kaum muda yang terjebak dan jatuh dalam penggunaan serta pemakai Narkoba, korban HIV/AIDS dan seks bebas. Kami mau mencari Tuhan dalam Gereja, karena di antara sesama kaum berjubah tidak lagi saling setia dan peduli.”
Egosentris terus membodohi imam, uskup, diakon, biarawan-biarawati, suster, bruder, frater dan umat sekalian, sehingga “kami sempat meragukan jangan sampai Tuhan tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Jika sampai terjadi, maka mampuslah kita sebagai manusia yang tidak bermartabat ini.”
Simprosius Leki Dasi, seorang umat dari Paroki Katedral Santa Maria Imaculata Atambua mengatakan bahwa harga diri Gereja Katolik Roma terletak dan melekat erat dalam pundak para imam, maka mereka harus menghargai rahmat tahbisan imamat dengan tetap setia dan mati sebagai imam Tuhan.
“Saya berpesan, jangan menjadi imam Tuhan setengah dewa atau setengah jadi atau setengah jalan. Jangan pula menjadi imam Tuhan bermental preman yang akhirnya membikin umat kesal, kecewa dan berputus asa. Menjadi imam Tuhan berarti total dan berserah diri sama Tuhan Yesus. Jangan kaget-kaget sudah menjadi seorang ayah karena tidak kuat terhadap godaan,” katanya.
Dalam khotbahnya, Uskup Dominikus Saku mengaku bahwa para imam bukanlah malaikat, maka perlu diperlakukan secara wajar. “Jika berlebihan, maka para Imam akan melupakan janji imamat sucinya, sebab para imam ditahbiskan untuk menjadi imam, nabi dan raja, bukan untuk dijadikan “dewa”.”
Mgr Saku berharap agar umat di Keuskupan Atambua tidak menjadikan imam sebagai raja, karena kalau demikian, “mereka (imam) akan lupa diri.” Sebaliknya, “jika mereka salah” uskup mendorong umat untuk menegor dan menasehati mereka sebagai anak, saudara, adik atau sahabat. “Dan kalian para imam harus mau mendengar teguran dan masukan dari umat sekalian, sehingga kalian tidak serta merta menanggalkan jubah serta jabatan imamatnya dan pergi memilih hidup berkeluarga,” kata uskup. (Felixianus Ali/Maria Ansila Abuk)