Oleh Konradus R Mangu*
Mulai tahun ajaran lalu, Christiana Sunarti, 42, tidak lagi tampil di depan kelas untuk mengajar agama Katolik bagi sejumlah anak di sebuah sekolah dasar negeri di Tangerang. Dia berhenti mengajar karena jumlah jam mengajar telah mencukupi. Akibatnya, pengajaran agama Katolik sejak tahun ajaran itu tidak lagi diajarkan oleh guru mata pelajaran agama Katolik.
Christiana tidak sendirian. Masih ada guru agama Katolik yang bekerja di wilayah Tangerang mengalami nasib seupa. Kalau sebelumnya mereka mengajar di sejumlah sekolah negeri dan non-Katolik, kini mereka harus berhenti karena kurang adanya dukungan kepala sekolah setempat, dan juga karena lembaga tersebut menolak menerima guru Katolik, walaupun ada murid yang beragama Katolik. Yoseph Mbulu, misalnya. Sejak tahun ajaran lalu, dia tidak lagi mengajar di sebuah SMP swasta di Tangerang.
Kendala umum yang dihadapi guru di Banten itu adalah cerita lama, bahkan sudah bertahun-tahun. Pemerintah setempat sudah mengetahui kondisi ini, namun setelah mendapat laporan tidak juga ada solusi yang tepat untuk masalah tersebut.
Persoalan ketiadaan guru Katolik di sejumlah sekolah non-Katolik pernah diutarakan dalam suatu kesempatan Temu Tokoh Agama dengan Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, dan juga dalam suatu pertemuan dengan anggota DPR Fraksi PDIP Provinsi Banten (Ananta Wahana, SH). Namun kondisi itu belum mengalami perubahan.
Pemerintah Kabupaten Tangerang melalui Bupati Tangerang pernah berjanji dalam sebuah forum dialog untuk menyelesaikan persoalan itu, namun tantangan guru agama Katolik itu belum juga diselesaikan hingga saat ini, sementara kewajiban semua murid Katolik untuk mendapatkan pengajaran agamanya, selayaknya murid agama lain, tetap dinantikan.
Kecenderungan anak Katolik untuk tidak mendapatkan pengajaran agama Katolik dengan optimal menambah persoalan hidup beragama di Banten. Di sana, masih ada umat Katolik yang masih merasa sulit melakukan ibadah atau doa lingkungan atau wilayah. Di tempat tertentu, terasa juga kesulitan membangun gedung gereja.
Kepala Pembimbing Masyarakat (Pembimas) Katolik dari Kementerian Agama Banten, Stanislaus Lewotobi, mengatakan kepada PEN@ Katolik di ruang kerjanya di Serang, Jumat 26 Juni 2015, bahwa dia sudah mengetahui berbagai tantangan yang dihadapi para guru Katolik di Banten.
Selama ini dia mengakui sudah merancang sejumlah kegiatan yang melibatkan katekis paroki dengan melakukan pembinaan, namun setelah melakukan pembinaan, tidak banyak perubahan yang terlihat di tengah masyarakat. Ia mengakui adanya tantangan tetapi itu tidak boleh menyurutkan semangat dalam melayani. “Saya mohon guru Katolik tidak boleh putus asa,” katanya.
Dia menyetir pengalaman Yesus sebagai Tuhan yang ditolak dan ditentang oleh banyak pihak, tapi justru Ia mengalami sukacita dalam mewartakan Kabar Gembira di tengah-tengah umat. “Teladanilah semangat Yesus dalam melayani kendati banyak tantangan dihadapi dalam melakukan pelayanan tersebut,” katanya.
Banten adalah provinsi dengan mayoritas Muslim, tegasnya. Namun sebagai bagian dari warga negara, umat Katolik tidak boleh merasa minoritas. “Yang paling penting adalah berkontribusi sekecil apa pun di tengah masyarakat dalam membangun negeri ini,” ajaknya.
Sudah sejak tahun 2008, Stanislaus Lewotobi bertugas di Banten. Seharusnya dia sudah memasuki purnatugas di awal Februari 2015 lalu. Namun, dia masih dipercaya untuk terus memimpin hingga pensiun Februari 2017. “Saya bekerja dengan hati dalam melayani umat Katolik di Banten,” kata Stanislaus dalam suatu kesempatan wawancara.***
* Konradus R Mangu adalah seorang guru di Tangerang
Keterangan foto: Stanislaus Lewotobi