Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si’: On Care for Our Common Home” (Terpujilah Engkau: Tentang kepedulian terhadap Rumah Kita Bersama) mendorong umat Katolik dan siapa pun yang membacanya untuk membarui pandangannya tentang hubungan antara manusia dan lingkungan, kata Donny Danardono dalam sarasehan Agama Ramah Lingkungan di Aula Pastoran Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kebon Dalem, Semarang, 23 Juni 2015.
Menurut Ketua Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Universitas Soegijapranata itu, “umat Katolik dan siapa pun yang membaca ensiklik yang dirilis 18 Juni 2015 itu tak bisa lagi mempertahankan etika antroposentrisme dan biosentrisme, tetapi mungkin menjadi penganut ekosentrisme, yang sangat peduli pada hukum dan hak, untuk melindungi makhluk hidup non-manusia, dan benda-benda alam ini, atau bergerak ke arah etika kepedulian seperti yang diusulkan oleh feminis, Carol Gilligan.”
Dalam pertemuan dengan 150 peserta dari berbagai agama, Donny membahas tiga etika lingkungan yang berpengaruh terhadap lingkungan. Pertama, etika antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat. “Pandangan ini menyatakan bahwa semua ciptaan non-manusia diciptakan Tuhan hanya untuk manusia. Namun, antroposentrisme sudah menghasilkan kerusakan lingkungan besar.”
Kedua adalah biosentrisme. Menurut Donny, etika itu mengajarkan bahwa yang jadi inti kehidupan bukan hanya manusia tapi segala makhluk hidup non-manusia. “Binatang dan tumbuhan harus dihargai setara kurang lebih dengan manusia. Dalam teori etika mereka disebut subyek lingkungan, bukan pelaku lingkungan,” katanya.
Pelaku lingkungan adalah manusia, yang bisa dimintai pertanggungan jawab, sedangkan non-manusia adalah subyek lingkungan yang hanya punya hak hidup tapi tidak bisa dimintai pertanggungan jawab, jelasnya. Dengan pandangan itu, “manusia masih bisa memain-mainkan lingkungannya semau-maunya karena menganggap non-manusia tidak hidup.”
Ketiga adalah ekosentrisme, yang mengajarkan bahwa manusia hanya satu bagian dari segala ciptaan Tuhan. “Baik etika biosentrisme maupun ekosentrisme masih memberikan hak kepada ciptaan non-manusia. Hal itu terungkap dalam pandangan bahwa binatang atau air mempunyai hak, yang diwujudkan dalam aturan hukum, misalnya hukum atau UU mengenai lingkungan hidup.”
Dalam situasi itu, Donny meragukan keefektifan hukum atau undang-undang tentang lingkungan hidup. Menurutnya, hukum yang berisi hak dan kewajiban tidak dengan sendirinya membuat manusia peduli pada orang lain dan lingkungan. “Hak dan kewajiban yang diatur pada hukum selalu merupakan tuntutan terbatas, tuntutan minimum. Karena itu potensial mengasingkan manusia dari sesamanya dan dari lingkungan,” katanya. Kebersamaan yang diatur oleh hukum adalah kebersamaan formalis yang semu dan tidak tulus, jelasnya.
Maka, dia menawarkan etika kepedulian yang dirumuskan oleh Carol Gilligan. “Peduli bukan soal adil, peduli bukan soal hak, bukan soal kewajiban, peduli itu ya seperti Tuhan menciptakan kita ini. Itu bukan hak Tuhan, bukan kewajiban Tuhan, tapi karena Dia peduli,” katanya.
Menurutnya, berbeda dari hukum yang berorientasi hak dan kewajiban, etika kepedulian berangkat dan berorientasi pada situasi nyata yakni kehidupan, tepatnya relasi antarindividu atau individu dengan lingkungannya. “Jadi dalam etika kepedulian ini, kita harus tidak mencemari air, harus mengurangi hasrat tidak menebang pohon, bukan karena ada UU lingkungan yang akan menghukum dengan hukuman mati kalau menebang pohon, tetapi kalau pohon kita tebangi maka kita akan hidup sendiri,” katanya.
Kalau manusia mencemari lingkungan, mencemari air, mencemari udara, mencemari tanah, tegasnya, dia akan punah juga. “Bukan tanah itu yang punah, tapi dirinya juga akan punah. Dan dia tidak bisa menyebut dirinya sendiri sebagai manusia,” katanya.
Menurutnya, hidup yang diselenggarakan oleh hukum adalah hidup fomalistis, hidup minimum, hidup terbatas, hidup semu, hidup tidak original. “Hidup yang original adalah hidup yang didasarkan pada kepedulian,” tegasnya.
Ensiklik itu juga membahas tentang penciptaan manusia dan hubungannya dengan relasi manusia dengan alam, dengan lingkungan, juga tentang krisis lingkungan secara global.
Menurut Paus Fransiskus, setiap ciptaan memiliki tujuan pada dirinya sendiri. “Biarkan mereka berkembang sesuai dirinya sendiri,” katanya. Bagi Paus, penyebab krisis lingkungan seperti perubahan iklim adalah etika antroposentrisme yang berkembang di ruang publik, di pemerintahan dan bisnis, maupun di ruang privat, di rumah tangga, dan pendidikan.
Lewat ensiklik itu, kata Donny, Paus bukan hanya mendorong umat Katolik. “Tapi saya kira juga bisa dibaca dan direfleksikan oleh yang bukan Katolik, untuk menyadari posisinya sebagai bagian kecil dari lingkungan ini.” Kalau Jokowi melakukan revolusi mental untuk Indonesia, kata Donny, maka Paus Fransiskus melakukan revolusi mental untuk umat Katolik.
Pastor Aloys Budi Purnomo Pr, yang berkisah tentang keterlibatannya dalam membela keutuhan ciptaan terutama di lereng pegunungan Kendeng bersama para Sedulur Sikep, mengatakan bahwa ensiklik itu untuk mengritik para kapitalis yang mengeruk dan merusak alam semesta ini untuk kepentingan sendiri.(Lukas Awi Tristanto)