Awalnya hanyalah sebuah drama yang dipentaskan oleh beberapa frater dan OMK, namun demi membangun kastil guna membentengi diri dari “bajak laut” sebanyak 50 anak usia kelas satu sampai enam SD satu per satu mengawali Salam Maria dalam doa Rosario yang dilanjutkan oleh ratusan anak lain serta kaum remaja, OMK, serta orangtua, frater, suster dan imam.
Selesai setiap Salam Maria, anak yang mengawalinya mengambil satu belahan tembok dari kardus dan menyusunnya hingga terbentuk sebuah kastil. “Ceritanya, karena bajak laut mencuri harta karun di Kerajaan Red Moon, maka ratu menggalang kekuatan dengan mengajak rakyatnya (anak-anak), setelah diyakinkan oleh tiga jenderal yakni Dominikus, Katharina, dan Agustinus. Namun sebelum melawan bajak laut itu, anak-anak berdoa Rosario,” cerita Pricilia Monika kepada PEN@ Katolik.
Setelah Doa Rosario yang diawali dengan Aku Percaya oleh Ratu Elsa serta Bapa Kami dan Kemuliaan oleh orangtua dan tiga Salam Maria oleh tiga orang kudus itu, serta semua lima Bapa Kami oleh orangtua, para frater masuk membawa Kitab Suci besar dari belakang para peserta, lanjut Ketua Panitia Pondok Kitab Suci 2015 Paroki Redemptor Mundi, Surabaya.
Kitab Suci itu diterima oleh Kepala Paroki Redemptor Mundi Surabaya Pastor Andreas Kurniawan OP (Pastor Andrei) yang menyerahkannya kepada Pricilia Monika yang lalu menatahkannya di atas panggung. Bunyi petasan pun berbunyi disertai letupan asap dan guntingan-guntingan kertas warna-warni terbang menghujani peserta. Gong pun dibunyikan sebagai tanda dibukanya Pondok Kitab Suci 2015 itu.
Sebanyak 203 anak dari sekitar 10 paroki menghadiri acara yang dijalankan oleh sekitar 50 kakak pendamping serta sekitar 20 panitia yang semuanya pernah menjadi peserta pondok itu. Empat frater diosesan dan dua frater Dominikan (OP) serta dua suster ikut membantu.
Dari panggung tempat Kitab Suci itu ditatahkan, Pastor Andrei menjelaskan bahwa Pondok Kitab Suci ke-10 di Paroki Redemptor Mundi tanggal 24-27 Juni 2015 itu mengambil tema My Family is My Hero atau “bagaimana menjadi pahlawan di tengah-tengah keluarga kita.”
Keluarga sebagai Gereja Mini, jelas imam itu, memiliki peranan penting dalam mendampingi anak-anaknya. “Keluarga adalah kelompok terkecil dari Gereja, tempat terjadinya persekutuan erat antara bapak, ibu dengan anak-anak, yang menjalankan peran masing-masing dengan setiap saat menghadirkan Kristus.”
Orangtua kemudian mendekati anak-anaknya dan memasangkan sleyer di bahu mereka sebagai simbol bahwa anak siap pergi “berperang”. Ketika Pastor Andrei memberkati peserta, orangtua mendekati anak-anaknya dan juga memberi tanda salib di dahi mereka. Pastor Andrei juga memerciki semua peserta dengan air kudus. Acara pembukaan yang dipenuhi lagu dan gerak itu diakhiri dengan foto bersama.
Untuk mengalahkan bajak laut, kata Pricilia, acara hari pertama mempersiapkan anak-anak untuk mengenal diri sendiri yang sebenarnya adalah superhero dan diajak menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan mereka diajak membuat pedang dan tameng dari kertas. Pedang dan tameng itu kemudian dilengkapi ayat-ayat kitab suci sebagai “mantera” agar kuat mengalahkan bajak laut, berupa segala tantangan dalam kehidupan keluarga.
Dalam sesi-sesi berupa film, permainan dan hiburan, anak-anak juga belajar tentang superhero lain, yakni Santo Dominikus, Santa Katharina dan Santo Agustinus, yang masing-masing memiliki keunikan dalam keluarga mereka.
Selain diajak merasakan bahwa “Keluarga Sumber Kekuatanku”, mendapat ‘ilmu,’ dan menjadi Laskar Kristus, menurut Pricilia, anak-anak itu sudah siap ‘berperang.’ Pondok ke-10 itu, lanjutnya, dibuat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Pada hari ketiga peserta dibawa ke Surabaya Carnival untuk outbound 7 Sakramen yang memasukkan unsur-unsur keluarga,” dan ikut bersama dalam drama yang melanjutkan drama di saat pembukaan. Saat itu, semua anak-anak ikut bersama dalam upaya merebut kembali pusaka kerajaan Red Moon berupa foto-foto keluarga, dan ‘Bajak Laut’ pun terkalahkan karena kebutuhannya akan kasih sayang keluarga.
Di hari terakhir, lanjut Pricilia, anak-anak akan memberikan hasil karya mereka dalam rupa foto keluarga yang mereka hias kepada orangtua mereka di saat Misa Penutup, “agar lebih akrab dan lebih saling mengasihi.”(paul c pati)