Home SOSIAL Komunitas Sant’Egidio minta presiden selamatkan 10 terpidana mati

Komunitas Sant’Egidio minta presiden selamatkan 10 terpidana mati

0

DSCN0857[1]

Komunitas Sant’Egidio meminta agar presiden RI, Joko Widodo, segera menghentikan pelaksanaan eksekusi mati sepuluh terpidana mati yang kini sudah berada di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dan memilih cara lain untuk memberikan sanksi kepada para terpidana untuk menumpas kejahatan narkoba, apalagi hak hidup merupakan hak asasi manusia.

Pernyataan itu dikemukakan oleh Koordinator City for Life dari komunitas itu, Aprianus Doe, dalam  pernyataan sikap bersama Koordinator KontraS Haris Azhar, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Karlina Supeli, serta dua Dosen UI Gadis Arivia dan Panata Harianja di hadapan media cetak dan elektronik di kantor KontraS, Menteng, Jakarta, 24 April 2015.

Komunitas Sant’Egidio adalah gerakan internasional dari Gereja Katolik di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, yang bekerja untuk orang miskin dan lemah serta perdamaian. “Hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkoba tidak menghentikan kejahatan kemanusiaan itu, karena tidak ada keadilan tanpa kehidupan,” kata Aprianus. Dia berharap pemerintah Indonesia memikirkan ulang keputusan untuk para pelaku kejahatan narkoba dan memberikan sanksi berat bukan eksekusi mati.

Dalam pernyataan Komunitas Sant’Egidio yang juga dirilis hari itu, komunitas itu mengungkap kecemasan atas nasib terpidana mati yang terlibat kasus narkoba. “Kami terkejut mendengar Indonesia sebagai negara demokrasi memilih hukuman mati untuk memberikan keamanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kami yakin bahwa Indonesia memiliki cara lain untuk melindungi masyarakatnya dari tindakan kekerasan dan melawan perdagangan narkoba.”

Juga diyakini bahwa hukuman mati tidak akan mengurangi kejahatan, tidak akan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat pada korban dan keluarganya, tidak akan mencabut akar kejahatan. “Selain itu, si pelaku kejahatan tidak akan mendapatkan kesempatan untuk dididik dan mengubah hidup.”

Negara seperti Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi evolusi demokratis hak-hak manusia, maka mereka yakin, Indonesia pasti mengingat bahwa hak utama manusia adalah hak untuk hidup, “karena tidak ada keadilan tanpa kehidupan.”

Yakin bahwa Presiden akan mempertimbangkan imbauan itu demi melindungi hidup para terpidana mati, Komunitas Sant’Egidio, yang sudah lama bekerja di Indonesia bagi orang miskin dan perdamaian, meminta tanda belas kasih dan memikirkan ulang, “namun juga mengambil tindakan tegas melawan perdagangan narkotik dan mempromosikan budaya dan undang-undang yang melindungi hidup dan martabat manusia.”

Komunitas Sant’Egidio lahir di Roma tahun 1968 atas prakarsa Andrea Riccardi, anak muda yang waktu itu berumur kurang dari 20 tahun. Dia mengumpulkan anak-anak sekolah seperti dirinya untuk mendengarkan dan mengamalkan Injil. Kehidupan umat perdana dan kehidupan Santo Fransiskus Asisi adalah referensi utama kehidupan komunitas itu.

Penolakan hukuman mati didukung juga oleh Universitas Indonesia, STF dan pegiat hukum. Dalam pernyataan bersama untuk Pemerintah Indonesia, mereka meminta Jaksa Agung dan Presiden agar segera membatalkan hukuman mati mempertimbangkan kondisi kejiwaan terpidana mati yang diduga sakit kejiwaan, memberikan ruang untuk melaksanakan hak peninjauan kembali dalam proses peradilan tersebut, dan melakukan moratorium hukuman mati.

Dalam pertemuan dengan para wartawan, Karlina bertanya kepada pemerintah mengapa kejahatan itu harus mendapat hukuman mati, padahal “hak hidup merupakan paling mendasar dimiliki setiap manusia.” Jika pemerintah melakukan hukuman mati, lanjutnya, maka pemerintah sedang melakukan pembunuhan berencana. “Intinya hukuman mati itu harus ditolak!” tegasnya.

Gadis menilai, keputusan pemerintah itu terburu-buru, maka sebaiknya dipikirkan atau ditinjau kembali. “Menurutnya jalan keluar untuk mengatasi problem narkoba di Indonesia adalah pendidikan dan advokasi bukan membunuh sesama manusia yang memiliki hak hidup.” Sedangkan menurut Panata, pilihan hukuman mati bukan pilihan beradab. “Berarti pemerintah tidak menghargai manusia sebagai makhluk yang bermartabat.”

Selain mengeluarkan dan membacakan pernyataan bersama, peserta membagikan stiker kepada orang-orang yang melewati jalan di samping Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, baik yang berjalan kaki maupun yang menggunakan kendaraan bermotor.

Haris Ashar menilai sistem hukum, khususnya peradilan di Indonesia, tidak memperhatikan warga yang lemah, padahal sejumlah terpidana bukan pelaku tetapi korban yang seharusnya diberikan hukuman bukan hukuman mati. (pcp, Konrad R Mangu)

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version