Home SOSIAL Perguruan tinggi Katolik tidak boleh jadi lahan bisnis dan diskriminatif

Perguruan tinggi Katolik tidak boleh jadi lahan bisnis dan diskriminatif

0

RUA pose

Bercermin dari Bacaan Injil Yohanes tentang pengusiran para pedagang dalam Bait Allah oleh Yesus, Uskup Agung Kupang mengingatkan para pengelola perguruan tinggi Katolik untuk tidak menjadikan perguruan tinggi sebagai lahan bisnis atau market place tetapi menghindari penciptaan life style  atau budaya konsumerisme.

Harapan itu disampaikan Uskup Agung Kupang Mgr Petrus Turang dalam homili Misa Pembukaan Rapat Umum Anggota (RUA) ke-32 Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) yang berlangsung di aula utama Kampus II Universitas Katolik Widya Mandira Kupang di Penfui, 9 Maret 2015.

Selain itu, Mgr Turang berharap perguruan tinggi Katolik tidak bersikap diskriminatif tetapi membuka kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berjumpa dengan Allah guna membangun martabat manusia yang lebih terhormat dan berbudaya di tengah kerapuhan yang melanda dunia dewasa ini.

“Seharusnya tidak lagi ada diskriminasi, tanpa sekat yang membeda-bedakan. Berilah kesempatan bagi semua orang, tanpa memandang siapapun dia untuk menikmati pendidikan di perguruan tinggi Katolik, sebagai bagian dari kesempatannya untuk berjumpa dengan Allah untuk selanjutnya turut membangun martabat manusia yang kian rapuh sehingga menjadi lebih terhormat dan berbudaya,” lanjut Mgr Turang.

Uskup Bandung Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC dan Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus yang menaungi Unika Widya Mandira Kupang Pastor Gregorius Neonbasu SVD menjadi konselebran Misa itu. Turut hadir dalam Misa itu Wakil Walikota Kupang dokter Hermanus Man.

RUA yang berlangsung 9-12 Maret 2015 itu membahas tentang otonomi perguruan tinggi karena, menurut Ketua APTIK Pastor Dr Ir Paulus Wiryono Priyotamtama SJ, pengelolaan perguruan tinggi swasta dewasa ini tidak mudah.

“Banyak tuntutan, selain campur tangan negara, sehingga kebebasan akademik dalam mengembangkan visi dan misi perguruan tinggi sangat terganggu,” ujar mantan Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu. Juga dikatakan bahwa menciptakan masyarakat yang transformatif adalah bagian dari pelayanan Gereja Katolik di Indonesia, dan “otonomi perguruan tinggi sangat penting dalam membangun transformasi.”

Rektor Universitas Katolik Parahyangan Bandung Profesor Robertus Wahyudi Triweko menyebutkan bahwa dalam APTIK ada forum rektor yang membahas kerja sama antarperguruan tinggi Katolik di bidang penelitian, pengabdian masyarakat, pembelajaran, dan pembinaan karakter. “Ada pula beasiswa yang dilakukan yakni student mobility program yang memberi kesempatan kepada mahasiswa di lingkungan APTIK untuk merasakan belajar di tempat lain.”

RUA itu juga mendengarkan masukan dari Ketua KWI Mgr Ignatius Suharyo dan menyaksikan penganugerahan APTIK Award bagi para dosen yang dinilai kreatif dan inovatif. (Thomas  A  Sogen)

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Pesan

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version