Dalam wawan hati dengan Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta yang selama tiga setengah tahun menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Bandung itu bertanya, “apakah yang harus kita lakukan supaya lingkungan hidup kita menjadi lebih manusiawi dan dengan demikian menjadi lebih Kristiani?”
Mgr Suharyo, yang berakhir tugasnya di Keuskupan Bandung setelah pelantikan Uskup Bandung yang baru Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC, masih menemani umat Keuskupan Bandung saat merayakan Perayaan Puncak Tahun Pastoral ‘Kebangsaan’ 2014 sekaligus Perayaan Syukur 50 Tahun Paroki Kristus Raja Cigugur, di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, 19-21 September 2014.
Untuk mengajukan pertanyaan yang sebenarnya menjadi ukuran keterlibatan setiap orang yang dibaptis di tengah masyarakat itu, umat mesti memiliki dua kompetensi yakni “bela rasa atau punya hati untuk sesama dan kerja sama yang harus dilatih dengan berbagai cara,” kata Mgr Suharyo.
Kepada semua pastor kepala paroki dan sekitar 200 wakil Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan 240 OMK dari seluruh 23 paroki di Keuskupan Bandung serta frater dan suster, Mgr Suharyo menegaskan bahwa membumi adalah kata kunci kalau Gereja mau mengakar, mekar, motekar (tidak lelah mencari akal supaya cita-cita menjadi kenyataan) dan menjadi berkat bagi masyarakat.
Dalam Misa yang dirayakan sebelumnya dan dihadiri juga oleh ratusan umat Paroki Cigugur, Mgr Suharyo memberi renungan tentang “menjadi berkat bagi masyarakat,” yang diartikannya berdasarkan bacaan-bacaan hari itu sebagai “menunjukkan keutamaan-keutamaan hidup, menjadi teladan dan menawarkan arah hidup, serta memperkaya banyak orang.”
Dalam konteks masyarakat yang ditandai penyakit sosial komunalisme dalam arti kecenderungan melihat orang lain di luar kelompoknya sebagai musuh, maka “menjadi berkat berarti mengembangkan sikap dan budaya inklusif, yakni menjadikan orang lain sebagai saudara dan mengembangkan budaya ‘kita’ serta tanggungjawab sosial.”
Sikap orang Samaria yang baik hati, lanjut Mgr Suharyo, merupakan contoh konkret kepedulian kepada sesama yang menderita dan membutuhkan pertolongan. “Hal ini merupakan perwujudan kasih tanpa pamrih atau kasih agape, yang menggerakkan orang untuk keluar dari dirinya sendiri dan mengatasi sekat-sekat sosial, etnis, dan kultural.”
Menurut Ketua KWI itu, sikap orang Samaria merupakan wujud kedewasaan yang bertolak dari satu pertanyaan “apa yang akan terjadi pada orang itu, kalau saya tidak membantu?” Sikap itu menunjukkan tranformasi radikal dalam cara berpikir. Sedangkan Imam dan orang Lewi bertolak dari pertanyaan “apa yang akan terjadi pada diri saya kalau saya membantu dia?”
Kasih agape yang merupakan ciri murid Kristus menjadi nyata dan konkret dalam kerelaan memberi dan berbagi sehingga setiap orang mengalami suka cita, kata Mgr Suharyo, seraya mengakhiri homili dengan cerita tentang anak muda yang membawa batu ajaib, yang mampu membuat semua orang membawa apa yang mereka miliki dari rumahnya untuk dimasak dan berpesta bersama.
Dalam perayaan itu, peserta disadarkan bahwa para misionaris yang berkarya di Keuskupan Bandung telah mencoba menggunakan pendekatan inkarnatif Yesus dan pendekatan kultural Paulus, misalnya adaptasi dan akomodasi unsur-unsur budaya lokal ke dalam liturgi Gereja.
“Selain menyentuh aspek spiritual liturgis, Gereja juga telah mencoba dan sedang melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup manusia, misalnya dalam bidang kesehatan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, sosial-budaya, dan ekologi,” demikian Mgr Suharyo yang juga ditulis dalam pernyataan akhir yang dibacakan oleh Pastor Laurentius Tarpin OSC, yang menggantikan jabatan Mgr Antonius Bunjamin OSC sebagai provinsial OSC.
Dalam perayaan itu mantan Vikjen Keuskupan Bandung Pastor Paulus Wirasmohadi Soerjo Pr menghadiahkan kepada Mgr Suharyo buku berjudul “Menjadi Gereja Yang Berbelarasa” yang merupakan inspirasi Kasih Mgr Ignatius Suharyo bagi Umat Keuskupan Bandung, dan sebuah plakat berisi dua buah kujang atau senjata khas Jawa Barat, yang satu dengan 7 titik (sakramen) dan yang lainnya dengan tiga titik (Tri Tunggal) yang berdiri di sisi kiri dan kanan sebuah salib. (paul c pati)