Sabtu, Oktober 12, 2024
27.5 C
Jakarta

Mgr Martinelli akan tetap tinggal meski hanya tersisa satu orang Katolik

Giovanni Innocenzo Martinelli

Vikaris Apostolik Tripoli, Mgr Giovanni Innocenzo Martinelli, mengatakan baru-baru ini bahwa umat Katolik di Libya sudah berkurang banyak saat ini, “namun saya berniat tetap tinggal di sini bahkan jika hanya tersisa satu orang Katolik saja.”

Libya akan melalui masa paling sulit sejak jatuhnya rejim Gaddafi. Di Tripoli, bentrokan berdarah untuk menguasai bandara yang terjadi antara berbagai milisi telah membuat kerusakan parah pada fasilitas bandara. Situasi di Cyrenaica lebih membingungkan karena ada berbagai milisi berbeda berjuang untuk menguasai wilayah itu.

Dalam pembicaraan dengan Fides Agency, Mgr Martinelli melukiskan bahwa “di Cyrenaica sudah tidak ada lagi biarawati, sementara mayoritas warga Filipina sudah meninggalkan kawasan, yang merupakan jantung umat Katolik di Libya. Di Tripoli, kehadiran orang Filipina masih lumayan tetapi banyak dari mereka juga sudah pergi.”

Kehidupan Gereja, lanjut Mgr Martinelli, terkait erat dengan umat awam yang bekerja di sektor kesehatan dan situasi ini benar-benar menjadi cobaan yang besar bagi Gereja. “Saya tidak tahu kapan ini akan berakhir, namun saya yakin sekelompok orang di sini akan melayani Gereja,” kata Mgr Martinelli.

“Perang nampaknya sudah berakhir, namun situasi tetap genting. Bandara ditutup dan orang-orang mulai naik kapal. Bahkan perjalanan darat ke perbatasan Tunisia sudah tidak mungkin dilalui,” kata vikaris apostolik itu seraya menambahkan bahwa masa depan Libya ada di tangan Tuhan.

Mgr Martinelli mengatakan tidak ingin meninggalkan negara itu. “Aku tidak bisa meninggalkan orang-orang Katolik yang tersisa,” kata Mgr Martinelli seraya memohon doa, karena “hanya dengan doa situasi sulit seperti yang terjadi di Libya hari ini akan berakhir.”

Perang Saudara Libya diawali unjuk rasa di Benghazi, 15 Februari 2011, untuk menuntut mundur pemimpin Lybya, Muammar al-Qaddafi yang sudah lama berkuasa. Akibat tindakan represif pemerintah dalam mengatasi pemrotes, protes ini berubah menjadi pemberontakan dan perang saudara. Pasukan oposisi dan pemerintah bertempur satu sama lain. Perang ini juga mengakibatkan banyak warga Libya mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Para pejuang milisi Zintan, dengan senjata anti-pesawat terbang dan mortir telah menguasai Bandara Internasional Tripoli. Peperangan di antara dua kelompok militan yang saling bersaing menyebabkan menara pengawas bandara hancur dan sebelas pesawat penumpang yang sedang diparkir ringsek.

Dalam pertempuran sejak 14 Juli 2014, kantor berita Reuters melaporkan, sedikitnya 15 orang tewas baik di Tripoli maupun kota sebelah timur Libya, Benghazi. Di sana, pasukan cadangan loyalis bekas jenderal Khalifa Haftar yang juga mantan sekutu dekat Muammar Qadhafi membombardir basis-basis pasukan bersenjata rivalnya. Sedangkan pasukan khusus pemerintah bertempur melawan kaum militan di kota itu.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry dalam keterangan pers di Washington, 15 Juli 2014, mengatakan AS siap membantu mengakhiri kekerasan di negeri Afrika Utara itu. “Kekerasan ini terburuk sejak Presiden Muammar Qadhafi tumbang tiga tahun lalu.”(pcp)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini