Beberapa waktu lalu, terjadi kerusuhan antara warga desa Lohayong dan Wulublolong yang bertetangga di Kabupaten Flores Timur, akibat pengambilan batu oleh warga Wulublolong di lahan sengketa tetapi diisukan sebagai pembakaran mushola dan Al’quran.
Kisah itu merupakan sebuah contoh pengalihan sebuah peristiwa menjadi isu agama, seperti yang diceritakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTT Eusabius Binsasi saat berbicara sebagai panelis dalam Seminar Nasional bertajuk “Ikhtiar Menggali Identitas Lokal: Pengalaman Muslim Pribumi di NTT.”
Dalam seminar yang dilaksanakan oleh Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang di Aula Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang, 18 Januari 2014 itu, kakanwil itu menegaskan bahwa kehidupan beragama di provinsi NTT selama ini sangat baik meskipun masih sering terjadi persoalan yang cukup kompleks.
“Ada kejadian yang sesungguhnya bukan isu SARA, tetapi hanya sengaja dialihkan menjadi isu tersebut sehingga bisa menjadi persoalan yang harus ditangani dengan serius dan sangat hati-hati,” kata Eusabius Binsasi seraya menghimbau agar masyarakat selalu menjaga kebersamaan dan meningkatkan rasa toleransi dan kerukunan.
Namun di tahun 2013, jelas Binsasi, sejumlah kasus kerukunan dan penodaan agama mencuat, seperti perusakan gereja Betlehem Nunhala Bijeli Noemuti di Timor Tengah Utara, pembangunan gereja Bethel Indonesia di Sarotari, Larantuka, Flores Timur, kasus praktik dzikir oleh sebuah yayasan di Kabupaten Alor yang mengizinkan laki-laki dan perempuan bukan suami istri berada dalam ruangan tertutup, serta pengrusakan patung Bunda Maria di Gua Silawan Kabupaten Belu oleh seorang oknum dari Timor Leste.
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia NTT, Abdulkadir Makarim, kebebasan dan kehidupan umat muslim di wilayah NTT lebih nyaman dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. “Izin mendirikan masjid, mengumandangkan adzan dan melaksanakan sholat di lapangan terbuka serta kegiatan pengajian tidak dikekang sebagai bukti tolerasi yang tinggi dari kelompok mayoritas seperti Katolik dan Kristen Protestan,” kata Makarim.
Hal ini bisa terjadi, jelasnya, karena keterikatan dan kekentalan hubungan kekeluargaan lebih diutamakan daripada sekat agama, “sehingga sejumlah persoalan yang terindikasi SARA dapat diselesaikan dengan pendekatan adat dan kekeluargaan.”
Seminar itu dengan moderator Pastor Herman Punda Panda Pr, Nobertus Jegalus, dan Syamsul Bahri itu menampilkan juga sejumlah peneliti dan dosen Islamologi NTT seperti Pastor Philipus Tule SVD, Pastor Bartholomeus Bolong OCD, Pendeta Fredrik Doeka, Pendeta Lintje Pellu, Muhammad Atang, Marthinus Metboki dan Polikarpus Meo Teku.(Thomas A Sogen)***