Sudah empat hari beberapa kampung di Kabupaten Landak tergenang banjir yang bervariasi antara 1 sampai 4 meter. Menurut berbagai sumber, 2400 keluarga sepanjang aliran sungai Mempawah menjadi korban, ribuan rumah dan ruko terendam, serta empat orang dikabarkan meninggal.
Tanggal 3 Desember 2013, Kampung Raba Atas, Kampung Pahar, Kampung Sepahat, dan wilayah pasar di Kecamatan Menjalin menjadi “waduk penampungan” air hujan. Di kecamatan Mempawah Hulu (Karangan), air merendam Kampung Antus, Simpang Dano, dan wilayah pasar kecamatan Karangan, sedangkan di Kecamatan Toho banjir merendam Kampong Takong.
Menurut Ketua Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Pontianak (KAP), Pastor Faustus Irwan Darmawan Bagara OFMCap, banjir yang terjadi tahun ini adalah “banjir terbesar sepanjang sejarah hidup orang Menjalin, Toho dan Karangan … bencana ekologis … buah pertama dari investasi modal yang serampangan.”
Di pagi subuh tanggal 5 Desember 2013, Pastor Bagara dan tiga relawan dari Komisi PSE, Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) dan Caritas dari KAP, melakukan penggalian informasi dan kebutuhan akibat bencana (assessment) dan pantauan atas musibah itu.
Dari laporan yang diterima sebanyak 3 orang meninggal akibat banjir, ternak dan harta benda lain tidak dapat diselamatkan, belum ada tempat-tempat pengungsian yang dibuat khusus, warga terdampak mengungsi di lantai dua rumah mereka, sementara warga lain mengungsi ke rumah-rumah keluarga atau tetangga yang lebih tinggi atau lebih dari satu lantai.
Dikatakan juga bahwa pemerintah daerah kabupaten sudah mengirimkan perahu karet dan beberapa LSM sudah mulai berdatangan melakukan assessment.
Komisi PSE, Komisi Perdamaian dan Caritas KAP sudah melakukan assessment lapangan, membuka Posko Bantuan Banjir, mendekati Program Malaria SR PSE Pontianak untuk menyiagakan obat-obatan dan berkoordinasi dengan Kuria Keuskupan Agung Pontianak dan donatur perorangan maupun kelompok kategorial di lingkungan Gereja. Selain itu, dibentuk Posko Bersama Komisi PSE, KKP, dan Caritas dari KAP serta Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) antar-Tarekat Religius Kalbar, dan Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP).
Dijelaskan bahwa yang dibutuhkan warga terdampak adalah makanan dan makanan anak-anak, minuman (air mineral), pakaian (pakaian dan selimut), tenda, dan peralatan masak.
Tarekat-tarekat religius dan Rumah Sakit Antonius di Pontianak serta berbagai donatur, baik pribadi maupun kelompok, termasuk dari umat Buddha kini mengalir lewat posko itu. Namun, masih banyak kesulitan menyalurkan bantuan untuk yang terisolir meskipun umat Katolik setempat sudah membantu membuat rakit-rakit sederhana untuk para relawan.
Tanggal 1 Desember 2013, petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Landak bersama tim medis Dinas Kesehatan Landak mendatangi Dusun Pesayangan dari Desa Raja yang terisolir.
Kepala Dusun Pesayangan, Sulasman, mengatakan kepada wartawan seperti dikutip oleh Tribun Pontianak, bahwa sudah empat hari dusunnya terendam banjir, namun dua hari ini cukup parah. “Ketinggian air kalau di kawasan rumah warga ada yang mencapai tiga meter, tapi rata-rata tinggi air 1,5 meter.”
Sementara itu, Pastor Yohanes Robini Marianto OP dari Pontianak menyebarkan informasi bahwa setelah Topan Haiyan di Filipina, kini bencana alam banjir melanda Kalimantan Barat. “Banyak orang meninggal, kehilangan rumah, masih tidak bisa dijangkau dan kelaparan. Ada yang peduli?”
Beberapa jalan dan perumahan di Pontianak juga digenangi air. Namun, Biara Dominikan di Kompleks Perumahan Palapa mulai mengumpulkan bantuan untuk dibagikan. “Saya akan minta Dominikan Awam Pontianak untuk membuka posko,” katanya kepada PEN@ Indonesia seraya mengharapkan bantuan dari bantuan dari sesama umat Katolik untuk memberikan bantuan bagi para korban termasuk perawatan medis.***