Home OPINI Mgr Yohanes Harun Yuwono sangat piawai mengelola perbedaan

Mgr Yohanes Harun Yuwono sangat piawai mengelola perbedaan

0

Mgr Harun Yuwono

Oleh Lukas Awi Tristanto*

Non Est Personarum Acceptor Deus atau Allah tidak membedakan orang (bdk Kis 10,34) adalah moto uskup terpilih Keuskupan Tanjungkarang Mgr Yohanes Harun Yuwono yang ditahbis menjadi uskup oleh Mgr Aloysius Sudarso SCJ, Mgr Hilarius Moa Nurak SVD dan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap di Kompleks SMA Xaverius Pahoman, Bandar Lampung, 10 Oktober 2013.

Tahbisan uskup itu dirayakan bersama Duta Vatikan Mgr Antonio Guido Filipazzi, Kardinal Mgr Julius Darmaatmadja SJ, 27 uskup dan 198 imam serta lebih dari 9000 umat dari berbagai paroki di Keuskupan Tanjungkarang.

Memang, sebagian besar umat di keuskupan itu adalah pendatang yang mencari hidup di sana karena tanah Lampung itu subur. Dengan moto itu, pemimpin baru dari umat Katolik di Keuskupan Tanjungkarang, yang meliputi wilayah Lampung, sadar bahwa Lampung itu sebagai Sai Bumi Ruwa Jurai (satu bumi dua penghuni, yaitu penduduk asli dan pendatang).

Mgr Yu, demikian Mgr Yohanes Yuwono biasa disapa, yakin bahwa para pendatang dan yang tinggal di Lampung, siapa pun mereka, dari mana pun asalnya, tanpa harus dibeda-bedakan, dibimbing, dituntun dan diajak menciptakan kerukunan, kedamaian, dan persaudaraan sejati dalam ziarah menuju keselamatan berdasarkan iman akan Allah yang menghendaki semua orang selamat.

Keyakinan itu sangat relevan dengan kondisi Lampung yang dihuni oleh masyarakat beraneka ragam. Selain penduduk asli, Lampung yang pernah menjadi daerah transmigrasi tentu banyak didatangi penduduk dari berbagai daerah seperti Jawa, Bali, dan daerah lain.

Para pendatang itu membawa kekhasan dan perbedaan di Lampung. Perbedaan dan kekhasan masing-masing pendatang itu tentu membuat Lampung menjadi semakin kaya akan perbedaan. Meski berbeda, masyarakat Lampung diajak bersatu membangun kehidupan bersama. Namun, sebagai manusia, penduduk Lampung terkadang jatuh dalam tantangan-tantangan sektarian baik agama, suku, maupun cara pandang.

Mgr Yu tentu sadar akan kelebihan dan tantangan hidup di Lampung. Sebagai orang yang lahir di Lampung yakni di Way Ratai, Mgr Yu sejak kecil sudah sangat paham akan perbedaan. Terlebih lagi, keluarganya juga tidak semuanya seiman. Dan tentu, dalam kondisi tersebut, Mgr Yu sudah sangat piawai mengelola perbedaan itu sejak dari keluarga.

Selain dari keluarga, perjumpaannya dengan masyarakat yang multiagama dan multietnis telah mengkondisikan diri uskup baru itu untuk menjadi manusia yang terbuka akan perbedaan. Maka, uskup itu sangat menghormati perbedaan, hingga memilih moto yang sedemikian terbuka pada semua orang.

Mgr Yu meyakini, Tuhan menciptakan perbedaan, namun tidak pernah membeda-bedakan manusia. Semua sama di mata Tuhan apa pun agama, suku, dan cara pandangnya. Mgr Yu meyakini itu berusaha menghidupinya dalam semangat penggembalaannya sebagai tokoh agama.

Moto tahbisan uskup Mgr Yu sebenarnya mengajak baik umat Katolik secara khusus maupun umat beragama lain untuk membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati adalah persaudaraan yang melintasi sekat-sekat perbedaan, baik agama, suku, warna kulit, ras, bahkan pandangan hidup. Persaudaraan sejati memungkinkan pihak-pihak yang bersengketa kembali berdamai semata-mata demi memuliakan manusia yang adalah citra Tuhan sendiri (Imagio Dei).

Namun, sayangnya, persaudaraan sejati kerap terkoyak oleh perpecahan. Perpecahan itu bisa mewujud dalam konflik bahkan konflik yang berujung pada kekerasan. Sementara konflik bisa dipicu oleh persoalan-persoalan ekonomi, politik maupun cara pandang tertentu. Tentu, semua itu tidak dikehendaki bagi banyak orang.

***

Setidaknya di Indonesia, ada tiga kerusakan fatal yang merasuki segi-segi kehidupan manusia yakni kekerasan, korupsi dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam kondisi itu, umat beragama ditantang untuk membangun pertobatan bersama. Sementara itu, masing-masing agama mesti harus bekerja sama membangun pertobatan bersama itu. Apalagi, tiga kerusakan itu sudah menjadi dosa-dosa sosial dalam masyarakat yang tak jarang melahirkan kemiskinan struktural jika dibiarkan.

Maka, untuk memperbaiki semua itu, kerja sama antara tokoh-tokoh dari berbagai agama mutlak diperlukan. Dengan demikian moto dan semangat Mgr Yu, bahwa Allah tidak membedakan orang, sangat relevan dalam hal ini.

Dalam konteks Lampung atau Indonesia yang di dalamnya dihuni banyak agama, maka beragama di Indonesia adalah beragama bersama orang beragama lain. Tak ada jalan lain. Kita tak bisa sendiri membangun bangsa ini. Agama-agama itu bak mozaik yang saling menjalin kekuatan dalam membangun perdamaian dan kesejahteraan lahir dan batin di bumi Nusantara ini.

***

Agama dalam situasi masyarakat yang masih berjuang menuju kesejahteraan bersama mesti berdialog, baik dengan kemiskinan, budaya maupun agama-agama lain yang hidup di sekitarnya. Dengan demikian, beragama tidak berada dalam ruang kosong namun mengakar dan hidup dalam konteks hidup kekinian masyarakat.

Ketika kemiskinan masih menghantui rakyat, di sanalah agama mesti berbicara dan bertindak konkret mengajak umatnya untuk beriman secara konkret, membumi dan bekerja bersama penganut agama lain, bukan beragama di awang-awang sendirian.

Mgr Yu dengan motonya “Allah tidak membedakan orang” sebenarnya mengajak kita semua untuk bersama-sama membangun kehidupan ini, apa pun agamanya, apa pun sukunya, apa pun warna kulitnya untuk bersatu membangun kehidupan bersama. Maka, mari kita satukan tangan kita, satukan semangat kita untuk membangun kehidupan ini demi kesejahteraan lahir dan batin. Selamat berkarya, Mgr Yu!

*Pegiat Dialog Lintas Agama

Exit mobile version