Sembilan perempuan berpakaian serba hitam masuk arena Patung Hati Kudus Yesus di Bandara Mopah, Merauke. Mereka mencoret wajah dan pergelangan kaki dan menyematkan dedaunan. Dengan mahkota asli Marind Anim Ha, mereka menari memuji beberapa laki-laki yang berhasil memenangi pertempuran.
Tujuh lelaki dengan wajah penuh coretan masuk memegang busur serta panah. Sementara menari, terdengar lantunan lagu berbahasa Marind oleh enam perempuan dan laki-laki di sudut lapangan. Tiba-tiba muncul dua ekor kanguru atau saham dalam bahasa setempat. Mereka mencari makan, sambil mengelilingi para penari. Para lelaki lalu memanah dua kanguru itu, tetapi mereka lolos.
Sekitar 10.000 orang menyaksikan sendratari “Evolusi Anim Ha” yang ditampilkan para pelajar Sekolah Tinggi Katolik Santo Yakobus, Merauke, saat perayaan 108 Tahun Agama Katolik Masuk Wilayah Papua Selatan, 14 Agustus 2013. Perayaan itu ditandai dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin Uskup Agung Merauke Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC dengan 23 imam konselebran.
Kemudian muncul seorang lelaki dengan tubuh bercat lumpur dan bertelanjang dada. Beberapa perempuan langsung lari ketakutan, karena dia mengamuk dan mencabut segala tanaman serta merebut rating-ranting yang dipegang oleh enam pelantun lagu-lagu adat Marind.
Kehadiran dua malaikat berpakaian hitam menari menyongsong lelaki itu dan dia pingsan. Dengan penuh kasih, seorang perempuan berpakaian daun pisang datang memeluk lelaki itu, dan terdengar lagu-lagu ratapan serta ledakan tangisan.
Dua kanguru datang lagi dan mencium orang yang ditangisi agar hidup lagi. Dua malaikat berpakaian putih pun datang mengantar dua katekis dan seorang imam. Awalnya para lelaki hendak memanahnya, tapi sang misionaris memberikan sebuah cermin. Melihat wajahnya sendiri, suasana berubah menjadi bersahabat. Dua katekis lalu mengajarkan Tanda Salib dan mereka mengikuti.
Gambaran sulitnya agama Katolik memasuki bagian selatan Papua terlihat dalam sendratari itu. Tetapi, berkat kegigihan para misionaris yang mendidik dan mengajarkan orang berdoa hingga kampung-kampung, semua orang menikmati pembangunan hingga sekarang.
“Menelurusi Jejak Misionaris di Papua Selatan Seratus Tahun Misi Gereja Katolik 14 Agustus 1905-2005” yang ditulis Willem Hanny Rawung MSC mencatat, agama Katolik diperkenalkan oleh Pastor Van der Heyden SJ di Merauke tahun 1892 yang masuk Kampung Saliraka atau Selira atau Serika.
Tanggal 22 Desember 1902, Vikariat Apostolik Batavia dipisahkan menjadi dua wilayah, maka wilayah Timur Sulawesi menjadi Prefektur Apostolik Nederland Nieuw Guinea yang diserahkan kepada MSC. Cacatan Mgr Jacobus Duivenvoorde MSC berjudul “Sejarah Gereja Katolik di Irian Selatan” yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Merauke Desember 1999 menyebutkan wilayah itu terlalu luas maka wilayah Irian Jaya-Maluku dipisahkan tanggal 14 Agustus 1905.
Sekda Kabupaten Merauke Daniel Pauta, menyebut misio berarti orang yang rela meninggalkan tempat kelahirannya untuk menyebarkan agama Katolik. “Jiwa misionaris harus ada di Merauke. Ini pekerjaan rumah bagi setiap orang Katolik,” katanya.
Umat Paroki Kelapa Lima itu berharap agar dengan peringatan itu jiwa misionaris mengeristal dan suatu ketika makin popular untuk semua orang Katolik. “Misionaris harus berangkat dari kehidupan keluarga dan kesadaran pribadi. Contohnya, menjadi imam projo, biarawan serta biarawati di Merauke.”
Menurut Mgr Adi Seputra, semua orang bisa meneruskan jiwa para misionaris dengan menjadi misioner. “Misionaris datang membawa Kabar Gembira Yesus Kristus dengan sungguh. Orang Marind Anim menerima misionaris dengan hati terbuka dan jujur di mana saja mereka bekerja. Jiwa misionaris berarti sungguh mengabdi, menetap sesuai penugasan, dan melayani umat dengan sungguh baik,” kata uskup agung itu kepada PEN@ Indonesia seraya berharap agar persaudaraan juga dikembangkan.
Dalam acara itu, Suster Tarsisia Bauw TMM melihat keakraban umat, suster dari berbagai tarekat, bruder, frater terjalin dengan baik lewat koor gabungan. “Ini bentuk aksi panggilan. Semoga muncul bibit panggilan menjadi imam, suster dan bruder di Merauke ini,” ungkapnya.
Di zaman digital, terkadang kaum muda tidak mau menjadi misionaris. “Tetapi kehadiran kaum berjubah dan suster dalam acara itu menyadarkan umat untuk membantu anaknya mengikuti jejak mereka. Memang, banyak anak muda tak tertarik lagi menjadi imam dan suster, maka diharapkan peristiwa 108 Tahun Injil Masuk Papua Selatan semakin menumbuhkan jiwa merasul di kalangan orang muda,” kata Suster Teresita.***