Rabu, November 6, 2024
29.1 C
Jakarta

Tak pernah terbayang Tuhan memberiku kesempatan mengikuti IYD Manado

feli-5

Kenangan indah OMK se-Indonesia dalam IYD 2016 bulan lalu masih sangat sulit terlupakan, bukan hanya oleh OMK tetapi peserta frater dan suster, termasuk suster dari Kongregasi Suster-Suster Santo Dominikus di Indonesia yakni Sr Felicia OP. “Kuusap titik air mata di pelupuk mataku. Aku tahu aku pasti akan merindukan mereka, merindukan Ranotongkor tercinta, dan merindukan pengalaman-pengalaman hidup yang begitu berharga,” tulis suster itu. PEN@ Katolik sengaja mengangkat tulisan yang juga diterbitkan Majalah Arue edisi November 2016 dengan beberapa perubahan. Selamat membacanya:

Suster Felicia OP

Rasanya tidak pernah terbayang bahwa Tuhan memberiku kesempatan mengikuti Indonesian Youth Day (IYD) 2016 di Manado. Senja itu, aku tertegun membaca surat Dewan Pastores Paroki Santo Yusuf Cirebon yang mengutusku bersama empat OMK untuk mewakili paroki dan bergabung dalam kontingen OMK Keuskupan Bandung. Suster pimpinan komunitasku mengangguk dan tersenyum memandangku penuh dukungan. Mataku berkaca-kaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Satu hal kuyakini, seringkali hidup ini penuh keajaiban manakala kita hidup bersama Tuhan dan untuk Tuhan.

Akhir September, bersama 73 OMK Keuskupan Bandung, aku terbang ke Tanah Minahasa dengan sukacita rohani berkat perjumpaan dan kebersamaan. Setibanya di Bandara Sam Ratulangi Manado, sukacitaku berpadu dengan sukacita alunan musik kolintang dan puluhan umat serta OMK Paroki Hati Kudus Yesus Tanawangko yang menjemput kami.

Aku terharu dengan perjumpaan pertama yang begitu luar biasa. Keramahan, kegembiraan, kehangatan, dan kasih persaudaraan begitu mudah dibagikan. Padahal, kami berbeda suku, bahasa, budaya, latar belakang, bahkan kebiasaan hidup. Namun, perjumpaan iman selalu menghantar setiap insan menyadari kehadirannya sebagai satu keluarga umat manusia. Maka bagi seorang beriman, sekalipun berbeda ia mampu berbagi sukacita Sang Pencipta. Dan itulah sukacita pertamaku di Tanah Minahasa.

Selama tiga hari, aku dan keempat teman menjalani live-in di Stasi Roh Kudus Ranotongkor, Tanawangko. Daerahnya sejuk, udaranya segar, situasinya tenang, jarang ada kebisingan. Jalan utamanya beraspal namun jarang kendaraan lalu lalang. Setiap berjalan sepuluh meter, pasti kujumpai gereja Kristen dan umatnya yang hendak ke gereja itu. Kami bertegur sapa.

Bersama OMK dan umat wilayah, aku pun mengikuti bible sharing, Rosario, dan ibadat-ibadat khusus yang dilaksanakan bergiliran di rumah umat. Entah ibadat ulang tahun, sembahyang orang sakit, hingga pemberkatan warung.

Aku terbangun bukan karena suara adzan seperti biasa kudengar di Pulau Jawa. Aku bahkan pernah terbangun dengan lagu ‘Kasih dari Surga’ yang diputar tetangga keras-keras dini hari. Seketika aku tersenyum menjumpai diriku serasa berada di surga dengan paduan para kudus yang siap memuji Tuhan. Tapi itulah harmoni daerah kristiani yang kental hidup rohani dan sukacita injili. Sesuai namanya (Ranotongkor berarti air terjun), ada air kehidupan dari semangat rohani umat dan OMK di sana yang kurasakan mengalir bersama kuasa Roh Kudus.

Hari terakhir live-in, kami diajak makan siang perpisahan. Tentu bukan di restoran bermenu spesial dengan mobil mewah, tetapi berjalan kaki atau naik pedati tiga kilometer di jalan terjal menembus hutan. Mulai jalan berbatu, bertanah merah, becek, sempit, sungai kecil, dan menanjak, serasa jalan salib kami tempuh dengan semangat peziarah yang bertualang. Kami saling dibantu dengan gelak tawa, canda ria, teriakan semangat, nyanyian sukacita hingga uluran tangan kasih. Lengkap sudah kebersamaan itu, meski capai berkeringat, hati berlimpah berkat.

Sesampainya di kebun, kami belum langsung makan. Kami diajak mencari hasil bumi untuk dimasak bersama. Mulai dari mencabut singkong, memetik daun pakis, daun pepaya, daun kemangi, cabe rawit hingga memanjat pohon kelapa. Menumbuk bumbu, membersihkan ikan cakalang, memasang kayu bakar, dan menyiapkan daun pisang sebagai ganti piring makan. Tidak perlu wajan, kompor, gas elpiji, atau minyak goreng. Semua bahan masakan dimasukkan ke ruas bambu muda dan dibakar di perapian kayu bakar.

Layaknya di pedalaman kami menikmati detik demi detik kebersamaan di alam ciptaan seraya minum kelapa muda. Aroma bakaran mulai tercium menggoda. Ketika suara letupan bambu terdengar, kami berteriak kaget. Itulah tanda masakan mulai matang. Akhirnya semua isi ruas bambu ditumpahkan ke atas daun pisang yang digelar panjang. Kami turun ke sungai untuk cuci tangan kemudian menghunjukkan syukur dengan doa bersama di sekitar meja perjamuan. Dengan tawa geli, satu per satu tangan telanjang berebut makan dari satu perjamuan daun pisang. Rasanya luar biasa. Tidak hanya nikmat di lidah, tapi pengalamannya membekas di hati.

Aku menatap satu per satu wajah-wajah Allah di sekitarku. Mereka semua hidupnya sederhana, namun hatinya begitu tulus mulia. Aku ingin menangis rasanya. Menangis terharu bahwasanya Tuhan tak pernah berhenti melimpahkan cinta-Nya dalam kesederhanaan hidup bahkan dalam kerapuhan diri manusia. Kuusap titik air mata di pelupuk mataku. Aku tahu aku pasti akan merindukan mereka, merindukan Ranotongkor tercinta, dan merindukan pengalaman-pengalaman hidup yang begitu berharga.

Aku tak kan lupa saat kusantap daging tikus pertama, rica-rica ular cobra, cacah daun pangi, bubur Manado, dabu-dabu, kue kabeca, dan masakan di ruas bambu. Lebih dari sekedar makanan, aku menyantap cinta dan kehangatan. Lebih dari sekedar kebersamaan, aku mengalami Kristus di balik hati sederhana nan tulus. Meski rasanya berat meninggalkan Ranotongkor, kami melangkah membawa segudang pengalaman indah penuh berkah.

Peziarahan berlanjut ke Lotta, Pineleng, desa mungil tempat acara puncak IYD digelar. Diawali pawai budaya dari Lapangan Koni ke Stadion Klabat, Manado, kami berjumpa dengan lebih dari dua ribu orang muda dari 37 keuskupan di Indonesia plus Keuskupan Agung Kota Kinabalu, Malaysia. Gegap sukacita orang muda membahana di Tanah Minahasa membuat hati ini takjub akan penyelenggaraan cinta Sang Mahakuasa. Perayaan Ekaristi pembuka yang dipimpin belasan uskup, termasuk Duta Vatikan untuk Indonesia, dan dihadiri ratusan imam, biarawan-biarawati, umat, dan kaum muda, sungguh makin menyentuh hati ini akan kerinduan surga.

Ada banyak rasa mewarnai hati. Ada banyak hal bisa dipelajari. Bahkan para uskup secara khusus mengajak OMK ‘Ngopi‘ atau ‘Ngomong Pintar.’ Tiga belas tema, tiga belas tempat, dan tiga belas uskup menemani OMK mendalami fokus satu tema. Dari sekian tema yang disodorkan, aku memilih ‘OMK dan Evangelii Gaudium’. Rupanya di titik ‘ngopi‘ ini, aku berjumpa Mgr Ignatius Suharyo dan Maria Harfanti, Puteri Indonesia 2015 sekaligus runner up Miss World 2015. “Orang muda perlu membaharui perjumpaan pribadi dengan Kristus untuk mengalami sukacita injil yang otentik.” Ajakan Mgr Suharyo, tentang pentingnya relasi pribadi dengan Tuhan, itu masih bergema di hati.

Begitu pula kesaksian hidup Maria Harfanti. Segudang prestasi, kehebatan, talenta, popularitas, kecerdasan dan karya-karyanya disadari bukan semata-mata usaha pribadinya. Ia meyakini kekuatan doa, dukungan orangtuanya dan kekuatan kasih Tuhan berkarya dalam hidupnya. Itulah sebabnya ia berpegang pada moto, “Aim high, keep humble”. Maria menginspirasi OMK untuk berkarya bagi kemuliaan Tuhan dengan semangat kerendahan hati.

Aku masih terpana dalam rasa syukur. Bahwasanya, Tuhan menghantarku mengalami banyak sekali pengalaman iman dan perjumpaan luar biasa. Di bawah satu atap, venue utama, Emmanuel Amphitheater Catholic Youth Center, Lotta, Pineleng, Tuhan memberiku kesempatan menjadi bagian dari ribuan OMK yang bernyanyi, menari, berdoa, berefleksi, berkatekese, menerima Sakramen Rekonsiliasi, memberi kesaksian, bergandengan tangan, dan mengikrarkan janji OMK Indonesia.

Hingga di penghujung acara penutupan IYD, kusempatkan diriku duduk dalam hening di tribun atas amphitheater berbentuk bejana itu. Kupejamkan mataku seraya mengenang cerita Uskup Manado Mgr Josef Suwatan MSC yang menyampaikan bahwa bangunan baru itu diinspirasi dari kisah pesta pernikahan di Kana. Seperti Yesus mengubah air jadi anggur, aku meyakini bahwa hidup di tangan Tuhan penuh keajaiban. Kuyakinkan diriku bahwa setiap orang muda yang pernah duduk di tribun bejana ini, berkat perjumpaannya dengan Yesus, diubah Tuhan menjadi anggur-anggur Kristus yang membawa sukacita injil dan citarasa rohani di tengah keluarga, komunitas, Gereja, bangsa, dan dunia. Tentu dengan usaha bersama rahmat Tuhan dan berani mengalami petualangan iman.***

feli-1feli-2

sr-felicia

feli-4

feli-6feli-3feli-7feliia-2

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini