Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan Ph.D. mengajak uskup, para imam, suster, dan pimpinan Dewan Pastoral Paroki se-Keuskupan Bandung untuk bisa menempatkan diri sebagai warga negara Indonesia dengan terlibat dalam kegiatan berbangsa dan bernegara.
Doktor ilmu politik dari Universitas Northern Illinois itu berbicara dengan PEN@ Indonesia seusai berbicara tentang “Bertolak, Melunasi Janji Kemerdekaan dan Melihat Peluang Hidup Berbangsa dan Bernegara” di depan lebih dari 200 wakil semua paroki, kelompok kategorial dan yayasan, lembaga hidup bakti dan komisi di Keuskupan Bandung yang mengikuti Temu Pastoral Keuskupan Bandung.
Temu Pastoral bertema “Dialog Kehidupan/Kepedulian Bangsa” itu dilaksanakan 18-19 Oktober 2013 di Lembang, Jawa Barat, untuk mempersiapkan Tahun Pastoral “2014 – Tahun Kebangsaan” untuk Membangun Komunitas Hidup, yang mengakar, mekar dan berbuah. Administrator Apostolik Keuskupan Bandung Mgr Ignatius Suharyo hadir dalam acara itu dari awal hingga akhir. Pakar Komunikasi dan pengamat politik Tjipta Lesmana dan Pastor Laurentius Tarpin OSC tampil juga sebagai pembicara.
Jadi, tegas Anies Baswedan, jangan meniadakan identitas sebagai warga negara Indonesia. “Sebagai warga negara, mari berwarga negara,” tegas pencetus Gerakan Indonesia Mengajar itu.
Cucu dari Abdurrahman (AR) Baswedan yang aktif dalam pendirian RI dan mantan Menteri Penerangan pada Kabinet Sutan Sjahrir III dan Kabinet Natsir itu tidak menolak keaktifan dan keterlibatan umat Katolik selama ini, tapi “yang harus didorong adalah individu-individu untuk berpartisipasi mewakili semuanya.”
Kalau ada umat Islam, Katolik, Hindu dan lain-lain, yang terlibat dalam banyak urusan, semua terlibat dalam urusan kebangsaan, “itu membuat kita merasa bangsa ini milik semua, bukan milik satu dua kelompok. Tapi itu hanya terjadi jika semua mau terlibat. Kalau umat Katolik hanya mau terlibat di dalam kegiatan Katolik saja, umat Islam dalam kegiatan Islam saja, lalu bagaimana warna bangsa ini?”
Dari berbagai diskusi, mantan direktur riset The Indonesian Institute itu mendapat kesan bahwa “dulu umat Katolik lebih aktif dan nampak daripada sekarang, hari ini agak sunyi.” Dia sendiri tidak tahu alasannya, “tapi menurut saya, apapun sebabnya, mulai hari ini ambil garis itu, mulailah babak baru!”
Dia bercerita, tokoh-tokoh Katolik, IJ Kasimo dan Frans Seda, berperan baik “karena mereka pilih untuk turun tangan, mereka pilih identitas mereka tidak ditutupi tapi ditunjukkan.” Tapi identitas menonjol mereka adalah “berintegritas, itu identitas utama mereka, sehingga bisa berdialog dengan siapa saja.”
Dengan menaiki becak, lanjut ceritanya, AR Waswedan, Frans Seda, dan IJ Kasimo datang ke rumah Mohammad Natsir, perdana menteri Indonesia waktu itu, pendiri sekaligus pemimpin Partai Masyumi, tokoh Islam terkemuka yang menjadi pahlawan nasional, dan “berempat berdialog sampai malam sebagai sahabat.”
Anies Baswedan mengaku berdialog dalam persahabatan dengan warga non-Muslim. “Saya dan Ipong (maksudnya, Ipong Witono, anak dari mantan Panglima Siliwangi Mayjen AJ Witono, yang kini aktif di Rumah Nusantara dan Komisi Kerawam Bandung, dan jadi moderator diskusi itu) kalau ditanya agama, beda. Tapi, kalau saya ke Bandung saya nginap di rumah Ipong, ya pertemanan, persahabatan, karena kita sebagai bangsa Indonesia. Latar belakang silahkan berbeda. Tapi latar depan kita sama, Indonesia.”
Dalam presentasi, Anies Baswedan mengatakan, diskusi mengenai Indonesia jangan sampai jatuh pada basa-basi semata, “tetapi harus menyentuh identitas bangsa Indonesia itu sendiri.” Supaya bisa menjawab persoalan Indonesia, kita harus tahu identitas Indonesia, dan untuk melakukan hal itu, “tidak boleh hanya satu orang, tapi semua harus turun tangan dan tidak hanya terlibat pada komunitasnya.”
Republik ini, tegasnya, tidak pernah dirancang untuk melindungi minoritas, tapi seluruh warga negara Indonesia. “Bangsa Indonesia ibarat tenunan indah, bervariasi dan warna-warni. Sedikit dirobek, kita akan mengalami kekacauan. Maka kita harus terlibat secara serius menyelesaikan persoalan bangsa, menjaga tenunan yang ada agar tetap indah, tidak dirobek. Begitu dirobek, keindahannya hilang.”
Presentasi Anies Baswedan diawali oleh Wawan Sopyan, dengan membacakan “Indonesia Menggugat,” pledoi yang dibacakan Bung Karno pada persidangan di Landraad, Bandung, tahun 1930.***