Yesus percaya kepada kita lebih daripada kita percaya terhadap diri sendiri. Bapa Suci mengingatkan hal ini kepada umat beriman di pagi hari tanggal 25 Oktober saat memimpin Misa penutupan Sinode Para Uskup tentang Keluarga yang berlangsung di Vatikan, 4-25 Oktober 015, dengan tema, ‘Misi dan Panggilan Keluarga dalam Gereja dan dalam Dunia Kontemporer .”
Keluarga-keluarga dari berbagai negara memenuhi Basilika Santo Petrus tempat Misa itu dirayakan. Dalam homili Misa itu, Paus mengingatkan kembali cerita dalam Injil Markus saat Yesus melakukan mukjizat penyembuhan terhadap Bartimaeus, sehingga pengemis buta itu kembali bisa melihat.
Paus Fransiskus menggarisbawahi bahwa Injil menunjukkan bagaimana kita semua umat Kristen (baca: Katolik) harus memiliki prioritas yang teratur, yaitu, Kristus sebagai yang pertama, dan kalau itu sudah terbentuk, kita harus yakin bahwa di saat kita kita mendekati-Nya, Dia akan memberkati apa kita doakan.
Tiga bacaan dalam Misa hari itu, menurut Paus, “menunjukkan kasih sayang Allah, kebapakan-Nya, yang secara pasti terungkap dalam Yesus.” Nabi Yeremia, kata Bapa Suci, menyatakan bahwa Allah telah menyelamatkan umat-Nya, sisa-sisa Israel, karena Ia adalah Bapa mereka. Allah memperhatikan umat-Nya dan menyertai mereka dalam perjalanan mereka. “Allah akan mengubah penahanan mereka menjadi kebebasan, kesendirian mereka menjadi persekutuan,” kata Paus.
Ketika menutup sinode itu di hari sebelumnya, Paus Fransiskus bertanya kepada diri sendiri apakah makna menutup Sinode tentang Keluarga itu bagi Gereja. “Sinode ini bukan untuk merumuskan masalah-masalah, melainkan untuk berusaha melihat masalah-masalah itu dalam cahaya Injil dan tradisi Gereja dalam sejarahnya yang sudah lebih dari 2000 tahun. Sinode ini bermaksud untuk memahami realitas melalui kacamata Allah,” kata Paus.
Sinode itu, jelas Paus, dimaksudkan untuk membuat menjadi jelas bahwa Gereja adalah Gereja kaum miskin dengan semangat kemiskinan dan kedosaan yang terus-menerus memohon pengampunan dari Tuhan. “Sinode berusaha memperluas cakrawala (horison) dan menghindari setiap kecenderungan untuk membuat konspirasi yang mempersempit wawasan.”
Paus juga mengamati bahwa sinode telah mendengarkan bahwa sesuatu yang normal bagi seorang uskup tidaklah normal bagi uskup lainnya, bahkan yang dianggap melanggar hak seseorang dalam suatu masyarakat justru dianggap hak yang tidak dapat diganggu-gugat dalam masyarakat lain, tergantung dari konteks sosialnya. Namun, tegas Paus, sinode telah berupaya “mencari dengan penuh keberanian, kebaikan hati dan belas kasih Allah yang melampaui setiap keinginan dan kalkulasi manusiawi kita.” Dijelaskan bahwa menurut Paus Benediktus XVI, belas kasih itu benar-benar merupakan inti pesan Injil.
Paus Fransiskus mengatakan, para anggota sinode itu telah merasakan bahwa Roh Kudus sebagai pemeran utama “telah benar-benar membimbing Sinode.” Maka, sebagai kesimpulan, Paus mengatakan: “Menutup sinode berarti kembali pada ‘perjalanan bersama’ kita yang sebenarnya” untuk membawa ke setiap bagian dunia, setiap keuskupan, setiap komunitas dan setiap situasi, terang Injil, pelukan Gereja dan dukungan kerahiman Allah!”
Sambutan Paus di Ruangan Sinode Baru Vatikan itu ditanggapi oleh para Bapa Sinode dengan memberikan tepuk tangan berdiri. Di sore hari sebelumnya, para Bapa Sinode mengambil suara untuk 94 paragraf dalam Relazione Finale (laportan akhir) sinode, yang semuanya disahkan dengan memenuhi mayoritas dua pertiga suara yang diperlukan. Fokus dokumen itu adalah pencermatan hidup keluarga.
Di akhir sinode itu para Bapa Sinode juga menyetujui sebuah pernyataan tentang keluarga yang terkena dampak konflik di Timur Tengah, Afrika dan Ukraina.
Meskipun suka duka kehidupan keluarga menjadi fokus utama diskusi, namun menurut pengamatan Radio Vatikan, para pemimpin Gereja itu semakin mendekati cara baru bekerja bersama satu sama lain dan dengan Paus, dengan menghargai perbedaan, dan juga menyadari nilai keberagamaan. (pcp/as/Radio Vatikan/Zenit.og)