Peluncuran buku My Chinese Dream karya Chiaretto Yan redaksi di Vatican Media, Roma, Italia adalah peristiwa literer dan sebuah tanda zaman. Di tengah ketegangan geopolitik dan perbedaan budaya, Yan menghadirkan sebuah visi yang berani: menjadikan iman Kristiani bukan sebagai unsur asing, melainkan sebagai mitra dialog bagi kebudayaan Tiongkok.
Menjadi Katolik sekaligus orang Tionghoa bukan dua hal yang saling berlawanan. Justru, iman adalah jawaban atas kerinduan universal manusia akan kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kasih. Pernyataan ini penting, karena sering kali agama dianggap sebagai unsur luar yang bertentangan dengan tradisi lokal. Iman Kristiani dapat berakar dalam tanah budaya Tiongkok, sebagaimana Injil pernah berakar dalam dunia Yunani-Romawi.
Dalam usaha ini, Yan melihat lima bidang: filsafat, ekologi, politik, ekonomi, dan dialog budaya — menunjukkan bahwa perjumpaan iman dan budaya tidak berhenti pada ranah spiritual semata. Ia menempatkan iman sebagai kekuatan yang relevan dengan isu-isu global: krisis lingkungan, ketidakadilan sosial, dan kebutuhan akan solidaritas lintas bangsa. Di sini, gagasan Yan sejalan dengan visi Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ dan Fratelli Tutti, yang menekankan bahwa iman harus menjawab tantangan kemanusiaan.
Opini Yan tentang dialektika juga menarik. Jika di Barat dialektika sering dipahami sebagai konflik menuju sintesis, Taoisme melihat yin dan yang sebagai harmoni yang saling melengkapi. Yan menghubungkan hal ini dengan “dialektika kasih” dalam Kristus yang rela mengosongkan diri di kayu salib. Perspektif ini membuka ruang baru: iman Kristiani dapat berbicara dalam bahasa filsafat Tiongkok tanpa kehilangan esensi, justru menemukan titik temu dalam kerendahan hati dan keterbukaan terhadap misteri.
Yan bermimpi, Paus suatu hari berkunjung ke Tiongkok sebagai harapan, agar Injil dapat diterima sebagai cahaya yang memperkaya. Injil tidak menghapus tradisi. Jika mimpi ini terwujud, ia akan menjadi tonggak penting dalam sejarah Gereja: sebuah perjumpaan antara iman yang bersifat universal dengan budaya yang memiliki kedalaman ribuan tahun.
Yan menawarkan sebuah visi yang patut direnungkan oleh Gereja universal. Ia menunjukkan bahwa iman Kristiani tidak harus berhadapan dengan budaya, melainkan dapat berjalan bersama, saling melengkapi, dan saling memperkaya. Dalam dunia yang sering terjebak pada konflik identitas, mimpi Yan adalah undangan untuk membangun jembatan — jembatan kasih, kebenaran, dan harapan — antara Injil dan kebudayaan Tiongkok.



