Santo Pedro Almato melanglang jauh dari negeri kelahirannya Spanyol dan berlabuh di Asia Tenggara. Dari menjadi misionaris di Filipina, ia menyeberang ke Asia daratan, tepatnya di Vietnam. Sempat akan melayar ke Tiongkok, namun urung karena ketinggalan kapal. St. Pedro mengakhiri peziarahan dan perutusannya sebagai martir di Negeri Naga Biru.
Pada awal Agustus 1861, penguasa Hue menangkap seluruh misionaris dari Eropa. Penguasa khawatir akan pengaruh barat yang dibawa ke Vietnam. Pastor Pedro tidak lepas dari ancaman ini. ia bersembunyi dari satu tempat ke persembunyian lain. Namun, tak ada satupun persembunyian yang benar-benara aman.
Pastor Pedro sedang bersembunyi di ladang tebu di salah satu bagian Hue. Ia sedang menunggu Vikaris Apostolik Tonkin, Mgr. Valentino Ochoa Vinh OP. saat itulah, ia dikhianati. Ada yang membocorkan keberadaannya kepada penguasa. Alhasil, ia ditangkap bersama Mgr. Vinh dan dijebloskan ke penjara di Hai Duong.
Penguasa Hue menuduh keduanya menyebarkan ajaran Kristen yang dilarang di Hue. Pastor Pedro akhirnya dieksekusi atas pemerintah pengadilan Hue pada 1 November 1861. Jenazahnya dimakamkan di tempat eksekusi tersebut, dan kemudian dimakamkan kembali di Gereja Kabar Sukacita Suster-Suster Dominikan.
Putra Dominikus
Pedro Almato lahir pada Hari Raya Semua Orang Kudus, 1 November 1831, di desa Santo Felice Saserra, Vich, Catalonia, Spanyol, Peter Almato tumbuh dalam keluarga yang akrab dengan kehidupan rohani. Ayahnya, Salvio Almato, adalah seorang dokter, sementara ibunya, Antinia, membesarkan anak-anaknya dalam semangat iman. Almato memiliki seorang paman imam kanonik yang melayani sakramen tobat di seluruh keuskupan, dan adik perempuannya kelak menjadi seorang biarawati.
Sejak kecil, Almato menunjukkan ketertarikan mendalam pada kehidupan religius. Ia gemar membangun gereja-gerejaan dari bahan sederhana, meniru imam yang merayakan Misa, dan mengajak anak-anak lain berdoa Rosario atau mendengarkan kisah katekese. Melihat semangat itu, keluarganya mengirimnya ke seminari pada usia 15 tahun.
Di seminari, Almato menemukan panggilan yang lebih besar: misi ke tanah jauh. Ia membaca buletin misi dari Provinsi Dominikan Rosario di Timur Jauh, dan sejak saat itu, hatinya menyala oleh kerinduan untuk menjadi misionaris. Dorongan dari Uskup Claret memperkuat tekadnya. Almato pun meninggalkan keluarga dan sahabat untuk pergi ke Ocaña dan bergabung dengan Ordo Dominikan.
“Spiritualitas Dominikan mempesona saya, aku ingin menjadi pewarta di timur jauh,” kata Pedro suatu kali.
Setelah masa aspiran di Biara Dominikan, Pedro menerima jubah novis pada 25 September 1847 dan mengucapkan kaul pada 26 September 1848. Setahun kemudian, ia dikirim ke Manila untuk melanjutkan studi teologi. Di sana, selain belajar, ia menghabiskan waktu dalam doa dan membaca buku-buku rohani, memperdalam relasi pribadinya dengan Tuhan.
“Manila adalah tmpat di mana aku semakin memahami arti sebagai seorang Dominikan,” kata Pedro.
Pada tahun 1854, Pedro ditahbiskan menjadi imam. Setahun kemudian, Pastor Almato menerima penugasan misi ke Vietnam. Pada 4 Agustus 1855, Pastor Almato tiba di Keuskupan Tonkin Timur, menandai awal pelayanannya di tanah Asia yang penuh tantangan.
Saat mulai melayani di Vietnam, ia mendapat nama lokal Pastor Binh. Pilihan nama ini sebagai wujud kedekatannya dengan umat yang dilayani. Semangat evangelisasi Pastor Binh sangat besar, namun kesehatannya yang lemah menjadi tantangan tersendiri.
Melihat kondisi tersebut, uskup setempat memutuskan untuk memindahkannya ke Tiongkok agar ia dapat melanjutkan pelayanan di tempat yang lebih memungkinkan. Namun, ketika Pastor Binh tiba di titik keberangkatan kapal, ia mendapati bahwa kapal telah berlayar. Tak ingin menunggu tanpa kepastian, ia memilih tetap tinggal dan melanjutkan pelayanannya di wilayah Hai Duong.
Pelayanan di Hai Duong tidak mudah. Dalam surat yang dikirim ke keluarganya di Spanyol, Pastor Binh mengisahkan bahwa ia harus bersembunyi di dalam gua selama delapan bulan berturut-turut demi menghindari penangkapan oleh otoritas lokal. Masa persembunyian itu menjadi bukti nyata keteguhan dan keberanian seorang misionaris yang tidak mundur meski menghadapi ancaman nyata terhadap keselamatan dirinya.
Kisah Pastor Binh adalah potret ketekunan dalam pelayanan. Ia tidak hanya membawa Injil ke tanah asing, tetapi juga menanggung risiko besar demi tetap hadir bagi umat yang dilayaninya. Dalam kesunyian gua dan keterasingan, ia tetap setia pada panggilan Kristus, menjadi saksi hidup dari semangat misioner Gereja yang melampaui batas kenyamanan dan keamanan pribadi.
Bagi Gereja di Indonesia dan Asia, kisah ini menjadi inspirasi bahwa pelayanan sejati menuntut pengorbanan, keberanian, dan kesetiaan. Pastor Almato, atau Pastor Binh, menunjukkan bahwa kasih kepada Kristus dan umat-Nya mampu mengatasi segala keterbatasan fisik dan ancaman eksternal. Ia adalah teladan bagi para pelayan Gereja masa kini yang dipanggil untuk tetap setia, bahkan di tengah gua-gua penderitaan zaman modern.
Misi Gereja
Kisah hidup Pastor Almato adalah cerminan semangat misioner Gereja yang melintasi batas budaya dan geografis. Ia meninggalkan kenyamanan demi panggilan Injil, membawa terang Kristus ke tempat yang jauh dan asing. Semangatnya menginspirasi kita untuk bertanya: sejauh mana kita bersedia melangkah demi cinta kepada Tuhan dan sesama?
Di Vietnam, Pastor Binh menetap di Nam Am dan Dong Xuyen, lalu kembali ke Seminari Ke Mot untuk belajar bahasa Vietnam bersama Pastor Gaspar Nghia. Setelah itu, ia ditugaskan memimpin Paroki Thiet Nham selama lebih dari setahun.
Meski kesehatannya sangat lemah dan ia sering jatuh sakit, semangat dalam diri Pastor Bình tak pernah padam. Di balik tubuh yang rapuh, tersimpan tekad luar biasa yang memampukannya menghadapi kerasnya medan misi. Sejak tahun 1857, gelombang penganiayaan terhadap umat Katolik semakin meningkat, memaksa Pastor Bình hidup berpindah-pindah tanpa ketenangan.
Siang hari, ia bersembunyi di ruang bawah tanah yang lembap, malam hari ia menyusuri sungai dengan perahu demi melayani umat di kedua sisi aliran air. Dalam situasi genting, ia tidur di semak belukar, bambu-bambu, atau menyeberangi sungai dan hujan dingin. Penyakit, kelaparan, dan ancaman penangkapan menjadi tiga penderitaan tetap dalam hidupnya. Namun, semangat kerasulan dan keberanian mudanya membuatnya tetap bertahan.
Ketika para misionaris Dominikan memutuskan untuk membagi kelompok dan sebagian mengungsi ke Makau, Pastor Bình memilih tetap tinggal di Vietnam. Dalam surat kepada keluarganya, ia menulis: “Selama tujuh atau delapan bulan, saya dan seorang imam lain bersembunyi di rumah dengan gua bawah tanah untuk menghindari penangkapan. Tapi jika kalian mendengar saya ditangkap, jangan menangis. Bergembiralah karena saya menerima berkat yang begitu besar.”
Sejak Agustus 1861, setelah keluarnya dekrit pemisahan, para imam kesulitan menemukan tempat aman untuk bersembunyi. Pastor Bình sempat meninggalkan Thiet Nham menuju Ke Ne, lalu bersembunyi di Tho Ninh. Ia kemudian naik perahu bersama Uskup Valentine Vinh menyusuri Sungai Thai Binh. Di Hai Duong, mereka bertemu Uskup Hermosilla Liêm dan pewarta Giuse Khang.
Pada 20 Oktober 1861, ketika Uskup Liêm dan Giuse Khang ditangkap, Pastor Bình dan Uskup Vinh yang berada di perahu lain berhasil lolos. Namun, situasi semakin genting. Seorang umat bernama Cuu Trong memperkenalkan mereka kepada seorang non-Katolik bernama Thua, yang menyambut mereka dengan hangat. Sayangnya, keponakan Thua, Khan Cap, melaporkan keberadaan mereka kepada mandarin demi imbalan. Untuk menjaga nama baik, Thua mengalihkan persembunyian mereka, namun justru membawa mereka ke ladang tempat mandarin distrik Thanh Ha menangkap mereka.
Hari itu adalah 25 Oktober 1861—hari yang menandai akhir dari pelarian panjang seorang misionaris yang telah menyerahkan seluruh hidupnya demi Injil dan umat yang dilayani. Kisah Pastor Bình adalah kisah keberanian, pengorbanan, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan, bahkan di tengah pengkhianatan dan ancaman maut. Ia adalah teladan nyata dari semangat Kristus yang hidup dalam tubuh yang lemah namun hati yang tak terkalahkan.
Martir di Ladang Tebu
ditangkap bersama dua uskup Dominikan—Mgr. Hermosilla Liêm dan Mgr. Berrio Ochoa Vinh—mereka dihadapkan kepada Gubernur Hai Duong, Nguyễn Quốc Cẩm. Sang gubernur, melihat kelembutan para misionaris Barat, enggan memperlakukan mereka dengan kejam. Ia hanya menanyakan nama dan asal mereka secara singkat.
Pastor Bình menjawab dengan tenang, “Saya seorang imam, bernama Bình, berasal dari Spanyol, telah berkhotbah di Annam selama tujuh tahun di banyak tempat.” Ia tidak menyebutkan lokasi spesifik, mungkin demi melindungi umat yang pernah dilayaninya. Meski memerintahkan agar mereka dikurung dalam kandang, Gubernur Cẩm meminta para penjaga memperlakukan mereka dengan baik dan melarang keras ucapan kasar terhadap para tahanan.
Namun, sikap lunak ini memicu kemarahan Gubernur Nam Dinh, Nguyễn Đình Tân. Ia datang langsung ke Hai Duong dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa Gubernur Cẩm menjatuhkan hukuman mati. Maka, pada 1 November 1861—tepat di hari ulang tahun ke-30 Pastor Almato—hukuman itu dilaksanakan. Hari itu menjadi “ulang tahun surgawi” bagi ketiga martir Dominikan.
Dalam prosesi menuju eksekusi, tiga kandang dibawa di belakang barisan tentara. Pastor Bình berada di kandang pertama, memegang rosario dan berdoa dengan tenang. Sikapnya yang penuh damai membuat semua yang hadir terdiam dalam kekaguman. Di lapangan eksekusi Nam Mau, setelah beberapa menit doa, ketiganya dipenggal diiringi bunyi gong.
Jenazah mereka awalnya dimakamkan di tempat eksekusi, lalu dipindahkan ke Tho Ninh. Kepala Pastor Almato kini dihormati di tanah kelahirannya, Spanyol, sementara jasadnya disemayamkan di gereja para martir Hai Duong. Pada 20 Mei 1906, Paus Pius X membeatifikasi Pastor Peter Almato Bình, dan pada 19 Juni 1988, Paus Yohanes Paulus II mengkanonisasinya sebagai santo.
Kisah ini bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang keberanian, kesetiaan, dan cinta yang tak tergoyahkan kepada Kristus. Pastor Bình menunjukkan bahwa kelembutan bukanlah kelemahan, dan doa dalam penderitaan adalah kekuatan yang mengubah dunia. Ia adalah teladan bagi semua orang yang dipanggil untuk hidup dalam kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu harus dibayar dengan nyawa.



