JAKARTA, Pena Katolik — Saat pembukaan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI), Mgr. Antonus Subianto Bunjamin OSC (Ketua Konferensi Waligereja Indonesia/KWI) meletakkan tangannya di layar. Seketika, tampilan layar berubah dengan tampilan digital yang bernuansa futuristik. Adegan singkat ini seakan mengatakan, bahwa Gereja Indonesia telah juga masuk dalam era “Artificial Intelligence”. Satu momen yang praktis mempengaruhi cara hidup, dan dalam konteks Gereja, akan mempengaruhi cara menggereja.
Setelah absen selama 10 tahun, KWI kembali menggelar SAGKI 2025 di Ancol, Jakarta Utara, 3-7 November 2025. Gelaran lima tahunan ini tidak diadakan pada 2020 karena pandemi Covid-19 dan baru diadakan lagi tahun ini, tepat bersamaan dengan Tahun Yubuleum Harapan 2025.
Saat menyampaikan sambutan pembuka, Mgr. Anton menyampaikan pesan mendalam tentang arah Gereja Katolik Indonesia. Gereja Katolik Indonesia ingin memperkuat komitmen “Sinode Para Uskup” untuk membangun komunitas iman yang berakar pada persekutuan, partisipasi, dan perutusan.
Selaras dengan pesan Paus Leo XIV dalam Misa Penutupan Sinode pada 26 Oktober 2025, Gereja tidak boleh didasari oleh logika kekuasaan dan hierarki, melainkan oleh logika kasih dan semangat berjalan bersama secara sinodal.
“Kita tidak dapat membentuk Gereja sinodal yang misioner jika tertutup pada Roh Kudus atau masih terikat pada rasa bangga diri yang berlebihan, memikirkan diri sendiri, keuskupan sendiri, pulau sendiri, atau daerah sendiri,” ujarnya.
Mgr. Anton mengajak seluruh umat Katolik di Indonesia untuk membuka hati terhadap suara Roh Kudus. Ia menekankan pentingnya semangat dialog, persaudaraan, dan parehesia—keberanian untuk berbicara tentang kebenaran secara terbuka dan jujur.
“Kita dipanggil untuk membangun relasi yang saling mendengarkan, saling melayani, dan saling menguatkan,” ujar Uskup Anton.
Sikap terbuka dan rendah hati adalah kunci untuk menjawab panggilan Allah dalam perjalanan bersama sebagai umat beriman. Gereja yang sinodal bukanlah Gereja yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan Gereja yang saling menopang dalam pencarian akan kehendak Tuhan.
Sementara itu, dalam pesan video pembukaan, Menteri Agama Republik Indonesia, Nazaruddin Umar, menyampaikan apresiasi mendalam atas kontribusi Gereja Katolik bagi bangsa Indonesia, khususnya di tengah situasi sosial yang penuh tantangan.
“Saya berharap sidang ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat perdamaian serta meningkatkan peran Gereja Katolik dalam mewujudkan perdamaian,” ujar Menag Nazaruddin. Ia juga menekankan bahwa pluralisme bukanlah ancaman, melainkan kekayaan bangsa, dan umat Katolik diharapkan menjadi terang dan garam dalam menjaga kerukunan antarumat beragama.
Nunsius Apostolik untuk Indonesia, Mgr. Piero Pioppo, mengajak seluruh imam dan umat Katolik untuk memegang teguh persatuan dan kesetiaan dalam doa serta menyatakan kasih Allah kepada semua orang.
“Mari kita bersatu dalam doa dan karya, tidak hanya selama sidang ini, tetapi senantiasa,” ujarnya.
Mgr. Pioppo juga menyampaikan pesan perpisahan, mengingat masa tugasnya di Indonesia telah berakhir. Setelah delapan tahun bertugas sebagai Nunsius Apostolik, ia akan berpindah tugas menjadi Duta Besar Vatikan untuk Spanyol dan Andorra
Sidang lima tahunan ini dihadiri oleh 374 peserta, terdiri dari 254 laki-laki dan 120 perempuan, termasuk 41 uskup aktif, 4 uskup emeritus, serta perwakilan dari 38 keuskupan dan satu Keuskupan TNI/POLRI. Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama, Suparman, membacakan pesan Menag yang menegaskan bahwa program menciptakan kerukunan beragama adalah prioritas utama pemerintah.
Sekretaris Eksekutif KWI, Romo C. Siswantoko dalam konferensi pers pembukaan SAGKI 2025 mengatakan, bahwa siding ini akan menjadi ruang refleksi dan peneguhan bagi Gereja Katolik Indonesia untuk terus berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia mengatakan, melalui dialog antaragama, aksi sosial, dan semangat sinodal, Gereja diharapkan menjadi motor perdamaian dan persaudaraan lintas iman di Tanah Air.
Romo Koko mengatakan, selama siding setiap peserta bebas untuk berbicara namun juga diharapkan dapat mendengarkan ide dan gagasan dari setiap peserta lain. Dari dinamika ini, ia siding ini diharapkan melahirkan ide-ide baru yang akan menuntun perjalanan Gereja Katolik selanjutnya.
“Setiap peserta bebas mengutarakan pendapatnya, namun mereka juga diharapkan dapat mendengar pendapat orang lain. Semua peserta baik uskup, imam, suster dan awam memiliki hak dan kewajiban yang sama selama sidang ini,” ujarnya.
Dengan semangat peziarah pengharapan, sidang ini diharapkan menghasilkan langkah-langkah konkret yang memperkuat misi Gereja dalam membangun masyarakat yang adil, damai, dan penuh kasih. Pemerintah dan Gereja bersatu dalam komitmen untuk menjaga kerukunan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi masa depan Indonesia yang lebih harmonis.


                                    

