Minggu, November 9, 2025

Nostra Aetate Setelah 60 Tahun

ROMA, Pena Katolik – Enam puluh tahun setelah pengumumannya, Nostra Aetate (NA) menjadi Sejarah yang terus berjalan. Nostra Aetate adalah instrumen moral dan spiritual yang menantang cara kita memandang sesama.

Ketika Paus Paulus VI memproklamasikan teks yang membuka bab baru dalam hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen, para Bapa Konsili menorehkan perubahan paradigma: iman Kristen tidak bisa dipahami tanpa akar-akar Yahudinya dan martabat setiap manusia menuntut penghormatan lintas keyakinan. Peringatan Berlian ini harus mengundang refleksi mendalam sekaligus tindakan konkret untuk memperkuat persahabatan yang pernah diproklamirkan.

Nostra Aetate menegaskan bahwa Gereja memperoleh rezeki dari akar pohon zaitun yang dibudidayakan dengan baik — yakni tradisi Perjanjian Lama — dan hal ini bukan hanya klaim historis melainkan panggilan teologis untuk menghormati hubungan tak terputus antara Kekristenan dan Yudaisme.

Sejarah panjang hubungan antara kedua tradisi memang penuh luka: tuduhan kolektif atas kematian Kristus, penganiayaan, dan penghilangan hak-hak manusiawi yang berujung pada tragedi berulang seperti Holocaust dan diskriminasi di berbagai belahan dunia. Mengakui akar bersama bukan hanya soal nostalgia intelektual tetapi langkah penting untuk menolak setiap bentuk objektifikasi dan dehumanisasi yang pernah diajarkan atau dilanggengkan.

Refleksi yang muncul pada konferensi Philos Project di Washington pada 28 Oktober, bertajuk “Nostra Aetate di Usia 60”, menunjukkan bahwa diskursus ini hidup dan relevan. Konferensi itu, yang dihadiri ratusan orang baik secara langsung maupun daring, menempatkan persahabatan rohani sebagai sesuatu yang konkret: bukan sekadar sikap sentimental tetapi bentuk solidaritas yang menuntut keberanian moral.

George Weigel menegaskan bahwa umat Yahudi dan Katolik harus berdiri bahu-membahu melawan apa yang disebutnya “budaya kematian” dan bekerja bersama untuk mencipta budaya kehidupan. Konteks politik dan konflik modern, khususnya di Tanah Suci, membuat seruan ini semakin mendesak; persahabatan rohani tidak menutup mata terhadap ketidakadilan tetapi menyertakannya dengan doa, protes moral, dan advokasi keadilan.

Penting untuk menegaskan bahwa persahabatan antara dua komunitas beriman tidak menghapuskan kemampuan untuk mengkritik tindakan politik atau kebijakan yang merugikan. Gavin D’Costa mengingatkan bahwa menjadi sahabat rohani berarti menjaga keseimbangan antara pembelaan terhadap keselamatan dan keberlangsungan komunitas Yahudi serta keberanian untuk berbicara tentang kebenaran dan keadilan dalam konflik yang sedang berlangsung. Sebagai umat Kristen, tanggung jawab kita termasuk mengupayakan pelestarian orang-orang Yahudi agar mereka dapat mencari kekudusan mereka sendiri—sebuah pengakuan bahwa keselamatan spiritual dan keberlangsungan etnis-keagamaan adalah prioritas bersama.

Narasi-narasi personal yang muncul dalam forum-forum peringatan memberi warna konkret pada apa yang mungkin dicapai. Kisah Yael Freimann tentang kakek yang diselamatkan, dukungan seorang pastor Katolik untuk praktik keagamaan Yahudi di pengasingan, dan solidaritas Kristen saat protes melawan antisemitisme, semuanya menunjukkan bahwa persahabatan lintas iman dapat menyelamatkan nyawa dan menjaga martabat. Luma Simms mengingatkan bahwa sepanjang sejarah Timur Tengah, anti-semitisme sering memanifestasikan diri sebagai objektifikasi—memperlakukan orang Yahudi sebagai benda bukan manusia—dan peringatan seperti Nostra Aetate mengingatkan kita untuk menghapus warisan indoktrinasi itu dari kurikulum moral masyarakat.

Pernyataan yang dikutip dari perayaan di Roma memperjelas asal-usul dokumen ini: inisiatif Paus Yohanes XXIII dan kerja Kardinal Augustin Bea menempatkan bab tentang Yudaisme sebagai inti generatif dari deklarasi, sambil mengambil sikap tegas terhadap segala bentuk antisemitisme. Kalau Gereja berseru kepada “Allah, Bapa semua orang”, suara itu kehilangan kredibilitas jika tidak disertai tindakan menolak diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, kondisi hidup, atau agama. Oleh karena itu Nostra Aetate bukan hanya dokumen teologis tetapi dasar etis untuk kebijakan pastoral, pendidikan, dan diplomasi antariman yang aktif.

Memperingati 60 tahun Nostra Aetate harus mendorong kita dari kata-kata menuju praktik: memperkuat dialog teologis, memasukkan sejarah hubungan Kristen-Yahudi dalam pendidikan iman, mengadvokasi perlindungan komunitas minoritas, dan merespons tiap bentuk kebencian dengan solidaritas konkret. Seperti dikatakan oleh tokoh-tokoh yang berbicara pada peringatan itu, kita dipanggil untuk “berdiri bahu-membahu” dan mengakui bahwa melupakan saudara-saudari Yahudi berarti melupakan akar dan identitas kita sendiri. Pada akhirnya, Nostra Aetate mengundang Gereja untuk bertindak sebagai saksi rekonsiliasi: mendamaikan luka masa lalu dan membangun persahabatan yang mampu menghadirkan martabat manusia sebagai pusat kehidupan bersama.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini