Senin, Oktober 6, 2025

Uskup Agung Merauke Letakkan Batu Pertama Pembangunan Gereja St. Theresia Buti

MERAUKE, Pena Katolik – Suasana penuh sukacita dan haru menyelimuti lapangan terbuka Paroki St. Theresia Buti, Provinsi Papua Selatan. Saat itu, Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC, secara resmi meletakkan batu pertama pembangunan gereja baru, Merauke, 4 Oktober 2025. Acara bersejarah ini dihadiri oleh Gubernur Papua Selatan, Apollo Safanfo dan Bupati Merauke Yosep Bladib Gebze; juga para pejabat daerah, tokoh adat, serta ribuan umat yang datang dari berbagai wilayah.

Dalam homilinya, Mgr. Mandagi menegaskan bahwa makna utama pembangunan gereja bukan semata-mata pada bangunannya, melainkan pada kehadiran Tuhan di tengah umat. “Gereja baru berarti ada Tuhan, sebab tanpa Tuhan, pembangunan ini tidak ada artinya. Berkat Tuhanlah sandaran hidup kita semua,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan umat agar menjadikan pembangunan gereja sebagai momentum untuk memperkuat persaudaraan.

“Kadang kala pembangunan menimbulkan perpecahan atau salah paham. Tapi Tuhan menghendaki kita berdamai, karena Dialah Batu Penjuru yang mempersatukan,” ujar Mgr. Mandagi.

Lebih lanjut, ia menyampaikan tiga makna mendalam dari berdirinya gereja: pertama, sebagai tanda kehadiran Tuhan; kedua, lambang kesatuan umat beriman yang terus berdoa dan berliturgi; dan ketiga, kesaksian hidup kasih Kristus yang diwujudkan dalam kepedulian terhadap sesama, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, atau golongan. “Gereja sejati adalah mereka yang peduli pada yang menderita dan tersingkir,” tandasnya.

Sebelum peletakan batu pertama, diadakan ritual adat Marind Anim. Romo Simon Petrus Matruty menjelaskan, bahwa gereja yang akan dibangun berukuran 43 x 33 meter dan membutuhkan banyak tiang penyangga. Ia berharap dukungan dan sumbangan dari berbagai pihak agar impian “gereja peradaban” ini dapat terwujud.

Kepala Paroki Buti itu mengisahkan sejarah panjang Paroki Buti yang menjadi cikal bakal misi Katolik di Papua Selatan. Misi pertama dimulai pada 19 November 1905, ketika seorang anak perempuan suku Marind bernama Clara Sukai Gebze disembuhkan setelah dibaptis oleh misionaris Katolik. Dari peristiwa itu, satu per satu warga Marind mulai menerima iman Katolik.

“Gereja Buti disebut Gereja Peradaban karena dari sinilah misi Katolik bertumbuh dan menyatukan banyak etnis, termasuk pendatang dan transmigran,” jelasnya.

Dengan modal awal sebesar Rp500 juta, pembangunan ini diharapkan terus berlanjut dengan dukungan umat, pemerintah kabupaten, dan provinsi.

“Mari kita bersama-sama membangun rumah Tuhan ini sebagai lambang persaudaraan dan peradaban kasih di Tanah Papua Selatan,” pungkas Mgr. Mandagi. (Agapitus Batbual/Merauke)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini