KUPANG, Pena Katolik – Menyikapi meningkatnya tensi sosial dan aksi unjuk rasa yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, Uskup Agung Kupang, Mgr. Hironimus Pakaenoni dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Muhamad S Wongso secara tegas mengimbau masyarakat untuk tetap menjaga kedamaian dan ketertiban.
Dalam pernyataannya pada Minggu 31 Agustus 2025, Mgr. Hironimus mengajak umat Katolik dan seluruh masyarakat di wilayah Keuskupan Agung Kupang untuk berpikir arif dan jernih dalam menyikapi situasi. Ia menegaskan pentingnya menjaga kekondusifan, serta tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang dapat memecah-belah masyarakat.
“Serta tidak terprovokasi dengan hal-hal yang dapat memecah-belah, mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat,” ujar Mgr. Hironimus.
Sekretaris Keuskupan Agung Kupang, Romo Erick Fkun, menyampaikan keprihatinannya terhadap aksi unjuk rasa yang di beberapa kota berujung pada perusakan dan penjarahan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Romo Erick mengingatkan bahwa menyampaikan aspirasi adalah hak konstitusional, namun harus dilakukan dengan cara yang damai.
“Mari kita jaga bersama daerah ini. Jangan provokasi dan jangan anarkis,” tegasnya.
Ia juga berharap aparat keamanan bersikap humanis dalam menghadapi massa, menghindari tindakan represif yang hanya akan memperkeruh suasana. Menurutnya, situasi di lapangan membutuhkan kepekaan dan pengendalian diri dari semua pihak.
Sementara itu, Ketua MUI NTT juga menyerukan hal serupa. Muhamad mengajak seluruh umat Islam di wilayah NTT untuk menyampaikan aspirasi secara damai dan bersahabat. Ia mengungkapkan bahwa dirinya memahami keresahan masyarakat atas berbagai kebijakan yang dirasa memberatkan, seperti kenaikan tarif pajak di tengah situasi ekonomi yang sulit.
Di sisi lain, Muhamad menyayangkan sikap para elit politik yang justru menampilkan gaya hidup mewah dan komunikasi publik yang kurang bijak. Ia menegaskan bahwa elite pemerintahan harus lebih peka terhadap kondisi rakyat dan tidak menyulut emosi publik lewat pernyataan yang tidak sensitif.
“Apa sesungguhnya makna dari kekuasaan itu? Kekuasaan harus menjadi alat untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat,” ujarnya.
Kedua tokoh lintas agama ini sepakat bahwa stabilitas sosial adalah tanggung jawab bersama. Masyarakat diminta untuk tetap tenang, tidak terprovokasi, serta menjaga perdamaian, sementara para pemimpin dan aparat dituntut untuk bertindak bijak, adil, dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.