Kamis, Agustus 21, 2025

Bacaan dan Renungan Rabu 27 Agustus 2025; Peringatan Wajib St. Monika (Putih)

Bacaan I – Tesalonika 2:9-13

“Sambil bekerja siang malam kami memberitakan Injil Allah kepada kalian.”

Saudara-saudara, kalian tentu masih ingat akan usaha dan jerih payah kami. Sebab kami bekerja siang malam, agar jangan menjadi beban bagi siapa pun di antaramu. Di samping itu kami pun memberitakan Injil Allah kepada kalian.

Kalianlah saksinya, demikian pula Allah, betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami berlaku di antara kalian yang telah menjadi percaya. Kalian tahu, betapa kami telah mengasihi kalian dan menguatkan hatimu masing-masing, seperti seorang bapa terhadap anak-anaknya; dan betapa kami telah meminta dengan sangat agar kalian hidup sesuai dengan kehendak Allah, yang memanggil kalian ke dalam Kerajaan dan kemuliaan-Nya.

Karena itulah kami tak putus-putusnya mengucap syukur kepada Allah, sebab kalian telah menerima sabda Allah yang kami beritakan itu.

Pemberitaan kami itu telah kalian terima bukan sebagai kata-kata manusia, melainkan sebagai sabda Allah, sebab memang demikian. Dan sabda Allah itu bekerja giat di dalam diri kalian yang percaya.

Demikianlah Sabda Tuhan.

U. Syukur Kepada Allah.

Mazmur Tanggapan Mzm. 139:7-8.9-10.11-12ab

Ref. Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku.

  • Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, Engkau pun ada di situ.
  • Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, di sana pun tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.
  • Jika aku berkata, “Biarlah kegelapan melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,” maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu.

Bait Pengantar Injil 1 Yohanes 2:5

Ref. Alleluya.

Sempurnalah cinta Allah dalam hati orang yang mendengarkan sabda Kristus.

Bacaan Injil Matius 23:27-32

“Kalian ini keturunan pembunuh nabi-nabi.”

Pada waktu itu Yesus berkata, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.

Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan. Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.

Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!

Demikianlah Sabda Tuhan.

U. Terpujilah Kristus.

***

Kehidupan yang Murni, Bukan Sekadar Tampilan

Yesus mengecam keras ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Ia menyebut mereka seperti kuburan yang dilabur putih, tampak indah di luar, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang dan segala kenajisan. Ini adalah teguran yang tajam terhadap kemunafikan—ketika seseorang tampak suci dan benar di hadapan orang, tetapi hatinya jauh dari Allah.

Yesus tidak mengutuk penampilan luar yang rapi atau religiusitas yang tampak. Ia justru mengecam ketidaksesuaian antara luar dan dalam, antara tindakan lahiriah dengan niat hati yang sesungguhnya. Dalam hidup kita, bisa saja kita rajin ke gereja, berdoa panjang, bahkan terlibat aktif dalam kegiatan rohani—namun jika semua itu hanya untuk pencitraan, bukan lahir dari cinta sejati kepada Allah dan sesama, kita sama seperti yang dikecam Yesus: munafik.

Sering kali kita lebih fokus pada penilaian manusia daripada pandangan Allah. Kita takut terlihat buruk di mata orang lain, tapi lupa bahwa Allah melihat kedalaman hati kita. Firman hari ini mengajak kita untuk melihat ke dalam diri sendiri: Apakah hidup rohani kita tulus? Apakah kita mengasihi Allah dan sesama dengan hati yang murni? Atau kita hanya sekadar menjaga reputasi rohani?

Yesus memanggil kita untuk pemurnian hidup, bukan penghukuman. Ia ingin kita menjadi pribadi yang utuh—yang baik di luar dan di dalam. Ini bukan perkara kesempurnaan, tetapi kejujuran dan pertobatan. Mari kita minta Roh Kudus menolong kita untuk membuang kemunafikan dan membangun hidup yang sungguh-sungguh di hadapan Allah. Hidup yang tidak hanya tampak kudus, tetapi benar-benar mencerminkan kasih Kristus dalam setiap tindakan kita.

Doa Penutup

Tuhan Yesus, Engkau mengenal hati kami lebih dari siapa pun. Ampunilah kami atas kemunafikan yang kadang tidak kami sadari—saat kami lebih mementingkan penampilan luar daripada kemurnian hati. Bersihkanlah hati kami, ya Tuhan, dan bentuklah kami menjadi pribadi yang utuh, tulus, dan sungguh mencintai-Mu. Curahkan Roh Kudus-Mu agar kami mampu hidup dalam kebenaran, bukan kepura-puraan. Jadikanlah hidup kami saksi kasih-Mu yang nyata di tengah dunia ini. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.

***

Santa Monika, Janda

Monika, Ibu Santo Agustinus dari Hippo, adalah seorang ibu teladan. Iman dan cara hidupnya yang terpuji patut dicontoh oleh ibu-ibu Kristen terutama mereka yang anaknya tersesat oleh berbagai ajaran dan bujukan dunia yang menyesatkan. Riwayat hidup Monika terpaut erat dengan hidup anaknya Santo Agustinus yang terkenal bandel sejak masa mudanya. Monika lahir di Tagaste, Afrika Utara dari sebuah keluarga Kristen yang saleh dan beribadat. Ketika berusia 20 tahun, ia menikah dengan Patrisius, seorang pemuda kafir yang cepat panas hatinya.

Dalam kehidupannya bersama Patrisius, Monika mengalami tekanan batin yang hebat karena ulah Patrisius dan anaknya Agustinus. Patrisius mencemoohkan dan menertawakan usaha keras isterinya mendidik Agustinus menjadi seorang pemuda yang luhur budinya. Namun semuanya itu ditanggungnya dengan sabar sambil tekun berdoa untuk memohon campur tangan Tuhan. Bertahun-tahun lamanya tidak ada tanda apa pun bahwa doanya dikabulkan Tuhan. Baru pada saat-saat terakhir hidupnya, Patrisius bertobat dan minta dipermandikan. Monika sungguh bahagia dan mengalami rahmat Tuhan pada saat-saat kritis suaminya.

Ketika itu Agustinus berusia 18 tahun dan sedang menempuh pendidikan di kota Kartago. Cara hidupnya semakin menggelisahkan hati ibunya karena telah meninggalkan imannya dan memeluk ajaran Manikeisme yang sesat itu. Lebih dari itu, di luar perkawinan yang sah, ia hidup dengan seorang wanita hingga melahirkan seorang anak yang diberi nama Deodatus. Untuk menghindarkan diri dari keluhan ibunya, Agustinus pergi ke Italia. Namun ia sama sekali tidak luput dari doa dan air mata ibunya.

Monika berlari meminta bantuan kepada seorang uskup. Kepadanya uskup itu berkata: “Pergilah kepada Tuhan! Sebagaimana engkau hidupa, demikian pula anakmu, yang bagimu telah kaucurahkan banyak air mata dan doa permohonan, tidak akan binasa. Tuhan akan mengembalikannya kepadamu.”

Nasehat pelipur lara itu tidak dapat menenteramkan hatinya. Ia tidak tega membiarkan anaknya lari menjauhi dia, sehingga ia menyusul anaknya ke Italia. Di sana ia menyertai anaknya di Roma maupun di Milano. Di Milano, Monika berkenalan dengan Uskup Santo Ambrosius. Akhirnya oleh teladan dan bimbingan Ambrosius, Agustinus bertobat dan bertekad untuk hidup hanya bagi Allah dan sesamanya. Saat itu bagi Monika merupakan puncak dari segala kebahagiaan hidupnya.

Hal ini terlukis di dalam kesaksian Agustinus sendiri perihal perjalanan mereka pulang ke Afrika: “Kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sangat menarik, sambil melupakan liku-liku masa lalu dan menyongsong hari depan. Kami bertanya-tanya, seperti apakah kehidupan para suci di surga… Dan akhirnya dunia dengan segala isinya ini tidak lagi menarik bagi kami. Ibu berkata: “Anakku, bagi ibu sudah ada sesuatu pun di dunia ini yang memikat hatiku.

Ibu tidak tahu untuk apa mesti hidup lebih lama. Sebab, segala harapan ibu di dunia ini sudah terkabul”. Dalam tulisan lain, Agustinus mengisahkan pembicaraan penuh kasih antara dia dan ibunya di Ostia: “Sambil duduk di dekat jendela dan memandang ke laut biru yang tenang, ibu berkata: “Anakku, satu-satunya alasan yang membuat aku masih ingin hidup sedikit lebih lama lagi ialah aku mau melihat engkau menjadi seorang Kristen sebelum aku menghembuskan nafasku.

Hal itu sekarang telah dikabulkan Allah, bahkan lebih dari itu, Allah telah menggerakkan engkau untuk mempersembahkan dirimu sama sekali kepadaNya dalam pengabdian yang tulus kepadaNya. Sekarang apa lagi yang aku harapkan?”Beberapa hari kemudian, Monika jatuh sakit. Kepada Agustinus, ia berkata: “Anakku, satu-satunya yang kukehendaki ialah agar engkau mengenangkan daku di Altar Tuhan.” Monika akhirnya meninggal dunia di Ostia, Roma. Teladan hidup santa Monika menyatakan kepada kita bahwa doa yang tak kunjung putus, tak dapat tiada akan didengarkan Tuhan.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini