Sabtu, Agustus 2, 2025

Oxford Movement: Kebangkitan Teologi Katolik dalam Gereja Anglikan

OXFORD, Pena Katolik – Oxford Movement, atau Gerakan Oxford, adalah sebuah gerakan teologis yang muncul pada tahun 1830-an di kalangan high church dalam Gereja Anglikan Inggris. Gerakan ini berakar kuat di Universitas Oxford, dan memiliki tujuan utama untuk mengembalikan tradisi-tradisi Kristen kuno yang telah dilupakan atau ditinggalkan, agar kembali menjadi bagian dari liturgi dan teologi Anglikan. Para pendukung awal gerakan ini meyakini bahwa Gereja Anglikan merupakan salah satu dari tiga cabang sah dari Gereja Kristen yang “satu, kudus, katolik, dan apostolik” — sejajar dengan Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur.

Gerakan ini berkembang pesat dalam bentuk Tractarianism, sebuah filsafat yang dinamai dari publikasi berseri berjudul Tracts for the Times. Tulisan-tulisan ini digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan aspirasi teologis mereka. Para pendukung gerakan disebut Tractarian, namun sering kali diejek dengan sebutan “Newmanites” (merujuk pada John Henry Newman) dan “Puseyites” (mengacu pada Edward Bouverie Pusey), dua tokoh utama gerakan ini. Tokoh-tokoh lain yang tak kalah berpengaruh adalah John Keble, Charles Marriott, Richard Froude, Robert Wilberforce, Isaac Williams, dan William Palmer — sebagian besar dari mereka merupakan fellow di Oriel College, Oxford.

Pada awal abad ke-19, situasi Gereja Anglikan cukup kompleks. Banyak tokoh gereja senior mengadopsi pendekatan liberal atau latitudinarian, sementara di tingkat paroki, banyak pendeta menganut semangat Injili yang dipengaruhi oleh kebangkitan yang dipelopori oleh John Wesley. Di sisi lain, Universitas Oxford menjadi tempat berkembangnya minat untuk memulihkan praktik-praktik liturgis dan devosional dari zaman sebelum Reformasi Inggris, bahkan beberapa unsur diambil dari praktik Katolik Roma yang sedang berlangsung saat itu.

Pemicu langsung dari Gerakan Oxford adalah munculnya kekhawatiran atas intervensi pemerintah Inggris terhadap gereja, khususnya melalui pengesahan Irish Church Temporalities Bill pada tahun 1833. Undang-undang ini mengatur penggabungan sejumlah keuskupan di Irlandia dan penghapusan iuran gerejawi yang dikenal sebagai “parish cess”, yang telah memicu konflik lokal dalam bentuk Perang Persepuluhan (Tithe War). John Keble dengan lantang mengecam langkah ini dalam khotbah terkenalnya di Oxford pada tahun 1833, yang ia sebut sebagai tindakan “Murtad Nasional” (National Apostasy), karena menganggap Parlemen Inggris tidak memiliki otoritas untuk membubarkan struktur keuskupan yang sah secara ilahi.

Para Tractarian kemudian memulai publikasi Tracts for the Times, dengan pesan utama bahwa Gereja Anglikan harus kembali kepada prinsip dan praktik gereja purba yang tak terbagi. Mereka menegaskan bahwa otoritas Gereja Anglikan tidak berasal dari negara, melainkan dari Allah dan suksesi apostolik. Ini adalah prinsip utama yang membedakan mereka dari pandangan liberal ataupun injili saat itu.

Salah satu gagasan penting mereka adalah Branch Theory, yang menyatakan bahwa Gereja Anglikan, Katolik Roma, dan Ortodoks Timur merupakan tiga cabang dari Gereja Katolik purba sebelum skisma besar. Dalam tulisan terakhirnya yang kontroversial, Tract 90, Newman berargumen bahwa ajaran-ajaran Konsili Trente Katolik Roma masih selaras dengan Thirty-Nine Articles Gereja Anglikan abad ke-16. Tulisan ini memicu kemarahan luas, karena dianggap membuka jalan bagi penyatuan kembali dengan Roma. Tak lama setelah itu, Newman sendiri meninggalkan Gereja Anglikan dan masuk Katolik pada tahun 1845, diikuti oleh tokoh lain seperti Henry Edward Manning pada 1851.

Meski banyak dikritik sebagai gerakan “Romanisasi”, Oxford Movement perlahan-lahan mempengaruhi wajah Gereja Anglikan secara luas. Mereka menerbitkan berbagai karya, termasuk Library of the Fathers — terjemahan dari tulisan-tulisan Bapa Gereja dalam 48 volume — dan Hymns Ancient and Modern, himne penting yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1861 dan menjadi buku nyanyian paling berpengaruh di kalangan Anglikan.

Selain pengaruh intelektual dan liturgis, gerakan ini juga melahirkan dampak sosial. Banyak imam Tractarian bekerja di daerah kumuh karena tidak diberi posisi oleh uskup yang menentang gerakan ini. Dari pelayanan mereka di lingkungan miskin, lahirlah kritik sosial terhadap kebijakan ekonomi dan kesehatan di Inggris. Mereka membahas isu-isu seperti upah layak, hak sewa rumah, kematian bayi, dan kondisi buruh industri. Inisiatif seperti Christian Social Union dibentuk untuk mendorong keterlibatan sosial Gereja. Beberapa bahkan membentuk kelompok yang lebih radikal, seperti Catholic Crusade.

Gerakan ini juga membuka jalan bagi terbentuknya tarekat religius Anglikan, baik untuk pria maupun wanita, serta memperkenalkan kembali unsur simbolisme emosional dalam liturgi, seperti penggunaan busana liturgis, sentralitas Ekaristi dalam ibadah, dan ritualisme yang mengundang kontroversi dan bahkan perkara hukum.

Keluarnya Newman dari Gereja Anglikan menjadi titik balik besar. Setelah itu, ia ditahbiskan sebagai imam Katolik dan kemudian menjadi kardinal. Dalam refleksinya, Newman mengatakan bahwa setelah menulis Tract 90, ia merasa kepercayaan publik terhadap dirinya hilang. Ia menulis bahwa dirinya dianggap pengkhianat di Oxford dan di seluruh Inggris, serta tak lagi mampu menyampaikan suara gerakan dengan efektif.

Selain Newman, banyak tokoh Tractarian lainnya yang kemudian masuk Katolik, termasuk Frederick William Faber (penulis himne), William George Ward (teolog), dan bahkan Robert Stephen Hawker yang masuk Katolik di ranjang kematiannya. Ada pula tokoh-tokoh dari kalangan bangsawan dan intelektual seperti Gerard Manley Hopkins (penyair dan imam Jesuit), Ronald Knox (penerjemah Alkitab), hingga arsitek Augustus Pugin yang dikenal karena mendesain kembali gaya Gotik di Inggris.

Pengaruh Oxford Movement bahkan menembus batas budaya. Seorang intelektual Tiongkok, Gu Hongming, pada awal abad ke-20 menggunakan konsep gerakan ini untuk menyerukan kembali ke tradisi Konfusianisme klasik di negaranya, dengan argumen bahwa modernisasi harus berdiri di atas fondasi nilai-nilai luhur yang telah ada sejak lama.

Warisan Oxford Movement tetap terasa hingga hari ini dalam bentuk Anglo-Katolikisme, sebuah cabang dalam Anglikanisme yang tetap mempertahankan spiritualitas dan liturgi Katolik sambil tetap berada dalam struktur Gereja Anglikan. Gerakan ini bukan hanya soal ritus dan teologi, tetapi juga tentang keyakinan bahwa gereja memiliki akar dan identitas yang ilahi, dan bahwa identitas itu harus dipelihara dan dihidupi secara utuh — bahkan jika itu berarti harus melawan arus zaman.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini