Kamis, Juli 17, 2025

Bacaan dan Renungan Rabu 23 Juli 2025; Pekan Biasa ke-XVI (Putih)

Bacaan I – Kel. 16:1-5,9-15

Setelah mereka berangkat dari Elim, tibalah segenap jemaah Israel di padang gurun Sin, yang terletak di antara Elim dan gunung Sinai, pada hari yang kelima belas bulan yang kedua, sejak mereka keluar dari tanah Mesir.

Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun;

dan berkata kepada mereka: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.”

Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.

Dan pada hari yang keenam, apabila mereka memasak yang dibawa mereka pulang, maka yang dibawa itu akan terdapat dua kali lipat banyaknya dari apa yang dipungut mereka sehari-hari.”

Kata Musa kepada Harun: “Katakanlah kepada segenap jemaah Israel: Marilah dekat ke hadapan TUHAN, sebab Ia telah mendengar sungut-sungutmu.”

Dan sedang Harun berbicara kepada segenap jemaah Israel, mereka memalingkan mukanya ke arah padang gurun—maka tampaklah kemuliaan TUHAN dalam awan.

Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Aku telah mendengar sungut-sungut orang Israel; katakanlah kepada mereka: Pada waktu senja kamu akan makan daging dan pada waktu pagi kamu akan kenyang makan roti; maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, Allahmu.”

Pada waktu petang datanglah berduyun-duyun burung puyuh yang menutupi perkemahan itu; dan pada waktu pagi terletaklah embun sekeliling perkemahan itu.

Ketika embun itu telah menguap, tampaklah pada permukaan padang gurun sesuatu yang halus, sesuatu yang seperti sisik, halus seperti embun beku di bumi.

Ketika orang Israel melihatnya, berkatalah mereka seorang kepada yang lain: “Apakah ini?” Sebab mereka tidak tahu apa itu. Tetapi Musa berkata kepada mereka: “Inilah roti yang diberikan TUHAN kepadamu menjadi makananmu.

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah

Mzm. 78:18-19,23-24,25-26,27-28

  • Mereka mencobai Allah dalam hati mereka dengan meminta makanan menuruti nafsu mereka. Mereka berkata terhadap Allah: “Sanggupkah Allah menyajikan hidangan di padang gurun?
  • Maka Ia memerintahkan awan-awan dari atas, membuka pintu-pintu langit,
  • menurunkan kepada mereka hujan manna untuk dimakan, dan memberikan kepada mereka gandum dari langit; setiap orang telah makan roti malaikat, Ia mengirimkan perbekalan kepada mereka berlimpah-limpah.
  • Ia telah menghembuskan angin timur di langit dan menggiring angin selatan dengan kekuatan-Nya; Ia menurunkan kepada mereka hujan daging seperti debu banyaknya, dan hujan burung-burung bersayap seperti pasir laut; Ia menjatuhkannya ke tengah perkemahan mereka, sekeliling tempat kediaman itu.

Bacaan Injil – Mat. 13:1-9.

Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai.

Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: “Adalah seorang penabur keluar untuk menabur.

Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis.

Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis.

Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar.

Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati.

Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”

Demikianlah Injil Tuhan

U. Terpujilah Kristus

***

Hati yang Subur bagi Sabda”

Dalam Injil Matius 13:1–9, Yesus menyampaikan perumpamaan tentang seorang penabur yang menaburkan benih ke berbagai jenis tanah. Ada yang jatuh di pinggir jalan, di tanah berbatu, di tengah semak duri, dan ada pula yang jatuh di tanah yang baik. Benih itu adalah Sabda Allah, dan tanah menggambarkan hati manusia.

Yesus, Sang Penabur Ilahi, tidak pernah berhenti menaburkan Sabda-Nya kepada kita setiap hari: melalui Kitab Suci, ajaran Gereja, homili, bahkan peristiwa hidup yang kita alami. Namun, yang menentukan hasilnya bukanlah benih, tetapi kondisi tanah—yaitu kesiapan hati kita.

Tanah di pinggir jalan melambangkan hati yang tertutup dan acuh tak acuh terhadap firman Tuhan. Tanah berbatu menggambarkan hati yang menerima firman dengan sukacita sesaat, tetapi tidak mengakar karena mudah menyerah dalam kesulitan. Tanah penuh semak duri adalah hati yang terhimpit oleh kekhawatiran dunia dan tipu daya kekayaan. Namun, tanah yang baik adalah hati yang terbuka, mendengar, merenungkan, dan melaksanakan firman Tuhan dengan kesetiaan.

Renungan ini mengajak kita untuk bertanya pada diri sendiri: “Tanah hati manakah aku hari ini?” Apakah aku membiarkan firman Tuhan tumbuh dan berbuah dalam hidupku? Atau apakah aku terlalu sibuk, terlalu keras kepala, atau terlalu nyaman dengan dunia hingga Sabda Tuhan tidak mendapat tempat?

Hati yang baik tidak terbentuk secara instan. Ia harus diolah terus-menerus dengan doa, pertobatan, sakramen, dan kerendahan hati. Seperti petani yang setia mengolah tanahnya, kita pun dipanggil untuk terus mempersiapkan hati agar siap menerima benih firman Tuhan.

Marilah kita berusaha menjadi “tanah yang baik”, tempat di mana firman Tuhan tidak hanya tumbuh, tetapi berbuah melimpah dalam kasih, pengampunan, dan pelayanan kepada sesama.

Doa Penutup

Tuhan Yesus, Engkau adalah Penabur Sabda kehidupan. Bukalah hatiku agar menjadi tanah yang subur bagi firman-Mu. Singkirkanlah kekerasan, kekhawatiran, dan kesombongan dalam diriku yang menghalangi pertumbuhan sabda. Bentuklah aku menjadi pribadi yang rendah hati dan setia, agar hidupku menghasilkan buah yang berkenan bagi-Mu. Semoga melalui Sabda-Mu, aku menjadi saksi kasih dan terang-Mu di tengah dunia. Amin.

***

Santa Brigitta, Janda

Brigitta lahir di Vadstena, Swedia pada tahun 1303. Puteri turunan raja Swedia ini semenjak kecilnya rajin mengikuti Kurban Misa dan mendengarkan khotbah pastornya. Kebiasaannya ini menanamkan dalam dirinya benih-benih iman yang kokoh dan berguna bagi cara hidupnya di kemudian hari. Pada usianya 13 tahun, ia menikah dengan Pangeran Ulfo dari Gudmarsson, putera seorang bangsawan Swedia.

Dari perkawinan ini, Brigitta dianugerahi delapan orang anak selama 28 tahun hidup bersama Pangeran Ulfo. Sebagai ibu rumah tangga, Brigitta sangat bijaksana dalam mengatur keluarganya dan dengan penuh kasih sayang mendidik anak-anaknya. Masalah pendidikan anak-anak menjadi perhatiannya yang utama. Hasil pendidikan itu terbukti dalam diri anaknya Katarina, yang kelak menjadi orang kudus (Santa Katerina dari Swedia).

Pada tahun 1335, Ibu Brigitta dipanggil ke istana raja Magnus II Erikson (1319-1365) untuk menjadi ibu rumah tangga menantikan kehadiran Blanche dari Namur, permaisuri Raja Magnus. Selama berada di istana, Brigitta memberi bimbingan kepada raja Magnus II bersama permaisurinya dalam menghadapi berbagai kesulitan hubungan perkawinan.

Sepeninggal suaminya pangeran Ulfo pada tahun 1344, Brigitta masuk biara Cisterian di Alvastra. Di biara ini ia menjalankan suatu corak hidup rohani yang keras, sambil tetap mendampingi raja Magnus II bersama permaisurinya. Ketika ia melihat bahwa Raja Magnus II menjalani suatu cara hidup yang tidak terpuji, Brigitta menegurnya dengan keras dan berusaha mempertobatkannya kembali.

Raja Magnus sungguh menghormati Brigitta sehingga dengan rendah hati membaharui cara hidupnya dan bertobat. Di kemudian hari, Magnus II menjadi pelindung dan pembantu setia para suster yang menjadi anggota tarekat religius yang didirikan oleh Brigitta pada tahun 1346 di Vadstena. Raja menghadiahkan kepada mereka sebidang tanah yang luas untuk pembangunan pusat biara Brigittin. Ordo baru ini dimaksudkan untuk menghormati Sang Penebus Yesus Kristus.

Kekhususan Ordo ini ialah bahwa Ordo ini menghimpun banyak suster, beberapa orang imam dan bruder, yang hidup terpisah-pisah di rumah masing-masing tetapi bersama-sama memuji Tuhan dalam satu gereja. Urusan biara dipimpin oleh seorang abbas perempuan, sedangkan kehidupan rohani diserahkan kepada seorang imam biarawan.

Untuk mendapatkan restu Sri Paus atas tarekat yang didirikannya, sekaligus merayakan Tahun Suci 1350, maka pada tahun 1349, Brigitta pindah ke Roma ditemani oleh Katarina anaknya. Di Roma ia bertapa keras, memperhatikan orang-orang miskin dan sakit, serta memberikan nasehat kepada Sri Paus mengenai masalah-masalah politis. Ia pun berusaha agar Tahkta Suci dipindahkan kembali dari Avignon ke Roma. Untuk maksud itu, ia tidak henti-hentinya menasehati Paus Klemens VI (1342-1352), Urbanus V (1363-1370) dan Gregorius XI (1370-1378) agar kembali ke Roma. Pada tahun 1371, Sri Paus Urbanus V memberikan restu untuk tarekat Brigittin.

Brigitta memiliki kemampuan kenabian dan meramalkan banyak peristiwa kerohanian dan politik. Ia banyak kali mengalami hambatan dan pengejaran, namun ia tidak pernah berkecil hati. Ia teguh dalam iman dan panggilannya yang suci. Setelah suatu perjalanan ke Tanah Suci pada tahun 1371, Brigitta kembali ke Roma. Dua tahun kemudian pada tanggal 23 April 1373, Brigitta meninggal di Roma. Paus Bonifasius IX (1389-1404) menggelari dia ‘santa’ pada tahun 1391.

Santo Apolinaris, Uskup dan Martir

Apolinaris adalah uskup pertama kota Ravenna, Italia. Ia berasal Antiokia dan ditunjuk sebagai uskup kota Roma oleh Santo Petrus sendiri. Sebagai uskup Ravenna, Apolinaris menemui berbagai kesulitan yang berat. Ia dibuang dari Ravenna sebanyak empat kali oleh orang-orang kafir dan menjadi sasaran penyiksaan yang ngeri setiap kali ia ditahan. Kata orang, ia disiksa hingga mati oleh rakyat banyak selama masa penganiyaan kaisar Vespasianus (67-69).

Tetapi Santa Petrus Chrysologus, uskup Ravenna pada abad ke-5, menyatakan bahwa walaupun Apolinaris menderita penganiayaan hebat, namun ia tetap bertahan dalam penderitaan itu. Ia menghormati Apolinaris sebagai seorang martir, bukan karena Apolinaris mati sebagai seorang martir, melainkan karena ia banyak menderita karena imannya kepada Kristus. Apolinaris dikenal sebagai salah seorang martir abad pertama kekristenan.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini