Batam, Pena Katolik | Peresmian pelabuhan internasional baru di Bengkong, Batam, tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat. Selain membuka konektivitas baru, pelabuhan ini juga menyimpan potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan perluasan akses masyarakat dalam bepergian ke luar negeri.
Lebih membanggakan lagi, peresmian ini akan dihadiri oleh Kapolri, lima orang menteri, dan bahkan Ketua KPK—sebuah formasi kehormatan yang belum tentu ditemukan dalam peresmian pelabuhan internasional lain di Indonesia.
Saya mengucapkan selamat atas peresmian ini. Sebagai warga Batam, saya bangga. Sebagai pemerhati isu pekerja migran, saya juga berharap pelabuhan ini menjadi tempat yang aman dan beradab, bukan sekadar megah secara fisik, tetapi juga kuat secara moral dan tangguh dalam sistem pengawasannya.
Namun di tengah gegap gempita peresmian ini, saya merasa perlu mengangkat catatan kritis: jangan sampai pelabuhan baru ini justru menjadi jalur baru perdagangan orang melalui pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara unprosedural.
Catatan ini bukan tanpa dasar. Selama beberapa tahun terakhir, kami menyaksikan sendiri bagaimana pelabuhan-pelabuhan resmi di Batam justru menjadi “pintu depan” bagi mafia perdagangan orang menjalankan aksinya. Mereka meloloskan calon pekerja migran tanpa dokumen lengkap, dengan proses yang sistematis dan masif, seolah-olah semuanya berjalan legal dan resmi.
Data dari Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, dari 2.910 PMI yang dideportasi dari Malaysia, 1.405 di antaranya berangkat melalui pelabuhan internasional di Kepri. Angka tertinggi berasal dari Pelabuhan Batam Center dengan 1.014 orang.
Tahun 2025 bahkan lebih mencemaskan: baru empat bulan berjalan, sudah ada 1.492 PMI yang dideportasi, 1.307 di antaranya berangkat dari pelabuhan resmi.
Artinya, kita sedang menghadapi situasi yang sangat serius. Perdagangan orang tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ia menyusup lewat gerbang-gerbang resmi, di hadapan aparat, institusi negara, dan bahkan mungkin dengan keterlibatan sebagian dari mereka.
Inilah mengapa pelabuhan baru yang akan diresmikan harus sejak awal dipagari dengan sistem pengawasan yang ketat dan integritas yang tak bisa dibeli. Jangan biarkan pelabuhan ini menjadi babak baru dalam kisah kelam pengiriman PMI unprosedural. Jangan ulangi kelalaian yang sudah terbukti membawa luka dan penderitaan bagi ribuan anak bangsa yang dijebak dalam sistem kerja yang tak manusiawi di luar negeri.
Momentum kehadiran para pejabat tinggi negara dalam peresmian ini seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat komitmen terhadap perlindungan PMI dan pemberantasan perdagangan orang. Pengawasan terpadu, pemanfaatan teknologi, serta peningkatan kesadaran kemanusiaan di antara aparat dan petugas pelabuhan harus menjadi pondasi utama.
Lebih dari itu, diperlukan kerja kolaboratif antara pemerintah pusat, daerah, aparat keamanan, lembaga pengawasan, dan masyarakat sipil. Kita harus mempersempit ruang gerak mafia—tak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan pencegahan, pendidikan, dan kesadaran kolektif bahwa pelabuhan bukan sekadar tempat berangkat dan datang, tetapi juga gerbang martabat bangsa.
Mari kita jaga bersama pelabuhan internasional baru ini. Bukan hanya sebagai simbol kemajuan fisik, tetapi juga sebagai cermin kehormatan kemanusiaan kita.
Romo Paschal, Pemerhati Pekerja Migran dan Aktivis Anti Perdagangan Orang