JAKARTA, Pena Katolik – Laporan berita terbaru dari Kentucky mengungkapkan risiko kecil namun jelas terkait donasi organ, yang menggarisbawahi ajaran utama Gereja tentang bagaimana proses pemberian organ seseorang harus dilakukan.
Kesaksian Kongres pada bulan September mengungkapkan insiden tahun 2021 di mana seorang pria bernama TJ Hoover dinyatakan mati otak dan tim medis dibentuk untuk mengambil organnya. Namun, di ruang operasi, Hoover ditemukan masih hidup. Beberapa pejabat medis mengundurkan diri karena apa yang mereka gambarkan sebagai pengalaman traumatis.
“Beberapa dari kami yang merupakan karyawan perlu menjalani terapi,” kata seorang pekerja kepada National Public Radio. Otoritas pemerintah sedang menyelidiki insiden tersebut.
Apa kata Gereja Katolik tentang donasi organ?
Gereja Katolik menyatakan bahwa donasi organ adalah tindakan yang dapat diterima dan bahkan terpuji secara moral. Katekismus Gereja Katolik mengatakan bahwa transplantasi organ “sesuai dengan hukum moral”. Gereja menyatakan, donor organ dapat dilakukan, “jika bahaya dan risiko fisik dan psikologis bagi pendonor sebanding dengan kebaikan yang dicari bagi penerima” (KGK No. 2296).
Sementara itu, donasi organ setelah kematian, merupakan tindakan yang mulia dan berjasa. Tindakan ini didorong sebagai ungkapan solidaritas yang murah hati. Akan tetapi, keadaan seputar donasi organ harus sejalan dengan ajaran moral Katolik.
St. Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus semuanya telah berbicara positif tentang donasi organ. Paus Fransiskus bahkan menyatakan donasi organ sebagai “ungkapan persaudaraan universal yang mengikat semua pria dan wanita”. sementara St. Yohanes Paulus II menggambarkan donasi organ sebagai “tindakan cinta sejati.”
Perdebatan tentang ‘kematian otak’
Perdebatan menonjol di antara dokter dan teolog moral adalah klasifikasi “kematian otak”. Istilah ini mengacu pada sebutan medis yang menunjukkan hilangnya fungsi otak sepenuhnya, termasuk mekanisme tak sadar yang digunakan otak untuk mempertahankan hidup.
Kematian otak adalah isu yang sangat hangat di kalangan ahli etika Katolik. Tahun lalu terdapat pedoman kematian otak baru, yang dikeluarkan oleh sebuah perkumpulan neurologi. Pedoman ini dikritik oleh lebih dari 150 ahli etika dan teolog Katolik. Pedoman ini dikritik karena ada kekhawatiran, bahwa pasien mungkin secara keliru dinyatakan sebagai “mati otak” dan kemudian organ mereka diambil saat masih hidup.
Sementara itu, Konferensi Uskup Katolik AS (USCCB) tahun lalu mengkritik usulan penulisan ulang definisi “kematian otak” oleh Komisi Hukum AS. Kritik ini dilandasai alasan, bahwa revisi tersebut akan “mengganti standar kematian otak secara menyeluruh. Perubahan akan berdampak pada memperluas kriteria untuk pengambilan organ.
Katekismus menetapkan bahwa “Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral, kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan persetujuan dengan penuh kesadaran. Sebaliknya transplantasi sesuai dengan hukum susila dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan risiko fisik dan psikis, yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada penerima. Langsung menyebabkan keadaan cacat atau kematian seseorang, selalu dilarang secara moral, meskipun dipakai untuk menunda kematian orang lain” (No. 2296).
Gereja Katolik telah mengajarkan selama berabad-abad bahwa tubuh pada akhirnya akan dibangkitkan dalam bentuk yang dimuliakan. Ajaran ini mewajibkan perlakuan penuh hormat terhadap jenazah manusia setelah jiwa meninggal. (AES)