Rabu, Oktober 9, 2024
30.2 C
Jakarta

Perkawinan di Zaman Postmodern

Pontianak, Pena Katolik | Apa yang ada dalam benak kita saat terdengar kata perceraian? Bagaimana perjuangan cinta yang sudah dirajut tercerai-berai-kan karena sesuatu hal yang mungkin diluar dari kendali?

Di tengah derasnya arus modernisasi dan tantangan yang semakin kompleks dalam kehidupan perkawinan, perceraian menjadi masalah yang sering muncul. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia mengalami 463.654 kasus perceraian.

Walaupun angka ini turun 10,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka tersebut tetap menunjukkan betapa rapuhnya institusi perkawinan di tengah perubahan sosial dan budaya yang terjadi.

Pastor Pionius Hendi, OFMCap, dalam homilinya yang dipublikasikan pada Renungan Mingguan Kapusin Pontianak, memberikan sejumlah refleksi mendalam terkait hal ini, khususnya dalam konteks bacaan Injil yang dibacakan pada Minggu Biasa ke-27.

Ia mengajak umat Kristen, khususnya mereka yang tengah menghadapi masalah dalam kehidupan perkawinan, untuk kembali kepada dasar-dasar keimanan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus dan Gereja Katolik.

Institusi Ilahi

Pastor Pionius membuka homilinya dengan mengingatkan jemaat bahwa perkawinan bukanlah sekadar kontrak sosial antara dua individu, melainkan suatu institusi yang dirancang oleh Allah sendiri sejak awal penciptaan.

Hal ini didasarkan pada Kitab Kejadian bab 2 ayat 18-24, di mana Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam untuk menjadi penolong baginya. Kehadiran seorang penolong merupakan anugerah terbesar dari Allah kepada manusia, yang menjadikan perkawinan antara pria dan wanita sebagai sesuatu yang suci dan unik di mata Allah.

Pastor Pionius juga menegaskan bahwa Gereja Katolik, sejak awal, mengajarkan tiga ciri utama dalam perkawinan, yaitu: kesatuan (unitas), kekal (indissolubilis), dan terbuka terhadap kehidupan (fekunditas). Ketiga aspek ini bukan hanya sekadar nilai-nilai sosial, tetapi juga merupakan anugerah yang berasal dari Allah sendiri.

Kesatuan (Unitas) – Perkawinan adalah kesatuan antara satu pria dan satu wanita. Keduanya dipersatukan tidak hanya untuk waktu sementara, melainkan untuk seumur hidup mereka. Oleh karena itu, perkawinan Katolik tidak bisa diakhiri kecuali oleh kematian.

Kekal (Indissolubilis) – Sejak awal, perkawinan dimaksudkan untuk bersifat kekal. Tidak ada kuasa manusia yang bisa memisahkan apa yang telah dipersatukan oleh Allah, sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Markus.

Terbuka terhadap Kehidupan (Fekunditas) – Perkawinan juga harus terbuka terhadap kehidupan. Anak-anak merupakan anugerah terbesar yang diberikan oleh Allah kepada manusia, dan setiap pasangan dipanggil untuk menerima dan merawat kehidupan yang lahir dari persekutuan cinta mereka.

Dengan pemahaman ini, Pastor Pionius mengajak umat untuk melihat bahwa perkawinan bukanlah hal yang dapat diputuskan begitu saja ketika menghadapi masalah. Sebaliknya, perkawinan adalah panggilan yang suci dan membutuhkan komitmen yang mendalam serta kesetiaan yang kokoh.

Tantangan Perkawinan di Zaman Postmodern

Pastor Pionius tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa kehidupan perkawinan saat ini penuh dengan tantangan. Dunia postmodern menghadirkan banyak godaan, baik dari dalam maupun dari luar, yang sering kali mengguncang stabilitas rumah tangga.

Ia menyebutkan bahwa tantangan-tantangan ini dapat datang dalam berbagai bentuk: masalah ekonomi, ketidakcocokan karakter, hingga pengaruh media sosial yang kadang-kadang memicu perselingkuhan dan masalah kepercayaan.

Namun, dalam menghadapi semua itu, Pastor Pionius mengingatkan bahwa komitmen adalah kunci utama.

“Rambut kita bisa memutih, wajah kita bisa keriput, tubuh kita bisa melemah karena penyakit, tetapi satu yang tetap tinggal, yakni komitmen,” ujarnya.

Komitmen berarti kesetiaan yang melampaui apa yang dapat kita lihat dan rasakan, karena didasarkan pada janji yang diucapkan di hadapan Allah dan sesama.

Tips Menghindari Perceraian

Dalam homilinya, Pastor Pionius memberikan beberapa tips praktis yang dapat membantu pasangan suami istri mempertahankan kehidupan rumah tangga mereka dan menghindari perceraian, terutama di tengah-tengah zaman yang penuh godaan ini:

Komunikasi yang Jujur dan Terbuka – Pastor Pionius menekankan pentingnya komunikasi yang baik dalam setiap hubungan.

Komunikasi yang jujur dan terbuka antara pasangan akan memberikan kelegaan dan membantu menyelesaikan masalah sebelum menjadi lebih besar.

“Komunikasi bukan hanya tentang bagaimana kita mengatakan sesuatu, tetapi juga bagaimana kita membuktikan apa yang kita katakan,” jelasnya.

Saling Mendengarkan dengan Empati – Mendengarkan dengan baik berarti memberikan ruang bagi pasangan untuk mengekspresikan perasaan dan pendapatnya.

Pastor Pionius mengingatkan bahwa menjadi pendengar yang baik adalah salah satu cara untuk menunjukkan empati dan penghargaan terhadap pasangan. Ketika kita mendengarkan, kita bisa belajar dari apa yang disampaikan oleh pasangan dan merespons dengan cara yang tepat.

Mengendalikan Emosi – Saat kita merasa benar, kadang-kadang keinginan untuk mendominasi percakapan muncul. Namun, Pastor Pionius mengingatkan pentingnya mengendalikan emosi dan memberikan kesempatan kepada pasangan untuk berbicara. Ketika salah, segera meminta maaf juga menjadi langkah penting dalam menjaga keharmonisan.

Membuat Kompromi dan Saling Menghargai – Perkawinan adalah tentang kompromi. Kedua pihak harus belajar untuk saling menghargai dan menempatkan kepentingan pasangan di atas diri sendiri. Dengan kerendahan hati, kita membuka diri untuk menerima kemungkinan yang ada, baik yang positif maupun yang negatif.

Memberikan Quality Time – Terakhir, Pastor Pionius menekankan pentingnya memberikan quality time baik untuk berdoa bersama maupun untuk menghabiskan waktu bersama pasangan. Quality time ini adalah momen berharga yang dapat memperkuat ikatan emosional dan spiritual di antara pasangan suami istri.

Harapan untuk Masa Depan

Di akhir homilinya, Pastor Pionius menyampaikan harapannya agar tips-tips yang diberikan dapat membantu umat, khususnya para pasangan, untuk semakin solid dan kuat dalam menghadapi godaan dan tantangan kehidupan perkawinan.

Ia berharap bahwa dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, perceraian tidak akan menjadi pilihan yang diambil dengan mudah ketika masalah datang.

Sebaliknya, ia mendorong umat untuk selalu mengingat janji pernikahan yang telah diucapkan di hadapan Allah dan untuk terus berkomitmen pada kesetiaan dan cinta yang abadi.

Melalui refleksi ini, Pastor Pionius mengajak kita semua untuk merenungkan kembali nilai-nilai perkawinan sebagai institusi ilahi yang suci dan tidak boleh diabaikan begitu saja.

Sebagaimana Tuhan telah mempersatukan Adam dan Hawa sejak awal penciptaan, demikian pula setiap pasangan suami istri dipanggil untuk menjaga dan merawat persekutuan mereka dengan penuh cinta, kesetiaan, dan komitmen hingga akhir hayat. [S]

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini