Oleh: Prof. Dr. Iim Halimatusa’diyah
(Guru Besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat)
Pena Katolik – Kunjungan Paus sebagai pimpinan tertinggi gereja Katolik sedunia ke Indonesia yang merupakan negara mayoritas Muslim bukan merupakan kunjungan Paus pertama kalinya. Kunjungan Paus Fransiskus yang dijadwalkan pada 3-6 September 2024 ini merupakan kunjungan ketiga setelah kunjungan dua pendahulunya. Paus Santo Paulus VI berkunjung pada 3-4 Desember 1970 dan Paus Santo Yohanes Paulus II berkunjung pada 9-14 Oktober 1989.
Setelah 35 tahun dari kunjungan Paus sebelumnya, tentu saja kunjungan Paus Fransiskus ini merupakan moment bersejarah yang memiliki makna simbolik penting baik khususnya bagi umat Katolik di Indonesia maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Bagi umat Katolik di Indonesia, kunjungan Paus Fransiskus merupakan berkat spiritual dan kesempatan langka untuk bertemu secara langsung dengan pemimpin spiritual tertinggi di Katolik. Selain itu, bagi komunitas Katolik di Indonesia yang merupakan bagian dari kelompok minoritas, kunjungan Paus Fransiskus juga bermakna penting untuk memberikan rasa solidaritas dan pengakuan global.
Bagi Indonesia secara keseluruhan, kunjungan Paus dapat memiliki makna simbolis untuk memperkuat pesan-pesan perdamaian dan toleransi. Kunjungan ini juga akan menjadi kesempatan penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyoroti dukungan negara terhadap pluralisme agama dan toleransi serta meningkatkan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Vatikan dan negara-negara Katolik/Kristen lainnya, yang menggambarkan Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi kerukunan dan keberagaman agama.
Secara khusus, kunjungan Paus juga berpotensi untuk memperkuat hubungan antara Muslim dan Katolik serta kelompok minoritas lainnya. Kunjungan Paus Fransiskus ini menyiratkan makna simbolik mendalam terkait keterbukaan dan toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Kunjungan Paus juga berpotensi untuk memperkuat peran agama dan para pemimpin agama dalam menanggapi isu-isu kontemporer, termasuk isu lingkungan dan perubahan iklim. Sosok Paus Fransiskus sendiri merupakan sosok yang terkenal memiliki perhatian khusus terkait isu lingkungan dan perubahan iklim. Beliau bahkan dipandang sebagai pemimpin global di bidang lingkungan hidup.
Kepedulian Paus Fransiskus terhadap lingkungan berakar kuat pada visi teologisnya yang tercermin dalam berbagai karya pemikiran beliau. Ensiklik Laudato Si’ yang berjudul “On Care for Our Common Home/Peduli terhadap Rumah Kita Bersama”, misalnya, merupakan ensiklik terobosan Paus Fransiskus yang didedikasikan untuk isu-isu lingkungan hidup. Dalam dokumen ini, Paus Fransiskus menyerukan dialog baru tentang bagaimana manusia membentuk masa depan planet kita. Paus menekankan bahwa perubahan iklim, polusi, dan eksploitasi sumber daya alam secara tidak proporsional berdampak pada kehidupan manusia teratama kelompok miskin dan rentan. Ensiklik ini juga mengintegrasikan keprihatinan lingkungan dengan kritik yang lebih luas terhadap konsumerisme dan sistem ekonomi global, menyerukan pertobatan ekologis dan perubahan gaya hidup.
Dalam konteks antar umat beragama ensiklik Laudato Si’ yang berjudul “On Care for Our Common Home/Peduli terhadap Rumah Kita Bersama” sendiri memiliki makna universal yang mengajak semua orang apapun latar belakang agamanya untuk peduli pada bumi sebagai rumah kita bersama. Oleh karena itu, kerja sama antar umat beragama dalam isu lingkungan bisa menjadi pendekatan penting bagi advokasi kepedulian lingkungan dan juga penguatan kerukunan antar umat.
Survei nasional terbaru dari PPIM UIN Jakarta dari 1 Maret sampai 21 April 2024, yang merupakan bagian dari program REACT (Religious Environmentalism Actions) tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap lingkungan dan perubahan iklim, telah mewawancarai 3,397 responden berusia 15 tahun ke atas dari seluruh provinsi di Indonesia. Hasil survei ini menunjukkan tingginya persetujaun publik (68% responden) akan pentingnya peran dari tokoh agama dalam mengkampanyekan dan merespon isu lingkungan dan perubahan iklim.
Hasil survei ini juga menunjukkan tingginya persetujuan masyarakat Indonesia untuk bekerja sama dalam isu lingkungan yang tercermin dari persetujuan responden untuk memberikan (94%) dan menerima (91%) bantuan kepada kelompok agama lain yang terdampak bencana. Temuan survei juga menunjukkan bahwa 76% responden tidak setuju bahwa perbedaan agama menjadi penghalang kerjasama antar umat di isu lingkungan.
Akan tetapi, hasil survei ini juga menunjukkan bahwa kondisi sosiologis masih menjadi kendala karena masih banyak masyarakat Indonesia yang sedikit atau tidak pernah berinteraksi atau berteman dengan orang yang berbeda agama. Hal ini juga tercermin dari masih rendahnya (27%) responden yang sering bekerja sama dengan orang yang berbeda agama untuk menjaga lingkungan dan hanya 29% responden yang mengaku memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan umat agama lain dalam isu lingkungan.
Kunjungan figur tertinggi Katolik ke negara mayoritas muslim bisa menjadi contoh baik bagi seluruh umat beragama untuk membuka ruang perjumpaan dan interaksi sosial antar umat beragama. Studi yang saya dan kolega saya lakukan terkait toleransi Muslim di Indonesia terhadap kelompok non-Muslim menunjukkan bahwa ajaran agama dan religiusitas bukanlah faktor yang berkontribusi dalam membentuk tingkat toleransi Muslim terhadap non-Muslim. Rendahnya interaksi sosial dengan kelompok di luar agamanya lah yang justru berkontribusi terhadap rendahnya tingkat toleransi.
Oleh karena itu, kunjungan Paus dapat menjadi sebuah inisiatif untuk mendorong interaksi yang lebih terbuka antar umat beragama yang perlu terus ditindaklanjuti oleh seluruh umat Katolik dan juga umat agama lainnya. Perjumpaan dan interaksi sosial melalui isu bersama seperti isu lingkungan bisa menjadi wahana strategis bagi kolaborasi antar umat.