Tanggal 20 April 2015, Grup Kolintang Santo Yakobus Kelapa Gading Jakarta dengan sembilan pemain puteri dinyatakan sebagai pemenang dengan menyisihkan 11 grup lain peserta Lomba Kolintang HUT ke-160 Perhimpunan Vincentius Jakarta (PVJ 160).
Namun, meski meraih juara kategori umum dalam lomba di Panti Asuhan Vincentius Putri, Jakarta, 18-19 April 2015 itu, John Puah yang menjadi koordinator dari grup musik khas dari Minahasa, Sulawesi Utara, milik Paroki Kelapa Gading itu mengatakan kepada PEN@ Katolik bahwa lomba bukanlah tujuan utama pembentukan grup kolintang ini.
“Lomba itu hanyalah salah satu penyaluran bakat seni dari umat yang menggeluti musik etnik ini. Namun, peranserta dalam lomba sekurang-kurangnya sudah berperan memberi kesaksian akan kehadiran Gereja di tengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan,” tegasnya.
Sebenarnya, jelas dosen Bahasa Jerman itu, grup kolintang yang sudah yang kedua itu didirikan di Paroki Kelapa Gading Jakarta sejak 18 tahun lalu dimaksudkan “untuk membina anak muda, menyalurkan bakat seni anak muda, membantu pemerintah melestarikan seni budaya, dan menyemarakkan Misa.”
Terbukti, selain di beberapa mal, pertemuan OMK Keuskupan Bandung, Keuskupan Bogor dan Keuskupan Agung Jakarta, acara Gotaus di Kepala Gading yang dihadiri para uskup, penyambutan Pastor Reynaldo Antonius Haryanto Pr untuk bertugas di paroki itu, dan Misa Syukur untuk (waktu itu masih frater. Red) Pastor Edwin Bernard M Timothy OP, anggota Provinsi Dominikan Amerika, pemenang Lomba Kolintang PVJ 160 itu sudah sering tampil di Paroki Kepala Gading dan beberapa paroki lain di Jakarta.
Para perempuan, yang terampil memainkan musik dengan memukulkan stik kayu pada bilah kolintang, juga menyadari bahwa kalah atau menang, lomba menjadi sarana relasi dengan banyak orang. “Sarana kesaksian,” tegas John Puah. Maka, meskipun pernah mengalahkan 13 grup dan dinyatakan Juara I Tingkat Nasional Kategori Wanita Umum dalam Festival Malesung di Jakarta, 6-8 September 2013, mereka tetap berlatih dan dilatih oleh A Sandjaya.
Keterlibatan dalam lomba, jelas John Puah, juga merupakan aksi nyata Gereja membantu pemerintah dalam pelestarian budaya daerah. “Partisipasi ini boleh dikatakan hanyalah aksi kecil. Tapi, tanpa disadari, partisipasi ini sudah menjadi bagian penting dalam mengukuhkan kolintang sebagai alat musik tradisional milik bangsa Indonesia.” (paul c pati)