Sabtu, November 23, 2024
26.9 C
Jakarta

Setengah dari Populasi Dunia Tinggal di Negara dengan Kasus Penganiayaan terhadap Agama

Gereja Katolik Trinitas di Enugu Nigeria. IST

NEW YORK, Pena Katolik – Lebih dari separuh populasi global tinggal di negara di mana orang-orangnya dianiaya karena keyakinan agama mereka. Temuan ini termuat dalam laporan Kebebasan Beragama di Dunia tahun 2023. Laporan tersebut dirilis pada hari pertama Pekan Kebebasan Beragama, di mana para uskup Katolik AS telah mengundang umat Katolik untuk berdoa bagi kebebasan beragama di AS maupun di seluruh dunia dari tanggal 22-29 Juni 2023.

Aid to the Church in Need, sebuah badan amal Katolik, menerbitkan laporan tersebut, yang menempatkan 28 negara dalam kategori “merah” untuk kebebasan beragama, yang menunjukkan penganiayaan agama. Negara-negara itu adalah rumah bagi lebih dari 4 miliar orang dan membentuk sekitar 51,6 persen dari populasi global.

Kategori merah mencakup dua negara terpadat di dunia, China dan India, yang menurut laporan itu termasuk negara dengan kasus penganiaya terhadap agama terburuk. Beberapa ini termasuk Nigeria, Pakistan, Afghanistan, Somalia, Arab Saudi, dan Korea Utara.

Nikaragua, yang dalam kategori “oranye” yang tidak terlalu parah dalam laporan tahun 2021, telah menjadi kategori “merah” di tahun 2023. Ini terutama disebabkan oleh penganiayaan Presiden Daniel Ortega terhadap para imam Katolik dan ordo keagamaan sebagai sarana untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan membungkam perbedaan pendapat.

“Kejutan terburuk adalah Nikaragua,” kata Marcela Szymanski, editor laporan tersebut, kepada wartawan, Kamis, 22 Juni.

Di sebagian besar laporan sebelumnya, negara melakukan persekusi terhadap agama minoritas, tetapi dalam kasus ini, negara menganiaya agama mayoritas. Hal ini terjadi di hampir tiga perempat negara beragama Katolik.

Laporan tersebut mencatat bahwa Uskup Rolando Alvarez, seorang pengkritik Ortega yang blak-blakan, ditangkap, dicabut kewarganegaraannya, dan dijatuhi hukuman 26 tahun penjara karena “konspirasi melawan integritas nasional dan menyebarkan berita palsu”.

Lebih dari 200 tahanan politik, termasuk pendeta dan seminaris, didakwa dengan “konspirasi” dan dideportasi ke Amerika Serikat pada bulan Februari 2023. Pemerintah Nikaragua juga menasionalisasi universitas Katolik dan menutup siaran televisi dan radio Katolik.

Banyak negara melihat kondisi kebebasan beragama yang memburuk selama dua tahun terakhir. Jumlah negara dalam kategori “merah” meningkat dari 26 menjadi 28 sejak laporan tahun 2021, dengan Nikaragua dan Sudan masuk dalam kategori tersebut. Di 23 negara “merah” ini, penganiayaan agama memburuk sejak laporan sebelumnya dan, di limanegara lainnya, penganiayaan tetap sama.

Di sebagian besar negara Afrika dan Asia barat daya, penganiayaan agama disebabkan oleh pemerintah otoriter atau ekstremisme Islam. Dalam beberapa kasus, keduanya berperan. Di Asia Timur, sebagian besar penganiayaan berasal dari pemerintahan otoriter. Di India, Myanmar, dan Sri Lanka, penganiayaan berasal dari pemerintahan otoriter dan nasionalisme suku-agama.

Laporan tersebut menemukan peningkatan penganiayaan terhadap Muslim di China, India, dan Myanmar, tetapi juga peningkatan penganiayaan terhadap Muslim oleh Muslim lainnya. Ditemukan juga bahwa pemaksaan pindah agama dan kekerasan seksual di Afrika Barat dan Pakistan sebagian besar tetap tidak dihukum.

Szymanski mengatakan bahwa para otokrat, baik dipilih atau tidak, menganiaya orang-orang beriman. Dia mengatakan dalam banyak kasus, seorang otokrat mencoba untuk “menyingkirkan mereka atau berteman [dan] mencoba mengkooptasi pemimpin agama”. Jika tidak berhasil, katanya ini mengarah pada bentuk penganiayaan yang lebih agresif.

Dalam beberapa kasus, seperti Nigeria, Szymanski mengatakan para otokrat akan mencoba mendorong kelompok agama ke dalam kemiskinan dan memanipulasi data sensus. Upaya ini digunakan untuk melawan orang Kristen di Nigeria, meskipun agama tersebut membentuk sekitar setengah dari populasi negara itu. Langkah ini sepertinya sebagai sarana untuk “Islamisasi negara.”

Upaya serupa telah digunakan di Lebanon dan India.  Szymanski juga memperingatkan tentang “penganiayaan yang sopan,” yang merupakan istilah yang sering digunakan oleh Paus Fransiskus. Dalam kasus-kasus ini, para pemimpin politik menghindari sanksi langsung dan mengubah penganut agama menjadi warga negara kelas dua.

Laporan tersebut menemukan bahwa hibridisasi penganiayaan “sopan” dan pertumpahan darah terus meningkat. Otokrat akan memberlakukan undang-undang yang melanggar kebebasan kelompok agama dan “melihat ke arah lain” ketika ada serangan berdarah tanpa memberi sanksi secara terbuka.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini