VATIKAN, Pena Katolik – Minggu lalu, Paus Fransiskus telah menyetujui klarifikasi lebih lanjut mengenai pembatasan Misa Latin Tradisional (MLT). Paus memastikan bahwa reformasi liturgi “tidak dapat diubah” dan bahwa perayaan liturgi mengikuti perubahan yang dilakukan setelah Konsili Vatikan II.
Keputusan tersebut menyatakan bahwa Kongregasi Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen, yang dipimpin oleh Kardinal Arthur Roche akan bertanggung jawab untuk mengevaluasi permintaan izin MLT. Atas nama Tahta Suci semua permintaan untuk perayaan MLT dari para uskup di seluruh dunia harus dikirim ke sana.
Fransiskus pada tahun 2021 untuk memberlakukan kembali pembatasan pada perayaannya yang dilonggarkan pada tahun 2007 oleh Paus Benediktus XVI. Klarifikasi, yang diterbitkan 18 Desember 2021, melarang penahbisan dan pengukuhan imam dalam ritus lama itu.
Kemudian, Kongregasi Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen Vatikan merilis jawaban atas 11 pertanyaan yang diajukan oleh keputusan Paus Fransiskus pada tanggal 16 Juli 2021 dengan dokumen Traditionis Custodes, yang membatasi MLT.
Paus Fransiskus beralasan bahwa dia bertindak untuk menjaga persatuan Gereja. Ia mengatakan penyebaran MLT telah menjadi sumber perpecahan. Penyebaran MLT juga telah dieksploitasi oleh umat Katolik yang menentang Konsili Vatikan II, yang memodernisasi gereja dan liturginya.
Setidaknya ada empat alasan mengapa Vatikan cukup keras dalam keputusannya kali ini. Penjelasan ini disampaikan Mgr. Eric Barr mantan Vikaris Jenderal Keuskupan Rockford, Illinois, Amerika Serikat. Selama 37 tahun imamatnya, ia telah menjadi dosen dan imam. Ia adalah master Teologi Dogmatik dari Catholic University of America. Ia adalah mantan editor untuk sebuah surat kabar dan seorang novelis.
Empat Alasan
Pada tahun 2007, ketika Summorum Pontificum dikeluarkan, sepertinya masa keemasan MLTY telah kembali. Paus Benediktus XVI benar-benar ingin membantu menyembuhkan luka yang berasal dari reformasi liturgi Konsili Vatikan II. Dokumen ini memungkinkan orang-orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Misa Latin Tradisional merasa lega setelah merasa kehilangan liturgi yang sangat berarti bagi mereka. Benediktus XVI bermaksud baik, tetapi usahanya tidak berhasil. Berikut adalah empat alasan yang dijelaskan Mgr. Barr.
Pertama, sedikit Pertumbuhan dan Kemuliaan Tidak Ditemukan. MLT tidak populer secara luas dan berkembang pesat. MLTsering digembar-gemborkan sebagai bentuk doa yang akan menyelamatkan Gereja. Tetapi sampai saya melihat statistik sebaliknya, saya akan menyebut itu berita palsu. Kami awalnya memiliki dua tempat di keuskupan (Keuskupan Rockford) di mana dirayakan liturgi itu. Salah satu ditutup segera setelah pembukaan karena kurangnya peserta. Yang lainnya adalah oratorium dan secara konsisten menerima sekitar 200 orang pada hari Minggu.
Tidak ada perayaan MLT lainnya di keuskupan kami. Dua ratus orang secara konsisten menginginkan Misa Latin di keuskupan dengan 400.000 umat Katolik. Itu bukanlah gambaran adanya kebutuhan signifikan.
Lalu, tradisionalis radikal menggunakan MLT untuk mencoba dan mengembalikan Gereja ke masa lalu. Mereka beranggapan Gereja Katolik tertatih-tatih menuju kepunahan karena kecintaannya pada “modernisme”. Mereka dengan bebas mengklaim bahwa MLT lebih unggul dari Novus Ordo, Misa dalam liturgy umum yang biasa kita rayakan dalam Gereja Katolik Roma saat ini. Mereka membenci Paus dan otoritasnya. Mereka bahkan terdengar sangat mirip dengan umat Lutheran di masa awal selama Reformasi.
Mereka bahkan mungkin telah jatuh ke dalam bid’ah, menciptakan suatu bentuk Gnostisisme di mana mereka memiliki formula atau pengetahuan rahasia yang akan memperkuat Gereja sekali lagi. Mereka meyakini bentuk moralitas yang lebih kaku daripada ajaran Gereja Katolik, devosi saleh yang melampaui studi Kitab Suci, penekanan yang jauh lebih kuat pada peristiwa Fatima dan janji-janjinya, serta sebuah pandangan apokaliptik yang menandakan hukuman besar bagi orang berdosa karena kejahatan dunia. Mereka meyakini Gereja Katolik akan bangkit dari kerusakannya dan sekali lagi mengambil tempat yang selayaknya di dunia.
Klerikalisme dan Harapan Palsu
Beberapa imam menggunakan Summorum Pontificum untuk memajukan klerikalisme dan elitisme. Klerikalisme adalah penekanan berlebihan pada status seorang imam. Sayangnya, ini tampaknya menjadi salah satu harapan yang mendasari beberapa orang yang ingin merayakan TLM.
Beberapa imam muda, yang tidak pernah mengalami liturgi itu, tidak tahu bahasa Latin, juga tidak ada yang mengajari mereka, merayakan Ekaristi dengan liturgi yang hanya sedikit mereka ketahui. Mereka menyukai pakaian, bau dupa, dan lonceng, yang mereka rasakan melingkupi bentuk ibadah itu. Itu membuat mereka merasa kuat, juga merasa elit.
Untuk mengizinkan mereka merayakan Misa, uskup hanya memiliki satu persyaratan. Mereka harus bisa tahu apa yang mereka katakan. Namun, setiap dari mereka gagal dalam tes sederhana itu. Uskup tidak meminta para imam itu menerjemahkan liturgy. Uskup hanya meminta mereka untuk meringkas isinya, namun mereka tidak bisa. Di sini menjadi jelas bahkan bagi imam baru yang merayakan, mereka tak begitu paham apa MLT.
Orang-orang yang tidak memiliki pengalaman dan persinggungan langsung dengan MLT melihatnya ini sebagai landasan “reformasi baru”. Namun perlu diingat, tidak semua orang yang mendukung MLT seperti ini.
MLT mengembalikan misteri dan keagungan liturgi. Ini jelas juga berita palsu. Orang-orang tua yang tumbuh bersama MLT memiliki banyak cerita tentang sedikit pemahaman, baik dari para imam maupun umat akan liturgi yang disampaikan dalam Bahasa yang mereka tidak paham. Kebanyakan orang hanya berdoa Rosario, dari pada mereka mengucapkan doa-doa lain yang tidak mereka pahami dalam Misa.
Ada alasan mengapa Konsili Vatikan II menyerukan reformasi liturgi. Para Bapa Konsili mengetahui bahwa Misa tidak memenuhi inti liturgi: yaitu, memberikan kesempatan kepada umat untuk menyembah Tuhan, dengan pemahaman dan pengetahuan. Misteri yang harus ditimbulkan oleh liturgi seharusnya mengangkat orang ke ketinggian Surga, bukan membingungkan pikiran mereka karena bahasa yang tidak dapat mereka pahami.
Tanggapan Paus Fransiskus
Sebagai tanggapan, Paus Francis mengeluarkan Traditionis Custodes untuk melawan perpecahan dan perpecahan yang disebabkan oleh penggunaan MLT yang tidak tepat. Dokumennya yang pada dasarnya mencabut sebagian besar Summorum Pontificum.
Keputusannya adalah keputusan yang harus sering diambil oleh Paus demi kebaikan umat. Dia melihat perpecahan, kontroversi yang berkembang, dan memutuskan bahwa pendekatan baru harus dicoba. MLT tidak akan menjadi ritus paralel (variasi atau modivikasi) dengan bentuk Misa biasa. Masih akan ada waktu untuk merayakannya, tetapi itu tidak akan pernah menjadi titik pusat di mana katolisitas Gereja berkembang.
Hal itu membuat marah beberapa orang. Penghinaan dan kecaman kepada Paus akhirnya menunjukkan di mana letak kesetiaan orang-orang ini. Kesetiaan mereka bukan kepada ajaran Gereja, atau rasa hormat yang harus ditunjukkan kepada penerus Santo Petrus.
Apakah akan terjadi perpecahan? Akankah beberapa orang meninggalkan Gereja karena hal ini? Hal ini mungkin saja akan terjadi.
Bagi seorang Katolik sejati, ia tidak akan merampas otoritas Paus. Katolik sejati tidak akan merampas otoritas Paus untuk mengatur liturgi dan ibadat umat. Katolik Sejati akan setia kepada Paus. Itu sebabnya kita memiliki Paus. Itulah tugas dan tenggung jawab para Paus. Apa yang kita lihat dari orang yang menghina Paus dan meragukan kepemimpinannya atas keputusan ini, mereka bukanlah Katolik sejati.
Paus Fransiskus memahami kebutuhan Gereja untuk sepenuhnya merangkul reformasi liturgi yang diserukan oleh Konsili Vatikan II. Terima kasih, kita memiliki seorang Paus yang memiliki keberanian untuk mengutuk orang-orang yang mengutamakan kebutuhan dan keinginan mereka sendiri, di atas apa yang terbaik bagi Gereja Yesus Kristus.