Jumat, November 22, 2024
33.6 C
Jakarta

Kalender Air BMKG Merupakan Buku Hidup bagi Suku Asmat

Mgr Aloysius Murwito OFM. Dok. Hidupkatolik

AGATS, Pena Katolik – Kalender air dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dirasakan bermanfaat bagi masyarakat dari Suku Asmat di Kabupaten Asmat, Papua. Pernyataan ini diungkapkan Uskup Agats, Mgr Aloysius Murwito OFM, Kamis, 23 Juni 2022.

Mgr. Murwito mengatakan, Suku Asmat biasa memanfaatkan kalender air dari BMKG untuk bertahan hidup. Dengan demikian, kalender air BMKG merupakan buku hidup bagi masyarakat Suku Asmat. Kalender ini bermanfaat untuk memantau dan mengetahui kondisi air laut maupun sungai. Ia mendorong, BMKG terus membuat kalender untuk satu tahun sehingga masyarakat dapat memanfaatkannya untuk menajani aktivitas harian mereka.

“Selain kalender Masehi, kami punya kalender air, ini semacam buku hidup di sini,” kata Mgr. Murwito.

Klender air adalah kalender yang berisikan data-data yang bisa memantau setiap saat kondisi air laut. Uskup yang hampir 20 tahun berkarya di Agats ini menyatakan, kalender air sangat berguna bagi pengemudi untuk mengarungi sungai. Pengemudi kapal atau perahu memanfaatkan kalender air untuk memperhatikan waktu pasang surut air sungai. Sedangkan penduduk memanfaatkan kalender untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mencari bahan makanan seperti udang dan ikan.

“Ini penting sekali, karena untuk perjalanan tertentu. Belum tentu hari ini, jam ini kami bisa melewati jalur sungai ini. Untuk orang yang tidak akrab dengan sungai air pasang surut mutlak perlu,” tuturnya.

Di Agats, kondisi air sungai dan laut sangat menentukan bagi masyarakat untuk beraktivitas. Bila sungai surut atau yang dikenal dengan sungai meti, masyarakat akan memanfaatkan waktu tersebut untuk bercocok tanam seperti menanam sawi, bayam atau singkong. Pada situasi ini, air tidak akan menggenangi kebun.

Masyarakat Agats sebagian pekerjaan utamanya adalah sebagai peramu atau pengumpul bahan sumber daya alam. Ketika air menggenangi lahan maka mereka akan kesulitan untuk mencari sagu ataupun hasil hutan lainnya. Untuk satu pohon bisa menghasilkan dua hingga tiga noken sagu, tergantung dengan besarnya pohon.

“Mereka harus mendapatkan hasil secukupnya, lain-lain tidak ada. Mereka sudah puas dengan itu. Itu lah makanan pokok mereka. Ternak tidak ada, kalau mau makan babi mereka akan berburu di hutan,” pungkas Mgr. Murwito.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini