Sabtu, November 23, 2024
25.6 C
Jakarta

Sapo Caritas, Rumah dari Tetesan Belarasa

Tahir bersama keluaga di samping rumah baru mereka. Dok Caritas

DI atas sebidang tanah itu berdiri setidaknya 20 tenda dan gubuk sederhana. Pada tenda berwarna putih itu terlihat tulisan “UNHCR”. Kondisinya sangat memprihatinkan, tidak terbayangkan, bahwa di tempat inilah, Todi dan 20 keluarga Suku Kaili Rai sudah tiga tahun tinggal di sana.

Lahan itu luasnya sekitar setengah hektar dan terletak di Desa Ape Maliko, Kec. Sindue, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. Lahan milik Haji Tamsir itu di beberapa bagian ditanami pohon kelapa. Todi mengatakan, sejak gempa terjadi tiga tahun lalu, di tempat inilah ia tinggal. “Sejak gempa itulah kami di sini sampai sekarang,” ujar Todi mengawali ceritanya.

Prihatin atas nasib yang dialami beberapa masyarakat Suku Kaili Rai inilah yang mendorong Caritas Indonesia dan Caritas PSE Manado untuk menyediakan hunian bagi mereka. Alhasil, Caritas lalu membangun 20 hunian bagi mereka di sebuah lahan yang disumbangkan oleh seorang penderma, tak jauh dari lokasi tenda itu.

Penantian Todi untuk mendapat hunian yang layak kini telah terjawab. Hunian yang disiapkan bagi beberapa keluarga Suku Kaili Rai sudah selesai dibangun. Segera, Todi dan beberapa keluarga Suku Kaili Rai yang lain akan pindah. Selama ini, Todi harus bersabar dengan tinggal di tenda dan gubuk sederhana di bawa pohon kelapa.

Impian Nyata

Hunian yang akan diterima Todi merupakan bagian dari Program EA 06/2021 yang diinisiasi Caritas Indonesia dengan implementor Caritas PSE Manado. Total ada 60 hunian yang dibangun pada program ini. Termasuk program ini, total Caritas telah merampungkan empat program hunian. Tiga program yang lain adalah Program AO/2019/014, Program EA 04/2020, kemudian ada juga program hunian yang dari Caritas Regio Jawa.

Pada learning event dan pertemuan tahunan Caritas Indonesia di Palu 26-29 Oktober 2021, peserta dari berbagai keuskupan menyempatkan berkunjung ke lokasi pembangunan hunian ini. Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu, MSC menjadi salah satu yang ikut serta dalam kunjungan ini. Uskup Manado ini terkesan atas kerja keras Caritas dalam mewujudkan hunian bagi mereka yang terdampak gempa Palu tiga tahun lalu. “Pembangunan hunian ini adalah ungkapan belarasa Gereja yang diwujudkan melalui Caritas,” ungkapnya.

Mgr. Rolly juga sempat berjumpa dengan Todi, dalam percakapan antara keduanya, Mgr. Rolly menanyakan apakah hunian yang dibangun sudah sesuai dengan harapan Todi. “Sudah, terima kasih, saya senang menerima bantuan rumah baru ini dari Caritas,” ujar Todi.

Mgr Aloysius Sutrisnaatmaka MSF Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC dan romo frady rante taruk. Dok Caritas

Gempa bumi yang menimpa Palu dan sekitarnya tiga tahun sebelumnya, disadari telah menjadi tragedi kemanusiaan. Ribuan manusia kehilangan nyawa dan tempat tinggal. Dalam sambutanya pada pembukaan learning event, Mgr. Rolly melihat bahwa tragedi alam dan kemanusiaan itu telah menggerakkan hati begitu banyak orang untuk peduli.

“Hormat dan pujian pantas dialamatkan kepada Caritas dan jaringan-jaringannya sehingga dapat ambil bagian dalam gerakan kemanusiaan di Palu, Sigi, dan Donggala sampai sekarang ini, ujar Mgr Rolly.

Menyambut Masa Depan

Program hunian Caritas juga dilakukan di Dusun IV, Desa Ape Maliko. Di tempat ini, Sahli sudah mulai menempati rumah barunya bersama anak dan istrinya, Sarla Hikmah. Di dekat pintu rumahnya, terdapat tulisan “Sapo-Caritas”. Dalam bahasa setempat, “sapo” berarti juga ‘rumah. Kata ini menjadi penanda pada setiap hunian yang berhasil dibangun Caritas.

Sebelumnya, seperti kebanyakan masyarakat Suku Kaili Rai, Salhi sekian tahun menghabiskan hidupnya di dalam hutan dengan berpindah-pindah. Dengan rumah yang baru ini, Sahli tentu bahagia, ia percaya masa depan anaknya akan semakin cerah di rumah yang baru. Di sini, akses untuk mendapatkan Pendidikan layak akan semakin terbuka.

Selama ini, masyarakat dari Suku Kaili Rai dikenal sebagai bagian masyakat yang hidup berpindah di dalam hutan. Marianus M. Lei mengatakan, dengan hidup di dalam hutan, maka Pendidikan bagi anak-anak dari Suku Kaili Rai juga banyak yang terhambat. Tak jarang, ada dari mereka yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia.

Sebelumnya, ada sebuah sekolah yang terletak agak dekat dengan hutan tempat masyarakat Suku Kaili Rai tinggal. Sejak gempa menimpa, kegiatan Pendidikan di sekolah ini pun terhenti. Marno, panggilan akrab Marianus, mengatakan, bahwa situasi ini menjadikan masa depan anak-anak Suku Kaili Rai perlu uluran tangan dan kepedulian dari banyak pihak. “Hal ini menjadi PR untuk kita semua. Semoga dengan hunian ini, masa depan mereka akan semakin cerah,” ujar staf Caritas PSE Manado ini.

Todi ada satu dari masyarakat Suku Kaili yang dapat berbahasa Indonesia. Meski usianya kini sudah lanjut, sorot mata Todi seakan memimpikan, suatu hari anak-anak Suku Kaili Rai akan memiliki masa depan yang lebih baik. Kini, ia dan beberapa keluarga lain telah memiliki rumah baru, ke depan, ia mengharapkan masyarakat Suku Kaili Rai dapat semakin sejahtera. Ia juga berharap, akan semakin banyak anak-anak dari Suku Kaili Rai yang maju dari sisi pendidikan.

Kasih yang Menjadi Nyata

Hunian yang dibangun Caritas dapat selesai berkat kerja sama dari berbagai pihak. Romo Bernardus I Wayan Sugiarta mengatakan, dalam hal ini Caritas di Indonesia yang menjadi inisiator awal program ini. Program ini juga berjalan berkat dukungan dari Caritas Internasionalis (CI), Caritas Keuskupan Agung Semarang (KAS),Keuskupan Regio Jawa dan Kongregasi Suster-Suster Puteri Kasih (PK).

Romo Wayan mengakui, situasi pandemi berpengaruh pada proses pembangunan. Pandemi memberi tantangan, tapi tidak membuat Carita PSE Manado berdiam. Target yang semula akan menyelesaikan pembangunan hunian pada bulan November 2021 dapat dicapai. Pada bulan ini, sebanyak 240 jiwa atau 60 Kepala Keluarga akan menerima rumah hunian baru mereka. “Ketika kunjungan langsung pada learning lvent, Kamis, 28 Oktober 2021, tinggal beberapa rumah yang perlu di finishing, kami yakin di akhir bulan ini sudah selesai,” ungkap imam Keuskupan Manado ini.

Kini, ada nilai-nilai yang dapat ditimba dari proses pembangunan hunian ini. Romo Wayan menyebutkan, salah satu nilai itu adalah solidaritas. Solidaritas ini ia lihat tidak saja berkat bantuan yang terus mengalir, namun juga yang tercipta di antara staf yang bekerja. “Orang-orang yang bergerak di bidang kemanusiaan harus punya hati,” tegasnya.

Selama pembangunan hunian ini, Romo Wayan melihatnya sebagai kesempatan untuk meningkatkan kapasitas staf Caritas PSE Manado yang sebagian besar merupakan kader-kader muda Gereja. Ia melihat, program ini juga menyasar orang-orang muda untuk terlibat. “Program ini adalah panggilan bagi orang-orang muda yang mempunyai hati untuk terlibat,” pungkasnya. (AES)

Foto Head – (dari kiri) Direktur Caritas Indonesia, Romo Fredy Rante Taruk; Mgr. Aloysius M. Sutrisnaatmaka, MSF; Mgr. Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC; dan Todi di lokasi penampungan sementara 20 keluarga dari Suku Kaili Rai.

Dok. Caritas Indonesia

Foto 1 – Sekretaris Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia, Romo Ewaldus Ewal saat memasang papan nama pada hunian yang dibangun Caritas di Dusun IV Desa Ape Maliko, Sindue, Donggala, Sulawesi Tengah.

Dok. Caritas Indonesia

Foto 2-Tahir bersama keluaga di samping rumah baru mereka

Dok. Caritas Indonesia

bukan tanpa

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini