Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Paus Fransiskus merayakan Misa Minggu Palma sendirian di Basilika Santo Petrus. Karena menghormati peraturan Covid-19 yang membatasi pertemuan besar, Misa diadakan tanpa umat. Jutaan orang ikut bersama Bapa Suci, melalui internet, radio, dan televisi.
Paus mendasarkan homili pada Surat Santo Paulus kepada orang Filipi. Dalam surat itu Rasul itu menggambarkan Yesus mengosongkan diri-Nya dan “mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 7). “Mari izinkan kata-kata Rasul Paulus ini menuntun kita memasuki hari-hari suci ini, saat Firman Allah menampilkan Yesus sebagai seorang hamba,” kata Paus.
“Kita sering berpikir bahwa kitalah orang yang melayani Allah,” kata Paus. Sebaliknya, “Dialah yang secara bebas memilih untuk melayani kita, karena Dia lebih dahulu mengasihi kita. Tuhan melayani kita dengan memberi nyawa-Nya bagi kita,” lanjut Paus. Dia lakukan itu “dengan kerendahan hati, kesabaran, dan kepatuhan seorang hamba, dan murni karena cinta.” Dan lanjut Paus, “Tuhan melayani kita sampai mengalami situasi yang paling menyakitkan dari mereka yang mengasihi: pengkhianatan dan pengabaian.”
“Yesus menderita pengkhianatan oleh murid yang menjual-Nya dan oleh murid yang menyangkal-Nya,” jelas Paus. “Dia dikhianati oleh orang-orang yang menyanyikan hosanna kepada-Nya kemudian berteriak: ‘Salibkan Dia!’.” Paus mengakui, kita semua menderita pengkhianatan dalam kehidupan. Pengkhianatan berisiko memicu kekecewaan “yang bahkan dapat membuat hidup tampak tidak berarti,” karena “kita dilahirkan untuk dicintai dan untuk mencintai.”
“Kalau jujur dengan diri sendiri, kita akan melihat ketidaksetiaan kita,” yakni “kebohongan, kemunafikan, dan tipu muslihat.” Tuhan tahu “betapa kita lemah dan tidak pasti, berapa kali kita jatuh, betapa sulitnya kita bangun, dan betapa sulitnya menyembuhkan luka-luka tertentu,” kata Paus.
Terlepas dari semua itu, Yesus tetap datang membantu kita. Dia melayani kita dan menyembuhkan kita “dengan mengambil tanggung jawab atas ketidaksetiaan kita,” jelas Paus. “Daripada berkecil hati karena takut gagal, kita sekarang boleh memandang salib, merasakan pelukan-Nya,” dan mengatakan, “Engkau melayani aku dengan cinta-Mu, Engkau terus menopang aku … Maka aku akan terus maju.”
Beralih ke Injil untuk Minggu Palma, Paus mencatat kata-kata Yesus dari Salib: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Semua orang telah melarikan diri, “tapi Bapa tinggal untuk Dia,” kata Paus. Kata-kata ini memberitahukan kepada kita bahwa Yesus sendiri mengalami kehancuran dan pengabaian sepenuhnya. Semua itu terjadi “demi kita, untuk melayani kita,” lanjut Paus. “Yesus melakukan itu untukku, untukmu, untuk mengatakan kepada kita: ‘Aku mengalami semua kesedihanmu agar selalu dekat dengan kamu’.”
Paus kemudian membahas keadaan darurat virus corona. “Hari ini, dalam tragedi pandemi, di hadapan banyak keamanan palsu yang kini telah runtuh, di hadapan begitu banyak harapan yang dikhianati, dalam arti pengabaian yang membebani hati kita, Yesus berkata kepada masing-masing kita, “keberanian, bukalah hatimu terhadap cinta-Ku. Engkau akan merasakan penghiburan dari Allah yang menopang engkau’,” kata Paus.
“Tragedi yang kita alami memanggil kita untuk serius terhadap hal-hal serius, dan tidak terperangkap dalam hal-hal kurang penting,” usul Paus. Dalam hari-hari suci ini, “semoga kita menjangkau mereka yang menderita dan mereka yang paling membutuhkan. Semoga kita tidak khawatir akan apa yang kurang dar diri kita, tetapi akan apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain,” kata Paus.
“Mencintai, berdoa, mengampuni, merawat orang lain, dalam keluarga dan masyarakat” bisa sulit, Paus mengakui. “Tetapi langkah pelayanan adalah langkah kemenangan dan memberi hidup yang menyelamatkan kita.”
Paus lalu berbicara kepada orang muda, “tentang hari ini yang sudah didedikasikan untuk mereka selama tiga puluh lima tahun hingga sekarang.” Paus mengajak mereka mempertimbangkan apa yang ia sebut “pahlawan sejati,” bukan orang terkenal, kaya dan sukses, tapi “yang memberi diri untuk melayani orang lain.” Paus lalu meminta orang muda untuk tidak takut mengabdikan hidup untuk Tuhan dan sesama, karena “hidup adalah karunia yang kita terima hanya kalau kita memberi diri sendiri, dan sukacita yang paling dalam datang dari perkataan ‘ya’ untuk mencintai, tanpa kata jika dan tetapi. Seperti yang Yesus lakukan untuk kita.”(PEN@ Katolik/paul c pati berdasakan Vatican News)