Menjawab pertanyaan wartawan @NCRegister tentang rencana Paus Fransiskus ke Indonesia dalam beberapa bulan ke depan, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf seperti dikutip dari EWTN Vatican membenarkan, “bahkan saya juga dengar pemerintah Indonesia sudah mendapat informasi tentang rencana itu.”
Kiai yang akrab disapa Gus Yahya itu menambahkan, “Kita ingin sekali Yang Mulia berada di Indonesia dan berharap bisa bersama Yang Mulia di sana, sehingga dunia bisa melihatnya sebagai momentum penting untuk masa depan kemanusiaan yang lebih baik.”
Pastor Markus Solo SVD yang berkarya di Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama di Vatikan membenarkan. Dalam makan malam bersama Dubes Indonesia untuk Vatikan Antonius Agus Sriyono, Gus Yahya, dan Holland Taylor asal USA, warga Muslim NU yang tinggal di Rembang, di sebuah restoran di Roma, “kami juga mendengar rencana itu dari Dubes Agus,” kata pastor itu kepada PEN@ Katolik. Namun, imam asal Indonesia itu membenarkan, belum ada konfirmasi kunjungan itu dari Vatikan.
Gus Yahya diwawancarai di Vatikan saat berada di sana untuk mengikuti Forum Inisiatif Agama-Agama Abrahamik (Abrahamic Faiths Initiative, AFI) di Universitas Gregoriana, Roma, 15 Januari 2020, “untuk mengerucutkan sikap dan langkah bersama dalam menghadapi kemelut kemanusiaan dewasa ini, yang sangat kental diwarnai oleh konflik antarkelompok agama,” kata Gus Yahya seperti yang dibagikannya kepada media ini.
Paus Fransiskus menerima audiensi 18 tokoh agama-agama Abrahamik itu di Vatikan 15 Januari. Saat itu, menurut Gus Yahya, kepada Paus dijelaskan hasil-hasil diskusi dan penegasan dukungan terhadap “Piagam Persaudaraan Kemanusiaan” yang ditandatangani bersama antara Paus Fransiskus dan Syaikh Ahmad Al Tayeb di Abu Dhabi, Februari 2019.
Di awal diskusi, jelas Gus Yahya, Duta Besar Keliling Amerika Serikat Untuk Kebebasan Beragama, Sam Brownback, menyampaikan keprihatinan mendalam karena jika konflik antaragama dibiarkan pasti ujungnya saling bunuh di antara sesama manusia. “Ungkapan itu persis seperti analisis yang dipaparkan dalam ‘Deklarasi Gerakan Pemuda Ansor Tentang Islam untuk Kemanusiaan (Humanitarian Islam)’ 2017,” ujar Gus Yahya seperti dilaporkan NUOnline.
Sementara Pendeta Thomas Johnson dari World Evangelical Alliance menekankan bahwa deklarasi tidak cukup, karena belum tentu banyak orang mau sungguh-sungguh membaca dan mempelajarinya, Gus Yahya menyatakan, siapa pun yang membuat deklarasi harus siap menindaklanjutinya dengan langkah-langkah strategis yang nyata. Contohnya, kiprah NU dalam membangun strategi transformatif melalui kegiatan sosial, yaitu melakukan pelayanan bagi masyarakat, termasuk melindungi hak-hak kelompok minoritas.
Sam Brownback, jelas Gus Yahya, berterima kasih dan mengapresiasi segala yang dilakukan NU dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan forum itu sepakat untuk terjun ke wilayah konflik demi mengupayakan jalan keluar. Tapi, Gus Yahya mengingatkan untuk melakukannya dengan strategi yang komprehensif dan terkonsolidasi, “dengan dukungan instrumen-instrumen dan sumberdaya-sumberdaya yang penuh.”
Meski mengaku dalam pertemuan itu peserta berbicara bebas tanpa paper presentasi, Gus Yahya mengatakan, seperti yang dikutip media-media lain, bahwa dalam forum itu dia mengajak para pemimpin agama melakukan refleksi sejujur-jujurnya tentang posisi teologis agama masing-masing dalam upaya perdamaian, karena “ada norma-norma ortodoksi yang memang masih mendorong segregasi, diskriminasi dan konflik.”
Norma-norma itu, tegasnya, harus dihadapkan dengan konteks realitas globalisasi abad ke-21, yaitu “konflik antaragama tidak mungkin lagi dilokalisir sehingga akan memicu benturan universal kaotik dan sudah pasti akan meruntuhkan seluruh peradaban dunia.”
Menurut laporan, Mgr Khaled Akasheh dari Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Vatikan terharu dengan penjelasan Gus Yahya tentang upaya rekontekstualisasi fiqih yang dilakukan NU sejak 1984, saat Rais Am KH Achmad Shiddiq meletakkan kerangka teologis bagi persaudaraan sesama umat manusia, dan penetapan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 27 Februari – 1 Maret 2019 bahwa kategori kafir tidak lagi relevan di ruang publik dalam konteks negara-bangsa modern.
Menurut Mgr Akasheh, yang dilakukan NU adalah perwujudan mimpinya selama 25 tahun. “Bukan hanya Islam yang perlu melakukan rekontekstualisasi semacam itu, semua agama dari keluarga Abrahamik harus melakukannya,” katanya seraya menjelaskan bahwa Gereja Katolik telah memulainya sejak Konsili Vatikan II di masa Paus Yohanes XXIII. “Agama-agama Abrahamik harus merenungkan kembali hakikat kehadiran dan perannya dalam konteks realitas Abad ke-21 ini,” imam itu.
Rabi Adina Bar-Shalom, puteri mendiang Rabi Ovadia Yosef yang dulu Rabi Kepala Sephardi yang paling berpengaruh di kalangan Yahudi ultra-ortodoks di Israel, mengajak untuk mendialogkan topik itu lewat pertemuan pemimpin-pemimpin agama Abrahamik. Ia bertekad memobilisasi seluruh komunitas Yahudi ortodoks di Israel untuk ikut serta dan sungguh-sungguh terlibat dalam rekontekstualisasi itu.
“Segala kekerasan dan pembunuhan ini harus dihentikan! Seluruh hamparan tanah di muka bumi tak sebanding nilainya dengan satu nyawa manusia!” ajak Adina Bar-Shalom dalam forum yang menyepakati agar dalam 45 hari ke depan diumumkan negara mana yang akan menjadi tujuan kiprah AFI.(PEN@ Katolik/aop/pcp dari berbagai sumber)
Semoga tercapai perdamaian universal. Dan semoga kedatangan Paus ke Indonesia dapat terlaksana dengan baik dan menciptakan kedamaian dan rasa persaudaraan yg satu di Indonesia sebagai sesama makhluk ciptaan TYME.